Sebuah mobil Ferrari Purosangue hitam memasuki halaman ketika pagar dibuka. Mobil itu berhenti di halaman depan mansion putih yang cukup luas. 15 menit lalu, setelah menerima telpon dari pemilik rumah dia bergegas menuju kemari.
Seorang pria dengan kaos coklat polos yang dilapisi oleh jaket kulit itu turun dan langsung disambut beberapa pelayan yang membukakan pintu Mansion
âSelamat datang tuan muda Sevant. Tuan Andrew sudah menunggu anda di ruangannyaâ Sapa Hidar, pria berusia 44 tahun yang menjabat sebagai kepala pelayan. Pria muda itu mengangguk lalu melangkah menuju ruang kerja milik Andrew.
Cklek. Pintu ruangan itu terbuka. Andrew menatap sekilas ke arah pria muda yang baru saja masuk dan melangkah mendekat ke sofa.
âKau sudah datangâucap Andrew yang dibalas anggukan oleh Mason
âDuduklahâ lanjutnya
Mason de servant, pria campuran Indonesia-Spanyol itu kini mendudukkan dirinya di sofa ruang kerja Andrew. Pria itu menatap bingung ke arah Faniya yang menunduk didepannya serta Andrew yang mengusap keningnya. Menghilangkan rasa pusing dikepalanya.
Dia sempat menebak-nebak apa alasan Andrew memanggilnya, apakah dia melakukan kesalahan? Namun seingatnya dia tidak memiliki kesalahan pada Andrew, kecualiâŚ
âJadi.. kenapa paman memanggilku?â Tanya Mason setelah jeda beberapa detik, lebih baik dia menyakan hal itu langsung pada Andrew
âMason, jawab dengan jujur. Apa kau menjalin hubungan dengan Faniya dibelakang Ella?â
Mason mematung. Dia sudah menduga Andrew akan bertanya seperti itu. Pria itu menatap Faniya yang berada disebelah sang ayah. Seolah meminta penjelasan atas pertanyaan Andrew.
âAnswer me, dude!â Andrew menekan ucapannya saat Mason tak kunjung menjawab. Mason menghela napas lalu menatap Andrew âYaa, kami sepasang kekasihâ Jawabnya
âSejak kapan?â
â2 bulan yang laluâ
âApa orang tuamu tau?â
âBelum, rencananya aku akan memberitau mereka sebelum acara pertunangan kami dilakukan. Aku sudah membicarakanya dengan Ella dan dia setuju agar pertunangan itu berubah menjadi pertunanganku dengan Faniya.â
âBeraninya kalian mempermainkan ku! Jika aku tidak mengetahuinya hari ini apa kalian akan tetap meneruskannya-â
âAyah..â Faniya menggenggam tangan Andrew dengan wajah memelas. Lagi untuk kesekian kalinya Andrew menghela napas.
âApa kau tau Faniya sedang mengandung anakmu!?â ucapan Andrew sontak membuat Mason membatu. Tatapannya terarah pada Faniya yang masih menunduk. Dia mengepalkan tangannya. Jika boleh jujur Mason tidak tau namun dia juga tidak bisa menolak pernyataan itu karena memang dialah pelakunya.
âAku akan bertanggung jawabâ dengan suara serak dan ragu Mason menjawab.
âTentu kau harusâ ucap Andrew tegas âNamun bukan itu masalahnya sekarang Mason, Faniya seharusnya menikah dengan Malkin Winston namun karena perbuatan kalian perusahaanku harus menanggung akibatnyaâ lanjut Andrew. Mendengar nama Winston disebutkan, Mason terdiam, dia sering mendengar tentang keluarga Winston terlebih setiap harinya pasti ada saja laman berita yang memuat kabar terbaru tentang keluarga itu.
âAyah.. kita sudah sepakat jika Ariella akan menggantikanku!â Tukas Faniya dengan kesal
âAku akan memberikan 15 persen sahamku pada Darwinâ Ucap Mason setelah diam beberapa saat. Sebagai sesama pebisnis Mason tau jika terjadi kerugian yang disebabkan oleh koleganya maka harus mengganti rugi adalah sesuatu yang pasti.
âTapi bukankah paman bisa menolak lamarannya?â Tanya Mason. Ada sedikit perasaan tidak nyaman dihatinya mendengar Ariella akan menikah dengan pria lain. Jika boleh jujur dari awal Mason memang penasaran dengan Ariella, dia gadis yang cantik dan tenang terlebih lagi Ariella selalu dibanggakan oleh Ibu Mason.
Tapi sayangnya meski Ariella sangat cantik namun sifatnya yang dingin membuat Ariella terlihat tidak menarik untuknya, terlebih lagi Faniya sangat gencar menggoda dirinya hingga semua ini terjadi.
âJika aku menolaknya maka perusahaan Darwin dan Sevant akan gulung tikarâ Ucap Andrew datar
âSeparah itu?â Tanya Mason. Andrew menghela napas, dia sadar jika Mason tidak mungkin mengerti dengan masalahnya, setidaknya 15 persen sudah cukup untuk membuat perusahaannya kini lebih stabil meskipun tidak pulih sepenuhnya.
âKau tidak perlu ikut campur Mason. Pergilah dan jangan lupa pertanggung jawabkan perbuatanmuâ ucap Andrew setelah keheningan beberapa saat yang ditujukan pada Mason.
Mason mengangguk âAku permisiâ Pamitnya lalu berjalan keluar dengan Faniya yang mengikutinya di belakang dengan senyum lebar. âAku senangâ Ucap Faniya
âKenapa kamu tidak bilang padaku, Faniya?â Tanya Mason saat keduanya berada di halaman depan
âAku ingin memberimu kejutan Mason, bukannya ini yang kamu mau? Lepas dari erat perjodohan menggelikan kalianâ Ucap Faniya dengan kekehan ringan. Mason tersenyum tipis dan mengusap rambut berwarna pirang milik Faniya.
âMasuklah, angin malam tidak baik untuk kesehatanmuâ Mason mengecup kening Faniya dengan lembut lalu masuk ke dalam mobil. Faniya tersenyum lebar, dia melambaikan tangannya pada mobil Mason yang keluar dari gerbang rumahnya
âSaatnya membuat parasite itu pergiâ Ucap Faniya dengan senyum merendahkan. Faniya berjalan menuju ruang Andrew. Ayahnya kini tengah berkutat dengan beberapa berkas perusahaan yang menunjukan grafik penurunan yang sangat ekstrem.
âApalagi Faniya?â Ucap Andrew lelah. Dia menyenderkan tubuhnya pada kursi. Tangannya mengurut dahinya yang menunjukkan kerutan samar. âAyah tidak ingin mengatakannya pada Ella?â Tanya Faniya dengan menatap sang ayah.
Andrew menghembuskan nafas kasar. Tangannya beralih menekan intercom yang berada diatas mejanya âPanggil Ariella kemari!â ucap Andrew pada asistennya.
Dalam hati Faniya tersenyum puas, dia benar-benar ingin Ariella pergi. Persetan dengan tuan muda keluarga kaya, Faniya lebih memilih hidup bersama pria tampan seperti Mason, lagipula dia juga sudah kaya jadi biar saja Ariella yang menikah menggantikannya, menikahi pria cacat permanen itu.
Disisi lain di sebuah kamar lantai 2 mansion keluarga Darwin. Ariella masih terbaring diatas ranjangnya, matanya yang nyaris tertutup kini terbuka saat mendengar suara ketukan pada pintu. Ariella membuka pintu itu dan langsung berhadapan dengan John, asisten Andrew.
âTuan menunggu anda di ruang kerjanyaâ ucap John datar. Ariella mengangguk singkat lalu keluar menuju ruang kerja. Ariella menuruni tangga dengan tenang, sesekali dia menatap John yang curi pandang ke arahnya. John terlihat mapan, usianya 30 tahun dan belum menikah, sayangnya Ariella tidak tertarik menjadikan John sebagai pion ataupun pasangannya.
John membukakan pintu untuk Ariella. Ruangan itu terbuka. Ariella menatap Andrew yang sesekali menghela nafas gusar melihat dokumen ditangannya dan disisi lain ada Faniya yang menatapnya dengan senyum mengejek.
âEllaâ merasa dipanggil Ariella sontak menoleh ke arah Andrew yang kini menumpukan dagunya pada kedua tangan yang terkepal diatas meja, dia meletakan berkas yang tadi di bacanya.
âPertunanganmu dan Mason akan dibatalkan.â Ariella mengangguk dalam diam, dia menunggu kelanjutan ucapan Andrew âMenikahlah dengan pria pilihan ayah, menggantikan Faniyaâ lanjut Andrew, setelah sedikit jeda dalam ucapannya.
Mederick menyerahkan sebuah kertas pada Ariella. Surat pengalihan seluruh aset milik atas nama Mederick pribadi. Mulai dari property hotel, restoran bintang 5 miliknya hingga asset lain seperti mansion dan gendung-gedung atas nama Mederick ditambah lagi pulau pribadi milik MederickâKau mau menjual ini semua?â Tanya Ella penasaran karena Mederick menyerahkan dokumen itu ke arahnya. Mederick menggeleng. Pria itu menyerahkan sebuah surat yang berbeda dari surat-surat lainnya.âSurat pernyataan?â Gumam Ariella membaca selembar surat yang Mederick serahkanâSemua aset milikku sudah menjadi milikmu termasuk aku. Jadi tandatangani surat yang menyatakan bahwa kau adalah milikku untuk selamanyaâ Jelas Medrick cepat. Ariella melotot terkejut.âApa-apaan ini, kau tidak takut jika aku pergi darimu lagi, Der?â Tanya Ariella tanpa menghilangkan raut terkejutnya. Ariella terkesiap saat Mederick bergerak cepat meraih pinggangnya dan mendekapnya lebih eratAriella merasakan hatinya berdebar kencang k
Dalam sebuah kamar rumah sakit yang tenang, Mederick terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan lesu. Tidak jauh darinya, Ariella duduk di kursi, pandangannya terpaku pada wajah Mederick yang lelah. Pikirannya berkecamuk dengan beragam emosi, dari kemarahan hingga belas kasihan."Dia selalu saja menyebalkan" gumam Ariella pelan. "Tapi, aku tidak bisa membantah bahwa dia peduli padaku." Dia merenung sejenak, mengingat momen-momen mereka bersama, bahkan di antara pertengkaran dan konflik yang tak kunjung usai.Ariella menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan dirinya menyakitiku" gumamnya dengan suara penuh ketegasan. "Dia harus belajar mengendalikan emosinya, seperti yang selalu dia katakan kepadaku."Saat itu, Mederick mulai bergerak, matanya terbuka perlahan. Ariella segera berdiri, tatapannya bertemu dengan Mederick yang masih lemah. "Kau sadar" ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan pria itu
Sementara itu, di pulau terpencil yang jauh dari kekacauan di villa mewah Mederick, Ariella Dfretes duduk di sebuah teras dengan pemandangan pantai yang tenang. Bersama dengannya adalah Faniya dan Mason, dua orang yang telah memberikan perlindungan dan kedamaian setelah ia melarikan diri dari kekacauan yang diciptakan oleh Mederick."kak, aku masih tidak percaya bahwa kau berhasil melarikan diri dari Mederick" ujar Faniya dengan nada prihatin. "Kakak tahu bahwa dia tidak akan pernah berhenti mencarimu."Ariella mengangguk dengan penuh ketegasan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa lagi tinggal di bawah pengaruhnya. Aku butuh kebebasan, dan aku tidak akan kembali padanya. Tenang saja aku gak ganggu kalian kok"Mason menatap Ariella dengan penuh kekhawatiran. "Tapi, bagaimana dengan ancamannya? Apakah kau yakin kau aman di sini?""Aku tahu risikonya" jawab Ariella mantap. "Tapi aku lebih baik berisiko hidup di sini daripada hidup di bawah bayang-bayang ketakutan bersama Mederick. Tapi aku ju
