Share

BAB 3 -Tempat Untuk Tinggal

“Apa kamu lupa siapa aku?”

Dara mengerutkan dahi. Dia mencoba memperhatikan baik-baik wajah pria di hadapannya dengan merengkuh wajah si pria menggunakan kedua tangannya.

Pria itu tampan. Manik sehitam jelaganya setajam elang, terlihat mengintimidasi dan menenangkan di waktu bersamaan. Tidak hanya itu, lesung pipi yang terbentuk kala pria itu tersenyum membuat penampilannya terlihat manis.

Dara terus memutar otak, mencari memori di mana dia pernah bertemu atau mengenal pria di hadapannya itu. Namun, berkali-kali mencoba, dia tetap tidak menemukan sebersit memori tentangnya.

“Jangan asal bicara!" Dara melepaskan rengkuhan tangannya dari pria tersebut, "Aku tidak pernah mengenalmu dan kita tidak pernah bertemu!”

Sejenak, pria tampan bertubuh atletis itu mendatarkan ekspresinya. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Dara.

“Baiklah. Kalau begitu, ayo berteman,” ajak pria itu.

“Tidak mau!” tegas Dara menolak jabatan tangan pria itu, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

Dara berjalan sempoyongan melalui pintu kelab karena terlalu banyak minum. Merasa pria tersebut mengikutinya, Dara pun menoleh sejenak.

“Dasar pria sinting, kenapa kamu mengikutiku?” tanya Dara. "Pergi!"

“Memangnya, kamu akan pergi ke mana?” tanya pria itu sembari menatap Dara tajam. "Setahuku, kamu tidak memiliki tempat untuk pulang hari ini."

Dara berhenti berjalan, menyadari satu hal dari ucapan pria tersebut. 'Benar juga, aku ... mau ke mana?' batinnya dengan kening berkerut.

Seperti yang telah disebutkan tadi, rumah Dara disita oleh bank setelah kebangkrutan perusahaan orang tuanya. Dara yang awalnya mengira akan diterima oleh keluarga calon suaminya memutuskan untuk menolak ajakan sang ayah untuk kembali ke kampung. Alhasil, sekarang dia di sini, di luar kelab malam tanpa tahu harus pulang ke mana.

'Andai ... aku ikut dengan Ayah,' batin Dara dengan air mata yang berkumpul di pelupuknya. 'Andai aku juga percaya omongan Ayah ... bahwa Rizal bukan pria yang baik.' Gadis itu mengepalkan tangannya.

“Jangan menangis, Dara," ujar sebuah suara yang membuat Dara mengangkat pandangannya, menatap pria bermata hitam menghipnotis itu. Pria tersebut mengulurkan tangannya ke arah Dara. "Aku bisa memberikanmu tempat untuk tinggal malam ini.”

Mendengar ucapan pria itu, Dara mengerutkan keningnya. Pandangan wanita itu sangat buyar dan kepalanya terlewat pusing. "Aku tidak mengenalmu." Dia pun berjalan menjauh, tidak menyadari bahwa dirinya telah melewati batas pejalan kaki.

TIIIN!

Suara klakson yang keras membuat Dara menoleh, pandangannya yang buyar menjadi sangat terang karena cahaya dari lampu mobil. Gadis itu terkejut, tapi dia tidak bisa menghindar lantaran tubuhnya tidak sepenuhnya berada di bawah kendali.

Sebelum mobil tersebut menghantam Dara, seseorang menggenggam tangannya dan menarik tubuh gadis itu ke pinggir jalanan.

"Hei! Lihat-lihat kalau jalan! Dasar gila!" maki sopir mobil tersebut sebelum kembali melaju pergi.

"Ugh ...." Dara melenguh, merasa tidak hanya kepalanya, tapi sekarang kakinya sakit. Sepertinya, dia terkilir.

Namun, menyadari kehangatan yang menyelimuti tubuhnya, Dara menaikkan pandangannya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria bermata hitam itu, kali ini tidak setenang sebelumnya. Dari alisnya yang bertaut dan jantungnya yang berdetak kencang, kentara kalau dia sangat khawatir dengan apa yang hampir saja menimpa Dara. "Apa kamu kira bunuh diri bisa menyelesaikan masalahmu?!" bentaknya, menampakkan amarah.

"He he." Dara terkekeh. "Kamu panik," balas gadis itu, sedikit meracau. "Aku ... tidak akan ... bunuh diri ... karena hal ... konyol ...." Semakin lama, pandangan Dara pun menggelap.

Melihat Dara menutup matanya, pria itu memanggil-manggil, "Dara, Dara ...."

Namun, gadis itu tidak menjawab. Dara sudah benar-benar mabuk.

Pria bernetra itu pun menghela napas. Lalu, dia menggendong tubuh mungil Dara dan berjalan menghampiri mobil.

Setelah bersusah payah membawa Dara ke mobil, pria itu meletakkan tubuhnya dengan lembut di kursi penumpang. Pria tersebut menghela napas.

"Bisa-bisanya dia tidak sedikit pun waspada ...," gumam pria bernetra hitam itu sebelum akhirnya duduk di kursi pengemudi dan menginjak gas untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.

Sekitar satu jam perjalanan, mobil sudah berhenti sempurna di depan sebuah rumah. Pria itu keluar dari mobil dan menghampiri pintu di sisi Dara. Saat membukanya, pria tersebut melihat wajah Dara begitu lelah, dengan bagian kantung mata yang sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Dara," panggil pria itu lembut. "Bangun, kita sudah sampai ...."

Namun, Dara sama sekali tidak menjawab. Akhirnya, pria itu pun memutuskan untuk membiarkan gadis itu tidur dan menggendongnya.

"Ugh ...."

Dara melenguh saat tubuhnya diangkat. Secara refleks, tangannya melingkar di leher pria tampan yang sedang berusaha membawanya ke kamar utama rumah itu.

Sampai di kamar, pria tersebut meletakkan tubuh Dara ke atas ranjang empuk. Otomatis, Dara langsung melepaskan pegangannya pada leher pria itu dan berguling ke samping ranjang, meringkuk karena dingin yang menerpa.

Selama sesaat, pria itu hanya terdiam memperhatikan Dara. Tatapan matanya memancarkan rindu mendalam, juga kesedihan yang tidak mampu dimengerti.

“Dara," panggil pria itu lagi, kali ini selagi jari-jarinya mendorong helaian rambut Dara ke belakang telinga gadis itu. Senyuman tipis terbentuk di bibir pria tersebut ketika melihat sosok Dara mengernyit dan menepiskan tangannya secara refleks. Akhirnya, pria itu mendekatkan wajahnya ke telinga Dara dan berbisik, "Selamat tidur."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
siapa pria yg nolongin dara ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status