Ada suara dari arah belakang. Seperti derap langkah yang menginjak rumput. