“BAGAIMANA BISA AYAH MENYERAHKANKU? AYAH GILA YA?! LEBIH BAIK AKU MATI DARIPADA HARUS MENIKAH DENGAN PRIA CACAT ITU!!!” Suara teriakan seorang wanita cantik yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 21 tahun itu sontak membuat Ariella menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Mata dengan warna coklat madu itu mengintip ke dalam ruangan tempat teriakan tersebut berasal. Senyum lebar terpatri dibibirnya begitu melihat Faniya berdiri disana dengan raut muka yang penuh dengan emosi. Sedangkan sang pemilik ruangan, Andrew menghela napas lalu memijat dahinya pelan, merasa pusing dengan teriakan putrinya yang sangat keras kepala.
“Tapi pernikahan kalian sudah disiapkan Faniya, tidak mungkin dibatalkan lagi. Apa kamu ingin perusahaan kita bangkrut? Jangan lupa jika sejak awal kita sudah sepakat dengan semuanya Faniya!” Ucap Andrew
“Ayah menjualku?! Anak kandung ayah demi keuntungan perusahaan?!” Tanya Faniya, dia menatap tak percaya pada Andrew dengan wajah terluka.
Lagi-lagi Andrew menghela nafas, dia beranjak dari kursi kerjanya mendekati Faniya, memegang pundak wanita itu dan mengusapnya dengan lembut, Ariella yang berada diluar bisa melihat ekspresi pada wajah Andrew, ekspresi yang penuh dengan kasih sayang seorang Ayah yang tidak pernah dia dapatkan.
“Faniya, berhenti bertingkah seolah kau lupa dengan semuanya, ayah mohon, turuti keinginan ayah. Lagi pula pria yang akan kamu nikahi bukan orang sembarangan Faniya, dia tuan muda Winston, pewaris perusahaan internasional Winston Airlines”
Mata Ariella membola, dia menutup mulut dengan tangan dan menatap tak percaya pada pria paruh baya itu. Winston Airlines katanya? Perusahaan maskapai penerbangan terbesar itu? Waw, bahkan Ariella yang tidak pernah melihat beritapun tau betapa kayanya keluarga konglomerat itu. Bagaimana bisa Pebisnis seperti Andrew yang bahkan tidak masuk jajaran top 5 besar di Indonesia sepertinya mengenal pebisnis berkelas internasional?
“Aku tidak mau ayah. Untuk apa kaya jika fisiknya saja akan membuatku malu!! Apa ayah tidak tau bagaimana kondisinya sekarang! Selain cacat dia juga jelek!” teriak Faniya
“Faniya tolonglah, jika kamu menikah dengannya bayangkan betapa terjaminnya hidupmu dan keuntungan yang didapatkan perusahaan kita, ayah melakukan itu semua untukmu Faniya” ucap Andrew dengan memohon, dia kehabisan cara untuk membujuk putrinya itu. Saat ini perusahaannya sedang di ambang kehancuran karena tangan kanannya membawa kabur dana perusahaan dalam jumlah yang besar namun dibalik itu Andrew yakin jika kehancuran perusahaannya juga melibatkan campur tangan keluarga Winston, Andrew berpikir mungkin karena perjanjian mereka sebelumnya.
Faniya menunduk dengan tangan mengepal. Di luar Ariella tersenyum miring. Ariella sangat kenal dengan sifat Faniya, terlalu naif dan pada akhirnya selalu dirinya yang akan dijadikan kambing hitam dalam sebuah perdebatan Faniya dan Andrew, pria yang membawanya dari panti asuhan 10 tahun yang lalu.
“Faniya…” Andrew menjeda ucapannya “Kau tidak lupa dengan perbuatanmu kan?” Lanjut Andrew, Ariella yang berada diluar mengerutkan kening bingung, sebenarnya kemana arah pembicaraan mereka.
“Ayah… Aku masih muda, masa depanku cerah. Pernikahan bisnis tidak cocok untukku. Mengapa ayah tidak menikahkan Ariella dengan pria itu, bukankah gadis itu putri tertua ayah.. meskipun hanya seorang anak angkat…” Ucap Faniya dengan lirih. Mendengar itu Ariella menahan tawanya. Tebakannya akurat. Faniya mengucapkan kata-kata yang sudah dapat diduga olehnya. Lagipula tidak mungkin Faniya meng-iyakan ucapan Andrew saat dia sedang mengandung anak pria lain.
“Ariella sudah memiliki tunangan Faniya, bagaimana bisa dia menikah dengan tuan muda Winston menggantikan dirimu?”
Ariella kembali menyimak percakapan yang terjadi diantara keduanya. Ia tersenyum tipis ketika Faniya mulai menangis dengan lirih sambil mengelus perutnya. Ariella mendekatkan diri ke arah pintu, telingannya nyaris menempel, Ariella menonton dengan seksama drama yang akan terjadi didepannya.
“Ayah maafkan aku.. se..sebenarnya, aku mengandung anak kak Mason. Mungkin ini sedikit terlambat, namun aku dan kak Mason saling mencintai, Ayah…..” Faniya menjeda, wajahnya yang penuh air mata menatap pada Andrew “Apa Ayah tau jika kak Mason terpaksa menerima pertunangan dengan Ariella karena dipaksa oleh orang tuanya dan aku juga sangat mencintainya, maafkan aku ayah...” Andrew terdiam, pria berusia 51 tahun itu menatap tak percaya pada pada sang anak yang menunduk takut dan cemas, tak tau saja bahwa dibalik kepalanya yang tertunduk wanita itu berusaha menahan senyum lebarnya.
“BAGAIMANA BISA? KAU DAN TUNANGAN KAKAKMU?!” Andrew menaikkan nada bicaranya. Jujur saja ini pertama kalinya Ariella mendengar Andrew semurka ini pada anak kesayangannya itu, bahkan Ariella juga bisa melihat tubuh Faniya yang bergetar karena terkejut dan takut.
“Ayah… aku mohon, biarkan aku dan kak Mason bersama. Aku berjanji setelah ini tidak akan membuat kekacauan lagi” ucap Faniya dengan lirih dia bahkan bersimpuh dikaki Andrew. Menghayati peran anak menyedihkan yang kini dilakoninya
“Astaga Faniya, bagaimana ayah mengatakannya pada keluarga Winson!. APA KAU BISA BERPIKIR SEBELUM BERTINDAK FANIYA!!!” Andrew berteriak marah, dia mengusap wajah dengan frustasi. Andrew menyesal memanjakan Faniya. Sejak kecil putrinya itu selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan hingga apapun keinganan putrinya itu harus dituruti.
“A-ayah.. Please..” Faniya berucap penuh permohonan, Andrew menghela nafas untuk kesekian kalinya
“Berapa usianya?” Tanya Andrew dengan pandangan yang mengarah pada perut Faniya.
“3 minggu, ayah” jawab Faniya masih dengan isakannya, Andrew membantu putrinya itu untuk berdiri.
“tetap disini” Ucap Andrew setelah Faniya duduk di sofa ruang kerjanya. Pria paruh baya itu meraih ponselnya yang berada diatas meja. Menekan beberapa tombol dan melakukan panggilan.
“Halo” jawab seseorang diseberang sana saat panggilan itu terhubung
“Datang ke rumahku sekarang! Kau perlu meluruskan banyak hal!”
Tut
Tanpa menunggu balasan panggilan telpon diputuskan sepihak oleh Andrew. Pria paruh baya itu kembali menghela napas lalu menatap Faniya.
“Mason akan kemari. Ayah akan meminta penjelasan kalian berdua.” Ucapan Andrew menjadi akhir pembicaraan mereka, merasa tak ada lagi yang perlu disimak, Ariella melangkah menjauh, dia berjalan menuju sebuah ruangan dilantai dua, kamarnya.
