"Kau mau kemana?" Salbia terbangun ketika Armando tergesa-gesa beranjak dari atas ranjang tidur, memakai celana panjang tapi tak mengganti kemeja piyamanya. Armando mendekati Salbia seraya menaikkan resleting celananya, "Ada tamu yang datang. Jika dalam sepuluh menit, aku tak kembali, pergilah ke kediaman Salvatore. Aku siapkan juru mudi dan kapal untukmu dan anak-anak pergi." "Sal-vatore?" eja Salbia yang tahu juga mengenal nama itu. Tetapi tak menduga Armando akan memintanya mencari perlindungan pada keluarga Salvatore yang sangat ditakuti sekaligus disegani olehnya. Armando membelai lembut pipi Salbia, membawa rambut istrinya itu yang menjuntai ke depan wajah untuk diselipkan ke belakang daun telinga. Lalu mengecup kening Salbia penuh kasih. "Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?" Salbia mencekal tangan Armando, menatap netra suaminya itu lekat-lekat. "Hanya orang-orang licik. Jangan kuatir, aku bisa menanganinya. Tapi ...ingat perkataanku, jika dalam waktu sepuluh menit, aku
Michele dan Megan sudah sangat paham karakter Luca. Jika terjadi sesuatu pada Zeze, maka orang yang terpuruk dan mungkin 'tak lagi akan menjadi manusia' adalah Luca. Selain itu, Megan juga sangat menyayangi Zeze sejak ia masih gadis kecil. Demi Luca dan Zeze yang sangat disayangi saudara angkatnya itu, jangankan jalan api, menghadang badai sekalipun, Megan rela menempuhnya. "Ku mohon, Brother ...ijinkan aku pergi ke Amalfi sekarang juga." Michele yang biasanya akan berpihak pada Megan, ikut membujuk Luca, kali ini, ia tersenyum lembut, memegang dan menarik pelan pundak Megan untuk ia bawa duduk pada sofa tanpa sandaran. "Sudah terlambat untuk pergi ke Amalfi. Saudaramu sudah meminta bantuan. Sekarang, istirahatlah." tutur Michele tetap lembut menyembunyikan kecemasannya dalam-dalam, akan keadaan Zeze di Amalfi. Megan menoleh pada Luca yang kini fokus mengetik beberapa kode, menampilkan lingkungan tempat tinggal Felix, Armando juga posisi Zeze, Pierre dan Asael. "Menurutlah, deng
Setelah selama beberapa menit padam, kini semua lampu dan penerangan di kediaman Salvatore, taman serta tempat tinggal pelayan, pasukan khusus juga pengawal, kembali menyala terang.Awan gelap yang menghalangi cahaya rembulan dari atas langit pun kini hilang begitu saja, seakan tersapu oleh angin. "Ini ...?"Tenggorokan Gerardo tercekat memperhatikan sekeliling, sementara sebelah tangan masih mencengkeram kerah baju Luca yang sudut bibirnya menyeringai sinis.Hampir separuh dari orang-orang yang ada di lapangan, para anggota pasukan khusus, pengawal dan pelayan, tubuh mereka jatuh ke tanah, sudah tak bernyawa dengan leher tergorok masih bersimbah darah, seperti ayam yang dibantai. "Maaf, aku menjadi celah masuknya pengkhianat ke keluarga kita." Luca berkata datar pada Gerardo, melepaskan cekalan tangan saudaranya itu, lalu gegas membalikkan tubuh pergi menuju kediaman.Gerardo terpaku, matanya nanar memandangi tubuh-tubuh anak buahnya yang tergeletak tak beraturan di atas tanah, sem
Tenggorokan Jason tercekat mendengar perkataan Megan di depannya. "K-kalau begitu, ku mohon, tolong bunuh aku ..." pinta Jason lirih dengan tatapan penuh harap memandang Megan."Membantu membunuhmu?" Megan memajukan tubuh bagian atasnya merunduk ke arah Jason, bibirnya tersenyum menyeringai sinis, "Kau pikir, siapa dirimu dan memiliki hak untuk meminta bantuan padaku?!" pungkasnya mendengkus seraya melangkah mundur sambil menarik lengan Bonnie yang terus melirik Ubba dari kejauhan. Hera yang dipakaikan jubah oleh Megan sebelum dibawa ke lapangan depan tempat tinggal para pelayan dan pengawal serta pasukan khusus, kini jubah tersebut sudah terkoyak lepas, memperlihatkan gurat-gurat luka menyeramkan pada tubuhnya yang tak lagi indah dan elok dipandang mata. "Ahhh ..." bibir Hera berseru nyaring antara pilu kesakitan dan kenikmatan ketika sebelah tangannya sendiri meremas buah dadanya dan tangan yang lain ia gunakan untuk mengobok-obok sela paha. Meskipun malam hari, lapangan tempat
Kilau putih dari pedang di tangan Zeze terlihat menyilaukan bagaikan petir di malam dengan penerangan cahaya bulan dan lampu temaram jauh dari resort. Shhraangg!! Suara itu sangat tajam dan melengking, membuat ngilu dan tubuh menjadi merinding Laras senapan baja prajurit yang beberapa detik lalu berdentum besar menembak Zeze dalam jarak dekat, kini terpotong sempurna, layaknya lilin bagi pedang floret. "Ackhhh ..." pekikan pilu terlontar begitu saja dari mulut para prajurit yangmana selanjutnya tubuh mereka jatuh menggelosor tak beraturan satu persatu ke atas tanah dengan leher hampir putus terbabat. Kilauan ujung pedang Zeze masih terus berlanjut, bergerak sangat cepat seperti kilatan cahaya, sudah berdiri di depan Pierre, berhadapan dengan prajurit ahli beladiri. Para prajurit ahli beladiri di depan Zeze, semuanya tegak terpaku. Mata mereka melebar begitu mengenali gadis muda yang rambutnya berantakan karena ikatannya terlepas. Zeze Salvatore! Gadis muda yang vid
Prajurit di depan Zeze yang penutup wajahnya terlepas, menolehkan pandangan ke rekan-rekannya yang langsung bereaksi mengancam Zeze, mengelilingi Pierre dengan ujung senapan siap tembak. Hanya satu gelengan kepala samar, rekan-rekan prajurit pun langsung serentak menurunkan senapan mereka. Sang prajurit menatap Zeze yang terlihat sangat kecil, muda serta rapuh di matanya, "Jessica punya misi, dia tak ada di sini. Tapi kau dipastikan mati malam ini!" ucapnya pelan, bersuara dalam dan sangat tenang namun lengan besarnya berayun cepat mencekik leher Zeze yang lambat bereaksi karena mencerna kata-kata. "Zee!" Pierre maju selangkah, namun terhenti begitu prajurit merentangkan sebelah lengan ke arah dadanya. "Tulang leher wanitamu ini akan patah jika kau berani maju selangkah lagi!" Pierre menelan ludah, menatap Zeze yang memberi kode dengan kedipan kelopak mata agar menuruti perkataan sang prajurit. Dari kejauhan telinga Zeze bisa mendengar suara kapal berlabuh di pantai, kemudian d