Sembari menunggu Kia mandi Bimo mengobrol bersama ibunya di dapur. Bimo menceritakan semua yang telah menimpa Kia, termasuk ketika Kia mengalami keguguran. Restu tentu saja kaget. Selama ini Bimo selalu memberikan kabar baik kepada keluarganya di Bandung. Bimo bukan sengaja ingin menyembunyikan semua masalah yang dihadapinya. Tapi karena Bimo tidak ingin membuat keluarganya merasa khawatir. Dan itu sudah Bimo lakukan ketika masih menempuh pendidikan kedokteran di Jakarta dulu. Bahkan ketika dirinya mendadak membutuhkan biaya tambahan untuk keperluan praktik. Bimo hanya akan meminta uang ketika masa panen datang. Dulu Bimo lah yang bersikeras ingin menjadi dokter padahal perekonomian keluarganya yang hanya sebagai petani mana cukup untuk biaya pendidikan kedokteran yang sangat mahal. Maka tak heran ketika Bimo lulus tes dan mendapatkan beasiswa ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Untungnya lagi Bimo bertemu Azka, sahabat yang selalu menemaninya di saat suka maupun duka. Ap
"Terima kasih Mas atas kesabaran dan ketulusan hatimu. Tanpa dirimu mungkin aku tidak akan bisa berada di titik ini. Tidak akan mampu ke luar dari masa laluku,” ucap Kia tanpa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan indah di sekelilingnya.Saat ini Bimo dan Kia tengah duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Menikmati Mentari bersama semilir angin. Padi yang mulai menguning di bagai permadani yang terbentang luas. Burung-burung pipit turut menceriakan pagi itu. Sebenarnya bukan hal yang asing bagi Kia berada di area persawahan. Setiap berkunjung ke Kediri Jawa Timur, tempat kelahiran bundanya Kia selalu bermain di sawah bersama para saudaranya. Tapi kali ini jelas berbeda rasa. Kia sedang bersama laki-laki yang dicintainya. Menikmati waktu hanya berdua, tanpa satu pun pengganggu.“Seharusnya aku yang pantas berterima kasih. Seorang putri seperti dirimu mau menikah dengan laki-laki biasa sepertiku. Rela hidup sederhana bersamaku,” sahut Bimo seraya menatap Kia dengan lekat. “
Bimo hanya mampu mengulas senyuman tipis seraya menikmati ekspresi kesal pengantin perempuannya yang saat ini tengah membersihkan sisa make up di wajahnya. Bimo sengaja berdiam diri di atas ranjang sambil memainkan ponsel miliknya. Sesekali ia membenarkan posisi bantal yang saat ini menahan beban tubuhnya. Sudah setengah jam yang lalu Bimo berada di kamar pengantinnya. Tapi tak sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya. Memperhatikan gadis yang baru beberapa jam lalu sah menjadi istrinya jauh lebih menarik daripada melakukan hal lain.Tanpa disadari gadis itu Bimo beberapa kali mengambil gambar dari berbagai ekspresi yang menyemai di wajah ayu itu dengan kamera ponselnya. Sungguh kegiatan yang paling menyenangkan baginya saat ini. Tak masalah jika gadis itu terus saja mendiamkan dirinya. Yang pasti mulai malam ini dirinya bisa memandang wajah gadis itu sepanjang malam sudah lebih dari cukup. Biarlah cinta datang dengan sendirinya, dirinya cukup bersabar dan berusaha memenangkan ha
Kini Kia berada di bawah pancuran shower. Menikmati guyuran air dingin yang seketika berhasil menyegarkan tubuh dan pikirannya. Hampir seharian berbalut pakaian pengantin dan menyambut para tamu undangan tentu membuat Kia berkeringat. Karena rasa letih yang mendera, Kia tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kamar mandi meskipun sebenarnya bathub yang telah berisi air hangat bertabur kelopak bunga mawar itu telah memangil-manggil dirinya untuk berendam di sana. Kegiatan menyenangkan yang seharusnya Kia lakukan setelah seharian beraktivitas.Dengan cepat Kia membersihkan diri mulai dari keramas, memakai sabun mandi dan wajah, dan menggosok gigi. Setelah mematikan aliran shower Kia bergegas ke luar dari partisi shower. Namun seketika kedua mata Kia terbelalak saat menyadari jika dirinya tadi lupa membawa handuk."Duh gimana ini aku lupa nggak bawa handuk dan underwear bersih," gerutu Kia seraya memijit kepala yang mendadak terasa pusing karena kecerobohannya. Kia melupakan
Karena rasa kantuk tak juga menyambanginya Bimo akhirnya memilih duduk. Meletakkan bantal di belakang tubuhnya kemudian menyandarkan punggungnya di sana. Sejenak Bimo menatap punggung Kia yang sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Diraihnya ponsel miliknya yang sejak tadi sudah offline di atas nakas di sebelahnya. Untuk mengisi kesendirian Bimo memutuskan mengaktifkan kembali jaringan internet di ponselnya untuk menghibur diri. Seperti biasa Bimo akan membaca artikel yang berkaitan dengan kesehatan. Jika sedang fokus dengan apa yang tengah dibaca biasanya Bimo akan melupakan apapun yang mengganggu dalam benaknya. Lima belas menit berlalu Bimo tak juga mampu mendapatkan konsentrasinya. Artikel yang biasa begitu menarik kini seolah tak berguna. Pikirannya tetap tertuju pada gadis cantik di sampingnya. Bimo gelisah bukan lantaran hak malam pertamanya tidak terpenuhi melainkan karena rasa syukur yang tak terkira kepada Allah SWT. Bimo sangat bahagia karena berhasil mengikat Kia dalam s
Seminggu bukan waktu yang sebentar bagi Kia. Selama itu pula ia harus berpura-pura bahagia di hadapan seluruh keluarga besarnya. Bersikap munafik pada dirinya sendiri. Bersembunyi di balik senyuman merekah yang selalu ditebar kepada semua orang yang ditemuinya. Terutama ayah dan bundanya. Semua ini ia lakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Tidak ada yang paling berharga kecuali senyuman dari kedua orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak dirinya dalam kandungan hingga sedewasa ini. "Kamu yakin mau tinggal bersamaku di rumah kontrakan?" Untuk kesekian kalinya Bimo menanyakan hal itu. Memastikan tidak ada keterpaksaan bagi Kia untuk mengikutinya. Bimo tak habis pikir jika Kia yang selama ini hidup bak seorang putri raja bersedia ikut pulang ke rumah kontrakan yang sejak setahun lalu disewanya. Kia menghentikan aktivasinya yang tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Lalu dengan ekspresi datar Kia menatap Bimo. "Apa Mas Bimo nggak yakin dengan pernikahan kita?" Kia melaya
Bimo hanya mampu tersenyum geli melihat sikap salah tingkah Kia. Setelah Kia menghilang di balik pintu kamar mandi Bimo kembali menyeret koper milik Kia masuk ke dalam kamar mereka. Meletakkan di sisi ranjang, barangkali nanti Kia ingin langsung memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari berpintu 2 yang sudah Bimo siapkan. Bimo sendiri hanya menyisakan beberapa pakaiannya di sana karena khawatir tidak muat. Bimo tahulah bagaimana Kia selama ini. Isi walk in closed di kamar Azka pastilah tak sebanding dengan milik Kia. Bimo pernah beberapa kali masuk ke dalam kamar Azka. Dan jangan ditanyakan isi walk in closed milik sahabatnya yang kini menjadi kakak iparnya tersebut. Apalagi Kia perempuan yang tentunya memiliki koleksi fashion yang lebih banyak dan beragam. Sebenarnya Bimo sempat ragu saat menerima pernikahan ini. Hanya karena rasa cinta yang dimilikinya untuk Kia, Bimo nekad menerima perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga Alfarizi. Ya, meskipun Kia tak pernah memandangnya selama
Berulang kali Kia membaca ulang kartu ucapan misterius tersebut. Mencoba mengingat siapa seseorang yang menyebut sebagai pengagum rahasianya. Seingat Kia, setelah patah hati atas pengkhianatan Zyan dulu ia tidak memiliki teman laki-laki yang akrab. Kia sengaja menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan dari keluarganya. Bukan karena Kia sombong atau memiliki standard pribadi untuk pertemanannya. Tapi Kia hanya ingin menjaga hatinya agar tidak sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Kia tidak ingin kisah itu terulang kembali. Maka tak heran jika Kia betah menjomlo begitu lama. Kia justru pasrah menunggu jodohnya datang sendiri. Karena Kia menyakini bahwa jodoh dan kematian adalah takdir yang tidak akan bisa berubah. Takdir yang sudah digariskan sejak manusia berusia 4 bulan dalam kandungan ibunya. Saat ruh anak manusia untuk pertama kali ditiupkan. Tak ingin terlalu memikirkan surat misterius tersebut Kia lantas membuka laptop di had
“Apa nggak enak makanannya Sayang?” ujar Bimo saat melihat Kia yang tampak tak bersemangat menyantap makanannya.Kia mendengus kesal. Kia merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa dengan panggilan sayang dari laki-laki lain kecuali ayahnya. Memang Bimo suaminya, tapi tetap saja Kia tidak menyukai panggilan tersebut.“Atau kita cari tempat makan lain aja? Kamu pasti tidak terbiasa datang ke rumah makan seperti ini,” imbuh Bimo merasa bersalah karena mengajak Kia ke rumah makan sederhana bukannya ke pergi restoran.“Bukan, bukan itu masalahnya Mas,” jawab Kia sembari memegang tangan Bimo yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya.Bimo menatap Kia penuh arti lalu kembali menempati tempat duduknya. Mendapatkan tatapan tak biasa dari Bimo barulah Kia berterus terang dengan ketidaknyamanan yang dirasakannya. “Jangan panggil aku sayang lagi ya? Aku malu apalagi di hadapan orang lain,” jujur Kia seraya mencoba tersenyum semanis mungkin. Seketika