Ariella melemparkan tasnya asal dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamarnya, seulas senyum tipis kembali muncul dibibir ceri itu
“Apa ku lakukan sekarang saja yaa?” Gumamnya sambil berbalik dan menatap sebuah figura di atas meja. Ariella meraih figura itu dan mengusap foto yang berisikan sepasang suami istri dan kedua anak kecil lelaki dan perempuan. Sungguh sebuah foto keluarga yang sangat bahagia.
“Papa, Mama, Kak Lean… Apa aku harus menunggu lagi?” Tanyanya pada foto itu meskipun gadis itu tau jika dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun. “Aku lelah terus berpura-pura didepannya. Kadang aku ingin langsung melepaskan kepalanya, tapi jika aku melakukan itu.. aku tidak bisa mengambil semua yang seharusnya menjadi milik kita” Lanjut Ariella, dia terkekeh samar
“Dia selalu mengancamku tau.. jika aku tidak menurut dia akan merobohkan panti… bukankah pria tua itu sudah layak untuk mencium bau tanah Pa?” lagi-lagi Ariella bermonolog sendiri.
“Oiya pertunanganku dengan Mason sepertinya akan batal, tapi tidak masalah aku memiliki rencana lain yang jauh lebih menyenangkan, kalian tenang saja, aku pasti akan membongkar semuanya" Ucap Ariella dengan tatapan yang mengobarkan tekad kuat bahwa semuanya akan berjalan sesuai dengan rencananya, bagaimanapun caranya!
Mederick menyerahkan sebuah kertas pada Ariella. Surat pengalihan seluruh aset milik atas nama Mederick pribadi. Mulai dari property hotel, restoran bintang 5 miliknya hingga asset lain seperti mansion dan gendung-gedung atas nama Mederick ditambah lagi pulau pribadi milik Mederick“Kau mau menjual ini semua?” Tanya Ella penasaran karena Mederick menyerahkan dokumen itu ke arahnya. Mederick menggeleng. Pria itu menyerahkan sebuah surat yang berbeda dari surat-surat lainnya.“Surat pernyataan?” Gumam Ariella membaca selembar surat yang Mederick serahkan“Semua aset milikku sudah menjadi milikmu termasuk aku. Jadi tandatangani surat yang menyatakan bahwa kau adalah milikku untuk selamanya” Jelas Medrick cepat. Ariella melotot terkejut.“Apa-apaan ini, kau tidak takut jika aku pergi darimu lagi, Der?” Tanya Ariella tanpa menghilangkan raut terkejutnya. Ariella terkesiap saat Mederick bergerak cepat meraih pinggangnya dan mendekapnya lebih eratAriella merasakan hatinya berdebar kencang k
Dalam sebuah kamar rumah sakit yang tenang, Mederick terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan lesu. Tidak jauh darinya, Ariella duduk di kursi, pandangannya terpaku pada wajah Mederick yang lelah. Pikirannya berkecamuk dengan beragam emosi, dari kemarahan hingga belas kasihan."Dia selalu saja menyebalkan" gumam Ariella pelan. "Tapi, aku tidak bisa membantah bahwa dia peduli padaku." Dia merenung sejenak, mengingat momen-momen mereka bersama, bahkan di antara pertengkaran dan konflik yang tak kunjung usai.Ariella menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan dirinya menyakitiku" gumamnya dengan suara penuh ketegasan. "Dia harus belajar mengendalikan emosinya, seperti yang selalu dia katakan kepadaku."Saat itu, Mederick mulai bergerak, matanya terbuka perlahan. Ariella segera berdiri, tatapannya bertemu dengan Mederick yang masih lemah. "Kau sadar" ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan pria itu
