"Apa ini sesuai dengan yang kaumau?" tanya Celine pada Dominic yang duduk di sofa sembari memeriksa kembali beberapa berkas untuk bahan rapat besok. Tentunya, wine menjadi teman dia dalam bekerja. Hingga perhatian Dominic teralihkan pada Celine yang duduk di mejanya dengan laptop miliknya yang menyala.
Dominic yang menyadari itu, segera bangkit menghampiri Celine. Menatap bahan presentasi yang kini tengah dikerjakan wanita itu. Ekspresi kusut dan masam terlihat menghiasi wajah cantik Celine. Sudah hampir lima kali Dominic meminta merevisinya. Oh, tentu saja ini bukan bantuan kecil seperti apa yang dikatakan oleh lelaki itu. Celine dibuat pusing tujuh keliling gara-gara harus mengerjakan semuanya secara mendadak. Meski lelaki itu sudah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan.
"Ada yang terlewat," ucap Dominic, yang langsung membuat Celine mendengkus kasar. Menduga jika lelaki itu kembali menyuruhnya merevisi. Namun Dominic yang menyadari ekspresi patah semangat Cel
"Terima kasih atas tumpangannya."Celine melirik ke arah Dominic sebelum kemudian tersenyum simpul. Dia keluar dari mobil. Namun sebelum benar-benar keluar, Dominic menahannya sebentar. Membuat Celine harus kembali bertatapan dengan mata hazel yang menyorot penuh minat ke arahnya."Aku harap kau tidak merasa terbebani dengan pekerjaanmu.""Tentu saja tidak. Aku akan berusaha keras," ucap Celine bagai sebuah janji. Salah satu tangannya yang bebas, terkepal erat. Apa pun yang dipilihnya, tidak boleh ada kata mundur. Celine akan berusaha melakukan apa pun yang dia bisa. Terlepas dari hubungan sesaatnya dulu bersama Dominic, dia akan bersikap profesional mulai saat ini."Baguslah, aku tidak salah memilihmu."Genggaman tangan itu terlepas, membiarkan Celine segera bebas dan turun dari mobil. Dominic yang melihatnya, juga ikut turun dan membawa beberapa paper bag yang berisi kebutuhan wanita itu untuk bekerja. Daerah yang ditinggali oleh Celine cukup sep
"Pak, permisi, saya membawa laporan bulanan yang Anda minta."Suara bernada lemah itu mengalihkan perhatian seorang pria, yang kini tampak sibuk berkutat dengan segala berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja. Kepalanya mengangguk dan tampak tangannya menyuruh sang asisten mendekat."Kau kenapa, Celine?" tanyanya begitu melihat gurat lelah di wajah asistennya.Celine tersenyum lebar. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat dan memberikan berkas yang tadi diminta oleh Dominic. "Tidak, saya tidak apa-apa, Pak.""Jangan memanggilku Pak. Kita hanya berdua."Tidak ada balasan, Celine hanya menatap Dominic lalu mengangguk pelan. Meski dia sendiri tidak setuju. Khawatir jikalau seandainya ada orang yang melihat mereka begitu akrab. Itu akan membuat kesalahpahaman terjadi."Setelah ini, apa jadwalku?"Celine yang masih berdiri di depan Dominic berusaha mengingat jadwal yang semalam disiapkannya. "Dua jam lagi, Anda memiliki pertemuan dengan Tuan Gi
Celine menghembuskan napas kasar saat melihat suaminya sudah tertidur di ruang rawat. Dia berjalan menjauh dari pintu ruangan tersebut dan menghiraukan beberapa pria yang berjaga. Matanya kemudian menatap ke arah jam di ponselnya. Pukul sepuluh. Dia tidak bisa membiarkan anaknya menunggu terlalu lama."Kamu mau pulang?"Suara sapaan terdengar dan membuat perhatian Celine beralih menatap mertuanya yang duduk di kursi. Tampak Mira menyorot tanpa ekspresi ke arahnya. Celine pikir, wanita itu telah tidur. "Iya, Bu, aku tidak bisa membiarkan Arion sendiri."Ada Marta sebenarnya, namun Celine selalu merasa tidak enak jika harus terus menerus meninggalkan sang anak bersama wanita tua itu. Walau Marta yang menawarkan dirinya sendiri. "Oh, anakmu itu, ya? Ya sudah, pergilah."Mira mengibaskan tangan sembari mengalihkan pandangannya menghindari Celine. Membiarkan rasa bingung hadir pada wanita itu karena tidak mendapat kata-kata tajam. Tidak seperti biasanya."Baik, Bu. Aku
"Dari mana Anda tahu nama saya?"Lelaki yang menyelamatkannya itu menyunggingkan senyum miring. Membuat Celine harus mengernyitkan heran dan perlahan mundur. Pikiran negatif langsung memenuhi isi kepalanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, tapi bagaimana bisa lelaki itu mengenalnya?Celine mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Dia masih melihat Simon tidak sadarkan diri dan malam yang semakin larut, membuat jalanan sedikit sepi. Hingga Celine tidak punya pilihan lain selain kembali ke rumah sakit. Sayangnya, pikirannya untuk melarikan diri, sudah lebih dulu disadari oleh lelaki itu dan tentu bisa dicegahnya dengan mudah. Tangannya digenggam erat."Kaumau ke mana? Aku belum menjawab pertanyaanmu." Jared menatap lekat wanita di depannya. Dia tidak salah kenal. Matanya bisa melihat dengan sangat jelas jika wanita itu adalah wanita yang dia cari. Asisten baru Dominic. Seperti kata Tiffany, cantik. Kedua tangannya dengan sengaja menarik pinggang ramping itu dan memegangnya
Celine berjalan tertatih menuju lift karyawan. Tersenyum menyapa beberapa orang yang berpapasan dengannya. Kakinya masih sakit karena semalam. Terpaksa, hari ini pun dia mengenakan flatshoes miliknya. Sialnya, karena insiden kemarin, dia kini harus bangun sedikit kesiangan. Beruntungnya Marta menolongnya dengan memijat kakinya yang terluka dan membuatnya sedikit lebih baik.Sayangnya saat Celine hendak masuk ke dalam lift, dia merasakan tangannya tiba-tiba digenggam oleh seseorang. Membuat tubuhnya harus mundur ke belakang dan menabrak sebuah tubuh."Celine, kau terlambat?"Suara yang tidak lagi asing itu, mau tak mau membuat kepalanya mendongak."Do–Pak? Maafkan saya." Celine memegang pergelangan tangan Dominic dengan hati-hati. Bibirnya meringis karena lelaki itu sempat membuatnya kaget sampai tidak sengaja dia menggerakkan kakinya terlalu keras. Refleks yang parah."Aku datang ke rumahmu, tapi kau tidak ada.""Maaf, saya
"... namanya itu—"Tok-tok-tok.Perhatian Dominic teralihkan seketika ke arah pintu. Dia berdiri dan berjalan mendekati pintu tanpa menghiraukan ucapan Celine. Terlihat salah seorang dokter perusahaan datang bersama office boy yang tadi sempat dimintai tolong."Tolong periksa dia."Dominic membuka pintu lebar-lebar dan memberi jalan untuk dokter lelaki itu untuk melihat kondisi Celine. Sementara sang office boy yang tadi mengantar, pamit untuk diri sembari memberikan apa yang tadi Dominic butuhkan."Pak, ini berlebihan. Sudah saya bilang, saya baik-baik saja," ucap Celine sedikit risi saat sang dokter memintanya untuk memperlihatkan kakinya yang bengkak."Kau hanya perlu menutup mulutmu dan biarkan Dokter melakukan tugasnya."Dominic duduk di salah kursi tepat di depan Celine. Memerhatikan dokter tersebut mengelus kaki jenjang wanita itu. Celine terlihat meringis dan menyuruh sang dokter untuk berhenti ketika menyentuh bengkaknya. Sayan
Celine terusik dari tidurnya. Dia merasakan sepasang tangan yang memainkan rambutnya di wajah. Beberapa kali menyentuh hidung dan bibirnya. Hingga saat rasa kantuknya hilang, perlahan kelopak matanya terbuka. Sosok Dominic 'lah yang harus dia lihat begitu membuka mata. Terlihat lelaki itu kaget dan membenarkan posisinya. Menjauh dari Celine sembari mengalihkan pandangannya."Kau sudah sadar?""Apa yang baru saja kaulakukan?" tanya Celine, bersamaan dengan terucapnya kalimat yang terlontar dari bibir Dominic."Maaf, tadinya aku berniat membangunkanmu dan mengajak makan, tapi kau tertidur sangat pulas."Kernyitan heran di kening Celine terlihat. Dia meringis ketika menyadari dirinya memang tertidur. Padahal dia awalnya menolak. Tentu saja semua itu pasti karena efek obat yang tadi diminumnya. "Harusnya kau bangunkan aku, bukan malah memainkan wajahku."Tatapan datar Dominic tidak luntur. Dia memerhatikan wajah lelah Celine. Sedangkan sang empunya yang ditatap
Celine berjalan pelan memasuki jalan menuju rumahnya dengan senyum mengembang. Rasa senang hadir karena Rayyan telah melepas rasa lelah dan frustrasinya. Lelaki itu menyemangatinya sampai Celine merasa malu sendiri. Entah apa yang akan mereka lakukan jika tidak ada dokter yang masuk dan menghentikan tindakannya. Sayangnya, dia tidak bisa lama-lama berada di rumah sakit. Putranya membutuhkan kehadirannya.Memikirkan Arion, membuat Celine semakin mempercepat langkahnya sampai ketika dia melihat pintu rumahnya tampak terbuka. Ada sebuah mobil tidak asing terparkir di sana. Mobil Dominic.Untuk sesaat, tubuh Celine terhenti sejenak. Dia melangkah mendekati pintu dan melihat pemandangan anaknya yang tengah bermain bersama Dominic di lantai. Kedua lelaki beda generasi itu tampak asyik dan tidak menyadari ketika Celine membuka masuk.Mainan baru dan makanan, menjadi pemandangan pertama kali dia lihat di meja kayu yang tidak begitu lebar. "Al, Dominic?"Mer