Share

7. Suami Jahil 1

“Apa nggak enak makanannya Sayang?” ujar Bimo saat melihat Kia yang tampak tak bersemangat menyantap makanannya.

Kia mendengus kesal. Kia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan panggilan sayang dari laki-laki lain kecuali ayahnya. Memang Bimo suaminya, tapi tetap saja Kia tidak menyukai panggilan tersebut.

“Atau kita cari tempat makan lain aja? Kamu pasti tidak terbiasa datang ke rumah makan seperti ini,” imbuh Bimo merasa bersalah karena mengajak Kia ke rumah makan sederhana bukannya ke pergi restoran.

“Bukan, bukan itu masalahnya Mas,” jawab Kia sembari memegang tangan Bimo yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.

Bimo menatap Kia penuh arti lalu kembali menempati tempat duduknya. Mendapatkan tatapan tak biasa dari Bimo barulah Kia berterus terang dengan ketidaknyamanan yang dirasakannya. “Jangan panggil aku sayang lagi ya? Aku malu apalagi di hadapan orang lain,” jujur Kia seraya mencoba tersenyum semanis mungkin.

Seketika senyuman di bibir Bimo merekah. Ternyata anggapan dirinya salah. Bimo pikir Kia tak berselera lantaran mereka hanya makan di rumah makan sederhana. Tapi memang setahu Bimo keluarga Alfarizi tidak pernah membeda-bedakan makanan. Mereka selalu merakyat. Bagi mereka asalkan tempat makan atau warung itu terjamin kebersihannya. Hal itu sudah Bimo ketahui sejak tinggal di rumah kontrakan di Jakarta bersama Azka dulu. Azka tumbuh menjadi seorang laki-laki yang religius dan sederhana. Semua itu tentu dari didikan kedua orang tuanya. Bimo sangat yakin akan hal itu. Dan bodohnya Bimo baru mengetahui bahwa sahabatnya tersebut berasal dari keluarga kaya raya setelah mereka menyandang gelar dokter. Lalu 1,5 tahun bekerja di Klinik Alfa Medical, Bimo telah mengenal keseluruhan keluarga Alfarizi dengan baik termasuk para sahabat ayah Kia yang tergabung dalam Club Cogan. Bimo tak pernah menyangka kini dirinya telah menjadi bagian dari mereka semua.

“Trus mau aku panggil apa? Bilang aja pasti aku turutin. Lagian aku manggil sayang itu juga karena memang itu yang kurasakan padamu,” jujur Bimo dengan serius. Seringai jahil tak tampak di wajah tampan itu.

“Udah deh nggak usah mulai lagi,” sahut Kia dengan acuh meskipun kalimat yang diucapkan Bimo berhasil menghadirkan rasa panas di wajahnya.

Tak ingin berdebat di tempat umum Bimo akhirnya memilih menyendok makanan di hadapannya yang mendadak terlihat begitu menggugah selera. Untuk beberapa menit mereka saling diam hingga makanan di piring mereka habis. Tiba-tiba Kia kembali teringat paket misterius tadi. Rasa was-was pun kembali mengusai hatinya.

“Mas,” panggil Kia dengan ragu. Pasalnya satu jam lagi mereka harus kembali ke tempat kerja masing-masing. Tapi Kia tidak ingin kembali ke kantor.

“Hmmm ada apa Honey?” tanggap Bimo seraya mengalihkan tatapannya ke arah perempuan di sampingnya.

“Aku pengen pulang. Mas bisa nggak anter aku ambil tas di kantor dulu lalu pulang?” ucap Kia yang berhasil membuat Bimo merasa khawatir.

“Apa kamu sakit?” Spontan Bimo menyentuh kening Kia untuk memeriksa suhu tubuhnya.

“Aku nggak sakit Mas. Aku ingin pulang aja,” sambung Kia sambil menyingkirkan tangan Bimo dari keningnya.

“Tentu saja. Kemanapun kamu ingin pergi.” Bimo lantas beranjak setelah menyetujui permintaan Kia lalu membayar tagihan makanan mereka.