Sementara itu, di pulau terpencil yang jauh dari kekacauan di villa mewah Mederick, Ariella Dfretes duduk di sebuah teras dengan pemandangan pantai yang tenang. Bersama dengannya adalah Faniya dan Mason, dua orang yang telah memberikan perlindungan dan kedamaian setelah ia melarikan diri dari kekacauan yang diciptakan oleh Mederick."kak, aku masih tidak percaya bahwa kau berhasil melarikan diri dari Mederick" ujar Faniya dengan nada prihatin. "Kakak tahu bahwa dia tidak akan pernah berhenti mencarimu."Ariella mengangguk dengan penuh ketegasan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa lagi tinggal di bawah pengaruhnya. Aku butuh kebebasan, dan aku tidak akan kembali padanya. Tenang saja aku gak ganggu kalian kok"Mason menatap Ariella dengan penuh kekhawatiran. "Tapi, bagaimana dengan ancamannya? Apakah kau yakin kau aman di sini?""Aku tahu risikonya" jawab Ariella mantap. "Tapi aku lebih baik berisiko hidup di sini daripada hidup di bawah bayang-bayang ketakutan bersama Mederick. Tapi aku ju
Dalam gelapnya malam yang menyelimuti villa mewah itu, Mederick Winston berdiri di tengah-tengah ruangan yang kini tergenang oleh lautan darah dan mayat-mayat yang tergeletak tanpa bentuk. Kekacauan yang terjadi adalah gambaran nyata dari kegilaan yang merajalela di dalam dirinya."SIALAN, KALIAN SEMUA TIDAK BERGUNA!" teriak Mederick dengan suara yang penuh kemarahan, membuat udara menjadi terasa lebih berat di dalam ruangan itu. Tangannya bergetar saat ia memandang ke sekeliling, melihat kehancuran yang ia sebabkan dengan tangannya sendiri.Tak peduli siapa yang berada di depannya, Mederick mengamuk tanpa ampun. Dia tidak membedakan siapa pun yang berada di jalannya, termasuk para bawahannya sendiri. Ia memukul, menendang, bahkan membunuh tanpa ampun, seperti seorang manusia yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.Di antara orang-orang yang menjadi korban kegilaannya, Jack, salah satu bawahannya yang setia, berdiri dengan wajah yang penuh kebingungan dan kecemasan. Selama delap
Ariella berdiri di ruangan rapat, di hadapan tim eksekutif dan staf perusahaannya yang terkejut dan bingung dengan pernyataan yang baru saja Ariella katakan"Saya ingin berbicara dengan kalian semua. Seperti yang kalian ketahui, saya baru saja dilantik sebagai Presiden Direktur perusahaan Darwin. Namun, saya memiliki pengumuman penting yang perlu saya sampaikan."Tim eksekutif dan staf memandang Ariella dengan penasaran. Ariella mengambil napas panjang“Saya telah memutuskan untuk menyerahkan seluruh kekayaan dan aset perusahaan ini kepada sebuah panti asuhan yang membutuhkan. Saya percaya bahwa sebagai pemimpin, tanggung jawab kami tidak hanya terbatas pada mencari keuntungan, tetapi juga pada memberikan kembali kepada masyarakat."Semua yang ada disana termasuk tim eksekutif dan staf terkejut dengan pengumuman tersebut, beberapa di antaranya menunjukkan reaksi campuran antara kagum dan kebingungan.“Tapi bagaimana kelanjutan perusahaan?”Ariella menanggapi pertanyaan itu dengan seny
Langit senja menyala di balik jendela mobil mewah saat Mederick mengemudikannya dengan tenang. Ariella duduk di sebelahnya, tetapi suasana di dalam mobil terasa tegang. Mereka baru saja meninggalkan acara bisnis yang panjang, tetapi tidak sepatah kata pun terucap sejak mereka memulai perjalanan pulang.Dengan napas dalam, Mederick memutuskan untuk memecahkan keheningan yang membelenggu mereka. "Riel, aku ingin meminta maaf."Ariella menoleh padanya dengan pandangan yang penuh pertanyaan di matanya. "Maaf? Maaf untuk apa?" ucapnya berpura-pura tak tahu, meskipun dalam hatinya dia sudah mengetahui alasan di balik permintaan maaf Mederick.Mederick menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tahu belakangan ini aku agak... terlalu cemburu. Aku ingin meminta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman."Ariella menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia tidak mengharapkan permintaan maaf seperti itu dari Mederick, yang biasanya sulit mengakui kesalahannya. "meskipun aku m