#4
Sementara itu, Lydia lalu mengiringi sang sahabat untuk masuk ke dalam kostnya. Ia merasa tidak enak dengan para tetangga yang mulai melihat aneh ke arah dirinya dan sang sahabat. Keduanya berpelukan diambang pintu dengan satu gadis yang menangis terisak penuh."Aku sama sekali nggak tau harus kayak gimana lagi, Lydia. Apa yang udah terjadi sekarang nggak bisa aku kontrol lagi. Semuanya seolah terjadi begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku udah nggak tau harus kayak gimana lagi. Hidupku semuanya sudah benar-benar berantakan sekali, Lydia." Tangisan Sera pun kembali pecah. Ia sama sekali tidak bisa menahan dirinya lagi. Wajahnya kini basah oleh air mata yang jatuh berduyun-duyun. Berulang kali, ia tampak mencoba untuk menenangkan diri namun lagi-lagi air matanya turun tanpa henti maupun dikomando."Apa yang sudah terjadi, Sera? Mengapa kamu bisa jadi seperti ini? Apa sesuatu besar yang kamu maksud saat ini? Berantakan? Apa maksudmu? Aku sama sekali nggak ngerti sama yang kamu maksud." Lydia mencoba untuk menanyakan perihal alasan dibalik sikap gadis itu kepadanya saat ini.Jujur, melihat raut wajah Sera yang berantakan seperti ini membuat Lydia juga tak tenang. Apalagi gadis itu terus saja sesenggukan ketika mengatakan kalimatnya. Dengan tangan yang bergetar, Sera lalu menyodorkan sebuah benda pipih panjang berukuran kecil kepada sang sahabat. Lydia lantas mengerutkan keningnya ambigu, benda itu tampak asing di matanya kala itu.Sepersekian detik setelahnya, saat benda itu sudah berpindah tangan kepada Lydia sontak kedua matanya pun membulat sempurna saat menyadari benda apa yang ada di hadapannya itu."Dua garis? Apa maksudnya? Testpack siapa ini, Sera? Jangan bilang, kalau —"Lydia bertanya dengan raut wajahnya yang tak karuan lagi. Ia benar-benar sudah tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Apa yang ada di tangannya membuat Lydia jujur terkejut bukan main."Mama mengusirku. Benda inilah yang menjadi alasanku diusir. Aku benar-benar ngggak nyangka kalo ini bakalan terjadi, Lydia. Aku sudah mempercayai semuanya kepada Brian. Aku dan Brian sama-sama sudah saling mencintai dan percaya. Jadi, aku memberikan segalanya kepada Brian. Termasuk keperawananku." Sera berucap seakan semua yang dilakukannya adalah hal yang biasa."Aku tahu kamu pasti akan memarahiku juga, Lydia. Tapi, tolong jangan menghakimiku sampai mengusirku seperti yang Mama lakukan. Aku benar-benar nggak tahu harus datang kepada siapa lagi selain dirimu. Aku tahu, aku sudah salah besar karena terlalu percaya padanya. Aku menyesali semua itu. Aku sudah mendapatkan balasan untuk semua yang kulakukan sekarang ini. Aku mohon jangan mengusirku. Aku sudah sangat menyesalinya." Terdengar suara Sera yang mulai berucap dengan mencicit pelan. Awalnya Lydia ingin memarahi gadis itu habis-habisan. Namun, sedetik kemudian saat Lydia mendengar permohonan dari sahabatnya itu. Akhirnya, Lydia mengurungkan niatnya, dan meredam emosi yang semula ingin dilampiaskan olehnya."Bagaimana dengan Brian?" tanyanya penasaran.Tanpa harus memperjelas pertanyaannya lagi, Sera tentu sudah mengetahui ke mana arah pembicaraan dari sahabatnya itu."Nyonya Danira sama sekali nggak menyukaiku. Dia bahkan telah menghinaku di hadapan semua orang. Brian sama sekali nggak berkata apa pun untuk membelaku. Dia sudah membuatku kecewa. Hidupku menjadi berantakan karena dia! Aku benar-benar sudah hancur, Lydia!" Lydia