Seperti sebelumnya, Kia menurut saja saat Bimo membantu memasang helm di kepalanya. Sikap laki-laki itu begitu lembut dan manis. Tapi entah mengapa hati Kia masih enggan untuk terbuka. Kia merasa ada sesuatu yang menutupi hatinya agar tidak kembali jatuh cinta. Padahal Kia sadar jika Bimo berhak atas raga dan hatinya. Kia merasa beruntung bersuamikan Bimo yang begitu sabar meskipun dirinya seringkali berbicara ketus. Sampai kini pun Bimo tidak pernah meminta haknya sebagai seorang suami. Dalam hati tentu Kia merasa berdosa. Tapi hatinya pun menolak dengan keras melakukan hubungan suami istri tanpa rasa penerimaan. Kia tidak ingin memberikan harta paling berharga miliknya tanpa rasa ikhlas. Karena dengan rasa itu Kia tidak akan mungkin mendapatkan pintu surga-Nya. Yang ada para malaikat akan melaknatnya sepanjang waktu. Itulah alasan Kia mengatakan dengan jujur kepada Bimo di malam pengantin mereka. Agar Bimo bisa bersabar sebentar saja. Menunggu dirinya hingga benar-benar siap memberikan segalanya.

Sesampainya di area gedung perusahaan Kia memberanikan diri berpegangan pada pinggang Bimo karena tak ingin orang lain curiga dengan kondisi keluarga yang masih berumur kurang dari dua minggu tersebut. Bimo mengulas senyuman sembari menatap wajah Kia dari balik kaca spion motor. Tiba-tiba seringai jahil membias di wajah Bimo. Diraihnya tangan kiri Kia lalu dilingkarkan pada perutnya. Seketika Kia mencoba menarik kembali tangannya tapi Bimo tak membiarkannya lepas begitu saja.

“Parkir motor di depan lobi aja Mas aku cepet kok,” ujar Kia yang hanya mendapatkan anggukan kepala dari Bimo.

Melihat kedatangan Kia dan Bimo satpam yang berjaga di sana seketika mendekat untuk menyapa.

“Pak titip motor sebentar ya?” ujar Bimo merasa tak enak. Tentu saja memarkirkan kendaraan di depan lobi perusahaan adalah salah satu larangan bagi seluruh karyawan.

“Iya Mas Bimo, monggo!” balas satpam berusia paruh baya tersebut dengan ramah.

Mereka berjalan beriringan memasuki gedung. Bimo hendak menunggu di lobi karena sadar diri Kia tidak menawarinya untuk ikut naik ke ruangan perempuan itu. Namun niat Bimo tak terlaksana karena Kia justru mengajaknya. Dengan senang hati Bimo menerima ajakan Kia. Ini adalah kali pertama Bimo masuk ke dalam gedung perusahaan milik keluarga Alfarizi tersebut. Di dalam lift Bimo bisa merasakan kegelisahan Kia. Bimo sangat yakin ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh istrinya. Bimo menahan untuk tidak bertanya, menyingkirkan rasa ingin tahunya. Biarlah Kia sendiri yang mengatakannya. Mungkin Kia sedang memiliki masalah di perusahaan. Bimo bertanya pun percuma. Dirinya tak tahu-menahu tentang masalah bisnis dan perusahaan.

Lift berbunyi sebagai pertanda jika mereka telah sampai pada lantai tujuan. Seketika Bimo tak mampu menutupi kekagumannya pada setiap detail tempat yang mereka lewati. Para karyawan yang kebetulan berpapasan dengan mereka menyapa dengan ramah. Sekali lagi Bimo berdecak kagum saat memasuki ruangan milik Kia.

“Ini ruangan kamu Honey?” ujar Bimo memastikan. Ruangan serba putih berpadu biru itu sangat mewah. View yang ditampilan di samping meja kerja Kia menghadap langsung ke luar gedung. Lebih tepatnya dari tempat mereka saat ini berada Bimo bisa melihat dengan bebas langit luas ataupun lalu lalang jalan raya meskipun tampak sangat kecil.

“Iya Mas ini ruangan aku,” balas Kia yang kini berdiri di depan meja kerja untuk mengambil tasnya. Melihat Bimo berjalan ke arah kaca raksasa tersebut Kia bergegas mengambil paper bag yang berhasil membuatnya was-was dan meletakkan ke dalam laci di bagian bawah mejanya. Untuk sementara waktu Kia akan diam. Mungkin itu hanya orang iseng biasa. Jadi Kia mencoba mengontrol pikiran negatifnya untuk mendapatkan ketenangan hatinya kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status