“Kena kau, Bumi,” gumam Langit sendiri.
Dalam ruang tengah, Langit tersenyum miring melihat chatnya hanya terbaca saja oleh Bumi. Rencana yang sudah diangankan beberapa waktu yang lalu, akhirnya terlaksana juga. Ia tak mau didahului Raga. Tidak boleh! Langit kembali tekun menatap layar laptop.
Drrttt drrttt...
“Halo,” sambar Langit tanpa melihat layar ponsel.
“....”
“Apa?” mata Langit melotot menatap layar ponsel, lalu mematikannya tergesa. Dikiranya Bumi, kenapa malah Dara yang meneleponnya? Akhir-akhir ini Dara memang jarang menghubungi, paling hanya chat melalui WA. Itupun tak pernah digubris Langit.
Drrrttt drrrttt...
Suara posel terus berbunyi, Langit mengabaikannya. Ia sedang tak mau diganggu siapapun, kecuali Bumi. Lelaki tampan itu selalu berharap gadis eksotis itulah yang menghubunginya. Seperti tadi ketika Bumi kaget dengan motor baru yang dikirimkannya.
Itu
Hai lanjut ke 49, ya. Jangan lupa follow akun *** @elangayu22 dan @wahyuwidya22. Terimakasih sudah membaca ceritaku...
“Tak bisakah kita menikmatinya hingga selesai, Bumi?” tanya Langit di sela desah nafas yang memburu. Bumi tetap memejamkan mata, ia tak sanggup untuk berkata apapun jika tangan Langit sudah bergerilya. “Mas... ahhh.” Kali ini, Langit yang menghentikan aktivitas, menetap Bumi dengan tatapan sepenuhnya. Penghentian itu membuka netra Bumi yang berkabut. “Kau menginginkanku?” Tanya Langit terus menatap tanpa jeda sedikitpun. Tak ada jawaban, tapi Bumi merenggangkan pelukan Langit. “Komitmen selalu menjadi alasanmu, Bumi.”Keduanya kini sama-sama saling pandang.“Mau di sini terus?” tanya Bumi mengalihkan pembicaraan.
Semakin tak mampu menahan diri, Langit tak berhenti bergerilya. Desahan demi desahan terdengar. Buket bunga mawar merah perlahan luruh dari pegangan gadis eksotis itu. “Kamu milikku, Bumi, tak akan kubiarkan orang lain menyentuhmu,” kata Langit tepat di telinga Bumi. Nafas yang makin memburu, malam yang kian beranjak, menempatkan kedua orang itu dalam suasana tak mudah untuk dihempaskan begitu saja. Menghentikan cumbuan, Langit memandang penuh kabut gadis semampai itu, mengelus punggungnya perlahan. “Aku nggak suka Raga sering ke sini, Bumi, kau masih mengharapkannya?” Wajah gadis manis itu menengadah,
Bunyi bel garasi berbunyi kembali, kenapa ia tadi tidak mendengar suara mobil? Bumi menggerutu sendiri. Bukannya cepat membukanya, gadis manis itu menghela nafas berat hingga bel berbunyi kembali. Ia melangkah ke pintu belakang, menuju garasi dan membuka pintu. “Pagi Bumi,” sapaan ramah Raga mau tak mau menciptakan senyum di bibir mungil gadis ayu itu. “Pagi, Ga, tumben?” tanya Bumi datar. “Pingin main aja,” sahut Raga. “Udah sarapan belum? Aku beliin bubur ayam.” Mata gadis semampai itu membola. Pagi-pagi ke sini bawain bubur ayam? Rumah Raga jauh lo! “Oh....”
Mengerjapkan mata, lelaki tampan itu mulutnya terbuka beberapa saat. “Mas,” kata Bumi lirih, mendekat ke ranjang. “Bumi... kok... k... kamu di sini?” tanya Langit tergagap. Tak terpikirkan sama sekali olehnya kalau Bumi ada di rumahnya sekarang ini. Di samping tempat tidurnya. “I... iya,” jawab Bumi kikuk. “Masih pusing?” Setelah dapat menguasai diri, Langit menarik selimut dan membetulkan letak bantal. Pelipisnya mendadak berdenyut. Tadi memang suara motor Bumi, tapi ia tak berharap Bumi akan menemuinya di sini. Lantas, kenapa Bumi tak memakai motor baru pemberiannya? &ld
Oh, adakah yang tahan dengan semua kenikmatan ini? Bumi melingkarkan tangan di leher Langit, ia menikmati semuanya. Tok tok tok. Seolah tak mendengar apapun, gerakan Langit makin panas menyentuh tiap inci tubuh gadis eksotis dalam kungkungannya. Bibirnya tertahan di bibir mungil Bumi, ia menyesap apapun yang ada di bibir gadis manis itu. Sesekali ia lepaskan, hingga Bumi dapat menghirup oksigen. Dan sebelum tuntas sekali, Langit menyambarnya dengan cepat. Tok tok tok. Kali ini Bumi menahan tangan Langit yang menyentuh bahu. “Mas, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi menghindari kecupan Langit. 
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci