Share

Bab 4 - Mungkinkah Bima yang itu?

"Selamat tidur."

Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!

"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.

Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.

[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]

Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'

Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian terakhir pesan pria asing itu.

[Jangan lupa minum obatnya, setelah itu sarapan. Aku juga dengar kamu bergumam menginginkan pekerjaan. Kalau kamu benar-benar menginginkannya, datanglah ke alamat yang ada di kartu nama yang kutinggalkan. Bima.]

"Bima ...." Dara mengulang nama yang tertulis di bagian akhir surat. Pandangan gadis itu melembut seiring dirinya berbisik, "Jadi, namanya Bima." Dia menaikkan alisnya sedikit. "Mungkinkah ... dia Bima yang itu?"

**

"Bima Sakti Multimedia." Dara menyebutkan nama perusahaan yang sekarang berada di hadapannya. Dia melirik kembali kartu nama di tangan. "Memang di sini, aku tidak salah," gumamnya, meyakinkan diri sendiri bahwa gedung besar yang akan segera dia masuki merupakan tujuannya.

Saat masuk ke dalam kantor tersebut, Dara bercelingak-celinguk, memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Pakaian mereka begitu rapi dan profesional, membuat gadis itu yakin bahwa bukan sembarang orang yang bisa bekerja di tempat ini.

Baru saja Dara hendak melangkah menuju meja resepsionis, langkahnya terhenti karena sebuah suara melengking yang menyebalkan. "Wah ... coba lihat, kenapa ada orang miskin ke sini?"

Dara menoleh dan melihat penampakan sosok yang tadi malam sempat hinggap di mimpi buruknya. 'Irma,' batinnya dengan kening berkerut. Maniknya berpindah pada sosok di sebelah Irma. 'Dan Rizal ....'

Melihat dua orang tersebut menatapnya dengan pandangan merendahkan, Dara tidak menjawab. Gadis itu melengos, melanjutkan langkah ke meja resepsionis.

"Heh! Kamu tuli ya? Atau nggak diajarin sopan santun?! Jelas-jelas diajak ngomong, tapi nggak balas." Irma kembali mengonfrontasi Dara dengan nada tinggi.

Dara menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap tajam sosok Irma.

“Kenapa menatapku seperti itu, hah?!" tantang Irma, tidak takut.

“Aku tidak punya waktu untuk dihabiskan dengan seorang pelakor dan pengkhianat,” balas Dara dengan sinis sembari melanjutkan langkahnya.

Mendengar ucapan tersebut, Irma mengepalkan tangannya kesal. Di samping Irma, Rizal mengerutkan kening. Dia dari awal tidak ikut terlibat perdebatan dua wanita itu, tapi kenapa Dara juga malah menghinanya?!

"Cih, miskin saja sombong!" decih Irma terdengar oleh Dara. "Mau apa kamu ke sini? Memangnya, mereka mau terima orang miskin di sini?" sinisnya lagi ketika mendapati Dara membawa berkas di tangan.

Dara mengabaikan Irma dan lanjut berjalan ke resepsionis untuk menanyakan kepentingannya.

Melihat Dara mengabaikannya, Irma menunjukkan raut wajah kesalnya ke arah Rizal. "Rizal, dia berani mengabaikanku!"

Pria itu dengan segera menenangkan wanita itu sembari merangkulnya lembut. "Sudah, orang miskin seperti dia memang tidak pantas mendapat perhatianmu. Nanti juga akan diusir satpam," ujar Rizal, sukses membuat Irma tersenyum puas.

Dara sama sekali tak termakan umpan yang diberikan Irma untuk menampakkan rasa cemburunya. Alih-alih cemburu, Dara justru begitu muak melihat pasangan di hadapannya kali ini. Baginya kini, mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup jauh lebih penting daripada menggubris pasangan pengkhianat itu.

Tidak lama, seseorang berpakaian rapi memakai jas formal berjalan ke arah ruang tunggu. Dara masih duduk dengan tenang, berbanding terbalik dengan Irma yang dengan sigap berdiri juga tersenyum menyambut pria tersebut.

“Selamat siang,” sapa pria itu penuh wibawa.

"Selamat siang, Pak Romi," sahut Irma begitu ceria dan lembut yang dibuat-buat.

Di sisi lain, Dara yang sadar dengan nama yang diucapkan Irma pun ikut berdiri. Pria ini, Romi, adalah pria yang harus ditemuinya sesuai perintah Bima.

Dara menganggukkan kepalanya hormat dan menyapa, "Selamat siang, Pak."

Irma melirik tajam ke arah Dara. Dia menganggap Dara hanya ikut-ikutan menyapa Romi, seperti dirinya.

"Heh, nggak usah ikut-ikutan! Apa kamu tahu, siapa yang kamu ajak bicara?"

Di sisinya, Rizal mencoba memperingatkan Irma dengan menyenggol lengan sang kekasih.

Sayang, wanita itu tidak peka. Irma malah menghampiri Romi dengan penuh percaya diri.

"Ayo, Pak Romi. Kita langsung ke dalam, kan?"

Raut wajah Romi yang semula tersenyum begitu ramah seketika berubah. Pria itu kini hanya tersenyum tipis, dengan pandangan yang terkesan terpaksa dilembutkan.

“Mohon maaf, Bu, tapi saya harus mengantar Bu Dara lebih dulu,” jelasnya sopan dengan segala penekanan. “Setelah saya mengantar Bu Dara, saya akan kembali lagi ke sini.”

Irma jelas tidak terima karena dinomorduakan. Wanita itu lantas memelotot, tangannya mengepal kuat sebelum akhirnya menunjuk wajah Dara, diikuti tatapan jijik. “Pak Romi nggak salah? Kami ke sini mau bahas kerja sama, loh!” Nada bicara wanita itu sudah tinggi, tidak selembut awal tadi. “Mana bosnya? Biar saya langsung temui langsung saja dia!” Irma bahkan mengentak kasar tas mungil yang dibawanya.

Dara yang berada di sisi Romi hanya mampu berdiam diri.

“Mohon maaf, Bu, tapi Bos ingin bertemu dengan Bu Dara lebih dulu.” Romi kembali menjelaskan, berharap Irma mau memudahkan tugasnya. Sayang, rupanya kemarahan wanita itu semakin menjadi.

Dengan angkuhnya, wanita itu menghadap Dara. Sedangkan, yang ditatapnya justru tersenyum tipis.

Irma maju satu langkah. Jari telunjuknya kembali diacungkan ke arah Dara. Dengan jarinya itu pula, Irma mendorong bahu Dara hingga membuat posisi berdiri Dara sedikit bergeser. "Apa kamu, hah?! Dasar wanita—"

Belum sempat Irma menyelesaikan makiannya, suara bariton seorang pria yang datang dari arah berlawanan terdengar berseru, “Bisa-bisanya seorang tamu yang tak diundang mengacau di perusahaan saya!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
bos nya datang...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status