Dalam gelapnya malam yang menyelimuti villa mewah itu, Mederick Winston berdiri di tengah-tengah ruangan yang kini tergenang oleh lautan darah dan mayat-mayat yang tergeletak tanpa bentuk. Kekacauan yang terjadi adalah gambaran nyata dari kegilaan yang merajalela di dalam dirinya."SIALAN, KALIAN SEMUA TIDAK BERGUNA!" teriak Mederick dengan suara yang penuh kemarahan, membuat udara menjadi terasa lebih berat di dalam ruangan itu. Tangannya bergetar saat ia memandang ke sekeliling, melihat kehancuran yang ia sebabkan dengan tangannya sendiri.Tak peduli siapa yang berada di depannya, Mederick mengamuk tanpa ampun. Dia tidak membedakan siapa pun yang berada di jalannya, termasuk para bawahannya sendiri. Ia memukul, menendang, bahkan membunuh tanpa ampun, seperti seorang manusia yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.Di antara orang-orang yang menjadi korban kegilaannya, Jack, salah satu bawahannya yang setia, berdiri dengan wajah yang penuh kebingungan dan kecemasan. Selama delap
Ariella berdiri di ruangan rapat, di hadapan tim eksekutif dan staf perusahaannya yang terkejut dan bingung dengan pernyataan yang baru saja Ariella katakan"Saya ingin berbicara dengan kalian semua. Seperti yang kalian ketahui, saya baru saja dilantik sebagai Presiden Direktur perusahaan Darwin. Namun, saya memiliki pengumuman penting yang perlu saya sampaikan."Tim eksekutif dan staf memandang Ariella dengan penasaran. Ariella mengambil napas panjangâSaya telah memutuskan untuk menyerahkan seluruh kekayaan dan aset perusahaan ini kepada sebuah panti asuhan yang membutuhkan. Saya percaya bahwa sebagai pemimpin, tanggung jawab kami tidak hanya terbatas pada mencari keuntungan, tetapi juga pada memberikan kembali kepada masyarakat."Semua yang ada disana termasuk tim eksekutif dan staf terkejut dengan pengumuman tersebut, beberapa di antaranya menunjukkan reaksi campuran antara kagum dan kebingungan.âTapi bagaimana kelanjutan perusahaan?âAriella menanggapi pertanyaan itu dengan seny
Langit senja menyala di balik jendela mobil mewah saat Mederick mengemudikannya dengan tenang. Ariella duduk di sebelahnya, tetapi suasana di dalam mobil terasa tegang. Mereka baru saja meninggalkan acara bisnis yang panjang, tetapi tidak sepatah kata pun terucap sejak mereka memulai perjalanan pulang.Dengan napas dalam, Mederick memutuskan untuk memecahkan keheningan yang membelenggu mereka. "Riel, aku ingin meminta maaf."Ariella menoleh padanya dengan pandangan yang penuh pertanyaan di matanya. "Maaf? Maaf untuk apa?" ucapnya berpura-pura tak tahu, meskipun dalam hatinya dia sudah mengetahui alasan di balik permintaan maaf Mederick.Mederick menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tahu belakangan ini aku agak... terlalu cemburu. Aku ingin meminta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman."Ariella menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia tidak mengharapkan permintaan maaf seperti itu dari Mederick, yang biasanya sulit mengakui kesalahannya. "meskipun aku m