"Terima kasih sudah membawa Rara berobat dulu, A," ucap Seruni tulus setelah keduanya selesai memeriksakan keadaan Rara. Saat ini sepasang calon pengantin -- yang awalnya ditangisi Seruni -- tengah mengantre di depan apotek. Sedang Rara dan Robi sudah diminta Arya untuk menunggu di dalam mobil atau di depan klinik saja. "Iya, Sayang. Tidak masalah," jawaban ringan dari Arya membuat Seruni enggan untuk melanjutkan pembicaraan, apalagi dengan adanya mereka di depan antrian. Panggilan sayang yang diberikan Arya untuknya, mulai terbiasa diterima rungunya. Bahkan dia senang dengan panggilan itu sekarang. Hingga nama Rara dipanggil, dan Arya dengan sigap menghampiri loket pengambilan obat, dengan menarik lembut tangan calon istri belianya untuk mengikutinya. Seruni menatap tangannya yang ada dalam genggaman lembut nan melindungi Arya, laki-laki itu hanya memegang tangannya saat keadaan mendesak, bukan ajang aji mumpung memanfaatkan keadaan. Semua yang dilakukan Arya hanya untuk melindun
Di sini sekarang mereka berada, sebuah pusat pertokoan yang berjarak lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Arya membebaskan si kembar untuk membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun, gelengan kepala Seruni, menghentikan hasrat kedua adiknya memiliki barang yang mereka mau."Biarkan saja, Sayang. Aku lebih senang kalau mereka bisa tidak sungkan padaku," kata Arya membuat Rara dan Robi kembali sumringah. "Ambil saja, Robi, Rara!""Ambil yang kalian butuhkan! Bukan yang kalian inginkan!" tegas Seruni tidak ingin dibantah. Membuat Rara dan Robi kembali ciut, hanya mata mereka saja yang liar memindai rak di sekeliling yang memajang perlengkapan sekolah, tas, dan sepatu. Arya menaikan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis melihat Seruni menunjukan taringnya pada sang adik. Ia menunggu apalagi yang akan dilakukan oleh gadis itu. "Kamu butuh tas bukan, Robi?" pandangan Seruni beralih pada si bungsu yang terlahir 10 menit setelah Rara. Binar mata senang terlihat pada sorot mata Robi,
Setelah berbelanja, Arya membawa mereka makan di rumah makan siap saji, yang menyediakan ayam goreng tepung sesuai permintaan si kembar, senyuman tak lepas dari bibir kedua adik Seruni, yang merasa senang dengan semua yang mereka lewati hari ini. Kembali Arya menunjukan sisi romantisnya pada sang calon istri, perhatian kecil lelaki itu berikan pada Seruni, dari menarik kursi untuk Seruni duduk, membantu menambahkan saos, atau mengelap saos yang belepotan di bibirnya menggunakan tisu. Sedang asyik menikmati kebersamaan, satu tepukan di pundak Raden Arya membuat lelaki itu menoleh. "Tuh, bener kan, Sayang, Arya!" seorang lelaki tampan, bersama wanita cantik yang tengah hamil besar, berdiri di dekat kursi Arya. Laki-laki yang menggendong anak kecil itu tersenyum lebar pada Arya. Begitupun Arya yang langsung berdiri dan menyalaminya hangat. Sedang Seruni dan kedua adiknya hanya menatap mereka. "Raja?! Kok, ada di sini?" Arya menoleh pada wanita yang berdiri tak jauh dari lelaki yang
Lastri menderap langkah keluar rumah, begitu mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, dia yakin kalau itu adalah mobil Arya yang pergi bersama anak-anaknya. Lastri terlihat kaget begitu melihat Rara dan Robi, menenteng kantong besar di tangan mereka. Lastri mulai merasa tidak enak hati, karena yakin Arya yang membelanjakan kedua anaknya itu. "Assalamu'alaikum," salam si kembar kompak pada sang ibu yang berdiri di depan pintu. "Wa'alaikumussalam. Aduh, kalian belanja banyak sekali?!""Aa yang nyuruh kami, Bu!" jawab Rara dengan wajah berseri. "Aa? Kalian panggil den Arya dengan panggilan Aa?""Iya, Bu. Katanya biar nggak canggung, lebih akrab." Lastri menghela napas pasrah, ternyata Arya benar-benar ingin kedekatan yang lebih akrab dengan adik-adik Seruni, walau dia sendiri masih sangat canggung pada calon menantunya itu. "Ya sudah, bawa masuk sana!" titah Lastri, yang membuat Rara dan Robi bergegas masuk dengan riang. "Iya, Bu!" Dengan langkah tergesa, keduanya memasuk
Soleh yang baru kembali dari sawah milik Arya heran melihat dua buah tas, dan dua pasang sepatu baru ada di atas meja makan. Apalagi, saat melihat nominal harga yang tergantung pada banderol di masing-masing barang tersebut. Dari mana dan punya siapa barang-barang tersebut? Lastri yang sedang berjongkok di depan tungku perapian tidak menyadari kedatangan suaminya itu, asap dari pembakaran menjadikan ruangan berkabut, dan menyesakan pernapasan. "Neng, itu tas belanjaan siapa?" Lastri refleks melepas kayu yang siap di masukan ke dalam api, saat suara Soleh terdengar dari arah belakang tubuhnya. "Astagfirullah, Aa! Bikin kaget saja!" Soleh terkekeh merasa lucu dan juga kasihan melihat keterkejutan di wajah istrinya. Ikut berjongkok di samping Lastri, Soleh mengusap lengan Lastri. "Hehe ... maaf. Jadi ngagetin, Eneng. Dari Aa masuk nggak ada yang jawab salam. Pada kemana anak-anak?""Si kembar mengaji, kalau Runi ada di kamar, mereka baru pulang," jelas Lastri sambil menoleh, ditat
Seruni membuka kotak itu dengan tergesa, hingga benda pipih berwarna emas itu terlihat. Layarnya yang berpendar menyala, menampilkan kontak yang diberi nama, CALON SUAMI. 'Apa itu Raden Arya?' Dan sepertinya pertanyaan Seruni tidak membutuhkan jawaban, karena sudah jelas siapa orang yang dimaksud. Dering ponsel itu pun terhenti, karena Seruni terlalu lama untuk menerima panggilan. Namun tak berselang lama kembali ponsel itu berdering, dengan layar yang kembali menampilkan kontak yang sama. Calon suami. Tak ingin Arya menunggu terlalu lama, Seruni langsung menggeser gambar telepon berwarna hijau di layar. Walau ini baru pertama kalinya dia memiliki ponsel canggih itu, setidaknya Seruni tahu cara kerja benda pipih persegi yang dipegangnya. Dengan sedikit gemetar dan ragu, Seruni menempelkan ponsel itu ke telinganya. "Ha--halo ...?!"Hening ... hanya desau angin dan suara serangga malam yang terdengar. Seruni bingung dengan tidak adanya suara yang menjawab sapaannya. Dia menjauhka
Lastri sudah disibukkan dengan aktivitasnya seperti biasa di pagi buta. Berjongkok di depan tungku, untuk memasak nasi dan merebus air. Aroma khas kayu bakar memenuhi ruangan, disertai suara derakan kayu yang perlahan terbakar, menerbangkan bunga api di sekitaran tungku. Rumah kecil itu terasa hangat oleh api pembakaran, walau asapnya tetap tak membuat nyaman mata tua Lastri. Seruni keluar dari kamar dengan kepala yang berdenyut sakit, semalaman gadis itu tidak bisa tidur dengan lelap. Pikirannya terus tertuju pada sang calon suami. Lelaki matang itu sudah berhasil membuat otak polosnya terkontaminasi virus cinta. Beruntunglah dulu dia bisa menjaga hati dan pikirannya dari hal seperti ini, hingga setidaknya tidak membuat dia mengabaikan pelajaran sekolahnya dulu. Begitu keluar, Seruni dibuat takjub dengan gamis berwarna putih tulang, berbahan brukat yang digantung di dinding dekat kamarnya. Khimar senada, tergantung terpisah. Lastri yang mendengar suara pintu kamar berderit, menol
Suara kicauan burung terdengar menggantikan para pengisi suara serangga malam. Semburat keemasan mulai terlihat dari ufuk timur, mengganti tugas gelap malam dengan cahaya terang mentari. Seruni keluar dari kamar dengan menggunakan gamis dan kerudung yang dikirimkan oleh Arya, untuk dipakainya saat akad nikah nanti. Anggota keluarganya yang sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan, serentak menoleh padanya begitu dia menampakan diri. Decakan kagum dari semua terdengar, atas penampilan Seruni yang begitu memukau. "Ya, Allah, Teteh! Cantik banget!" Rara menderap langkah memburu kakaknya yang mematung di ambang pintu, dia menatap takjub pada sang kakak yang tersipu malu. Soleh dan Lastri saling pandang, mengagumi pesona sang putri yang ternyata begitu memesona. Pantas saja lelaki matang dan mapan seperti Arya menginginkan anaknya, ternyata lelaki itu bisa melihat kecantikan tersembunyi seorang Seruni. Sedang si Bungsu Robi menatap tak berkedip pada Seruni, dengan mulut setengah te