lantas mulai memaki kesal pemuda itu di dalam hatinya. Emosi di dalam dirinya pun semakin membuncah. Namun, ia tidak ingin membuat Sera kembali merasa lebih buruk. Sekuat tenaga, Lydia mencoba untuk tidak meluapkan emosinya di hadapan wanita yang benar-benar sangat terpuruk itu.Tangisan Sera pun kembali pecah. Ia terus saja menyalahkan diri dan mengatakan kalau hidupnya sudah hancur berantakan itu.Lydia tahu jika tidak ada gunanya jika ia mengangkat suaranya kala itu hanya memilih untuk diam.Ia hanya memberikan tatapan lurusnya ke arah wanita itu sambil berusaha keras melawan emosi yang ingin diledakkannya.Cukup lama Lydia membiarkan Sera bermonolog pada dirinya sendiri. Barulah, Sera perlahan mulai menjadi tenang. "Aku pasti nggak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Brian. Apa yang sudah kamu lakukan kepada sahabatku sudah melewati batasan. Lihat saja, apa yang akan aku perbuat padamu nantinya." Lydia bergumam pelan mengukir janji pada dirinya sendiri.Lydia benar-benar merasa iba kepada sahabatnya itu. Sudahlah harus menanggung bayi yang sama sekali tidak ingin dipertanggungjawabkan oleh sang kekasih. Kini, Sera juga harus dihadapkan dengan fakta di mana keluarganya tidak ingin menerimanya lagi.Semua adalah buah dari kebodohan yang telah dilakukan oleh wanita itu."Kamu bisa tinggal sampai kapan pun yang kamu mau di rumah ini. Tempat ini akan selalu terbuka lebar untukmu, Sera." Lydia mencoba untuk menenangkan sedikit perihal yang mungkin saja tengah dipikirkan oleh wanita itu.Sera lalu mengembangkan senyumannya, menatap berterima kasih pada sang sahabat."Aku ambilkan minum untukmu. Tunggu sebentar," ucapnya yang baru terpikirkan kalau dia belum menjamu tamunya dengan baik. Bergegas ia mengambilkan air minum untuk sahabatnya itu. "Kata orang, air putih dingin biasanya manjur untuk menenangkan seseorang yang tengah di bawah kendali emosi." Sera mengangguk menerima gelas itu dengan senang hati."Lalu, bagaimana dengan rencanamu ke depannya? Maaf, mungkin pertanyaanku bisa menyinggungmu. Tapi aku rasa, kamu tentu butuh planning buat ke depannya harus bagaimana." Lydia bertanya dengan hati-hati membuat Sera lantas mengalihkan pandangannya pada wanita itu. "Tentu, aku pasti akan membesarkan bayi yang saat ini ada dalam kandunganku." Sera menjawab dengan tanpa adanya keraguan sama sekali. Sebab, Sera merasa hanya itu saja satu-satunya tujuan hidup yang ia miliki."Lalu, bagaimana dengan kuliahmu? Apa kamu berpikir akan—" Belum usai Lydia menyelesaikan kalimatnya, Sera sudah lebih dulu memotongnya. "Aku akan berhenti dan fokus untuk mencari pekerjaan. Nggak ada gunanya lagi aku berkuliah. Aku harus mencari biaya untuk persalinanku nantinya dan untuk membesarkan bayi ini." Sera tampak begitu pasrah saat mengatakan semua kalimatnya itu. Hati Lydia sontak merasa semakin sedih ketika mendapati nasib sang sahabat yang kian memprihatinkan begini. Rasanya seperti ditikam oleh ribuan belati yang begitu tajam. Baru beberapa hari yang lalu, Lydia dan Sera sama-sama berjanji akan berjuang bersama untuk lulus kuliah dengan mendapatkan nilai terbaik di kampusnya. Namun, sekarang Sera justru harus dipatahkan dengan segala musibah yang sedang melandanya saat ini. Tak pernah sekalipun terpikirkan oleh Lydia sebelumnya jika sang sahabat akan menghadapi masalah seberat ini. Nasib Sera benar-benar sangat berbanding terbalik dengan dirinya.Lydia lalu membawa sang sahabat untuk kembali masuk ke dalam dekapannya. Menyalurkan sedikit kekuatan darinya sebagai penguat bagi gadis itu."Tenanglah, Sera. Aku pasti akan selalu membantumu. Aku akan membantu mencarikan pekerjaan untukmu. Ah, iya! Sepertinya aku ingat sesuatu." Dengan cepat, Lydia langsung melepaskan pelukannya dari sang sahabat. Buru-buru ia menyalakan ponselnya dan langsung mengotak-atiknya. Setelah menemukan sesuatu pada ponsel itu, ia lalu mengembangkan senyumannya begitu lebar. Sebelum akhirnya, "Nih! Pas banget, tadi aku gak sengaja lihat ini." Lydia menyodorkan ponselnya tepat di hadapan sang sahabat. Sera menyambutnya dan langsung membaca setiap tulisan kalimat yang tertera di sana."Ini … Beneran?" Sera bertanya dengan raut tak percayanya. Lydia hanya menganggukkan kepalanya membalas pertanyaan yang keluar dari mulut wanita itu.***Bab TerakhirSera akhirnya tidak protes lagi, dan membiarkan Leon tidur sambil memeluk tubuhnya. Meskipun, dia tidak mengetahui alasan pria itu tiba-tiba melakukan itu padanya.'Aneh banget. Dia pasti lagi mabuk. Tapi, kok gak bau alkohol ya? Dia kenapa sih, tiba-tiba kayak gini.' Sera membatin dalam hati kecilnya. Leon tampak tertidur sangat pulas saat memeluk Sera. Entah mengapa ada rasa nyaman yang mengalir dalam dirinya sehingga dia tidak merasakan gelisah lagi, meski dirinya sedang tertidur.'Aku ingin memilikimu seutuhnya.' Leon berucap sebelum akhirnya pria itu benar-benar terlena dalam tidur lelapnya. Keesokan paginya, Sera terbangun lebih dahulu dan berusaha melepaskan tangan Leon yang masih melingkar di tubuhnya. Hampir semalaman rupanya mereka tidur dalam posisi berpelukan meskipun posisi tubuh Sera membelakangi Leon."Hufh … untung dia masih nyenyak tidurnya. Lebih baik aku siap-siap ngampus aja deh," gumam Sera memutuskan.Wanita itu turun dari ranjang dan melangkah per
"Aku akan coba hidup dengan layak, Tante. Terima kasih." Sera terisak, lalu Danira langsung memeluk erat Sera.Dia sungguh tulus saat mengucapkan harapan agar Sera bisa bahagia. Tidak ada lagi amarah, maupun kebencian di dalam hati Danira."Ingatlah, Sera. Apa yang sudah terjadi di masa lalu, jangan pernah kamu ingat lagi. Kamu harus melanjutkan hidup, dan kamu sangat layak untuk bahagia. Bayi ini … harus memiliki masa depan yang sangat baik." Danira bahkan mengelus perut Sera yang terasa membuncit. Ia paham sekali jika bayi yang dikandung Sera adalah cucu kandungnya. "Tante akan tetap menganggap bayi ini sebagai cucu Tante, Sera. Nggak apa-apa, kan?" pinta Danira."Iya, gak apa-apa, Tante. Aku gak keberatan sama sekali." Sera menyahut dengan tatapan harunya.Bagai ada bongkahan batu besar yang terangkat dari dadanya. Beban di sana seolah perlahan sirna. Sera tak pernah menyesal datang ke rumah duka ini, karena keberaniannya itu akhirnya membuahkan hal yang manis. Brian akhirnya dik
Leon tersenyum tipis saat membaca pesan dari Lydia. Ia lantas mengetik pesan balasan untuk sahabat istrinya itu.[Baiklah. Terima kasih sudah memberitahu saya.]Saat ini, beberapa pelayan Leon memang tengah diinterogasi oleh pria itu karena mereka tidak menyadari kalau Sera meninggalkan mansion beberapa waktu yang lalu."Kalian boleh bubar sekarang." Leon berucap datar. Ia rasa tak perlu lagi mengumpulkan mereka semua di sini karena dirinya sudah mengetahui keberadaan Sera. Leon melangkahkan kakinya kembali ke kamar dan memilih untuk beristirahat karena dia sudah tidak cemas lagi. Leon mengetahui Sera tidak ada di kamarnya saat dia hendak meminta maaf karena sudah berdebat seperti tadi dengan Sera. "Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa aku harus mencemaskannya?" gumam Leon dengan perasaan gamang yang menyelimuti hati.Keesokan paginya, Sera sudah bangun sejak jam 6 pagi dan dia sudah bersiap mengenakan pakaian berkabungnya untuk datang ke rumah duka. Lydia pun demikian, mau tak mau dem
Leon mendengus kesal. Pria itu sangat tidak suka dituduh seperti apa yang sedang dilakukan oleh Sera saat ini. Akan tetapi, Leon pun dilema karena tak bisa benar-benar marah pada Sera."Sudahlah, saya gak mau bahas masalah ini lagi. Dan satu lagi, saya gak suka dituduh dengan hal yang gak pernah saya lakukan! Terserah, kamu mau percaya atau nggak!" ucap Leon setelahnya pria itu memutus pandangannya dan langsung berlalu begitu saja dari hadapan Sera tanpa mau memperpanjang perdebatan mereka. Sera masih mematung di tempatnya. Ia juga tak mengerti kenapa seemosional ini saat mendengar kabar duka dari Brian. Bagaimanapun juga, pria itu adalah ayah biologis dari janin yang tengah dikandungnya, dan Sera seperti merasakan kesedihan saat mendengar Brian sudah tiada. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Sera merasa malu dan menyesal telah menuduh Leon seperti seorang penjahat. "Padahal dia bilang kalau Brian bunuh diri. Kenapa aku malah menuduhnya dan jadi berdebat," gumam Sera li
Tubuh wanita itu ambruk ke lantai. Ia seperti tak bertulang. Kabar kematian Brian sangat mendadak dan membuatnya amat sangat terpukul.Beliau bahkan belum mematikan sambungan telepon saking terkejutnya dan tidak begitu mendengarkan ucapan sang petugas yang membawa kabar duka itu."Bagaimana mungkin? Bagaimana anakku bisa meninggal. Tadi … tadi, beberapa jam yang lalu dia masih sehat dan menikmati makanan yang kubawa. Apa yang terjadi." Danira meraung-raung tanpa henti.Perasaannya bercampur aduk kini. Dia sungguh tak bisa berkata-kata lagi saking paniknya."Aku harus mengabari Hans!" ucapnya setelah kewarasannya kembali. Danira meraih ponselnya lalu segera mencari kontak sang suami untuk mengabari kematian Brian.Tetapi, Hans yang sedang menghadiri rapat penting membuatnya sama sekali tidak menerima panggilan dari Danira."Sial! Ke mana si tua bangka ini! Giliran ada hal urgent begini dia malah gak angkat telepon!" makinya saat sepuluh kali panggilannya tak juga diterima oleh Hans.Da
Zacky datang tepat waktu. Pria dengan naluri bodyguardnya itu jelas tak bisa diremehkan. Saat ia melihat ketiga wanita itu mengikuti Sera, Zacky langsung saja mengikuti mereka dan benar saja. Ketiga perempuan itu hendak melakukan sesuatu pada Sera."Siapa kamu, hah! Lepasin nggak!" pekik Putri tak terima saat tangan halusnya tertahan oleh tangan kekar nan kasar milik Zacky."Jangan pernah menyentuh sehelai rambut Nona Sera!" seru Zacky seraya menghempaskan tangan Putri.Perempuan itu sempat terhuyung bahkan meringis kesakitan padahal Zacky tak menggunakan seluruh kekuatannya."Sialan! Kamu bodyguardnya, hah! Dasar perempuan pengecut, licik!" maki Putri sambil menyorot tajam ke arah Sera."Memang benar dia bodyguardku! Sayangnya, kamu perempuan! Jadi, dia gak akan memukulmu!" Sera tak mau kalah dengan tatapan mengintimidasi dari Putri. Keduanya tampak saling beradu tatapan tajam. "Kurang ajar! Dasar wanita murahan, kamu memang pantas punya jodoh om-om tua yang jelek! Jangan pernah gan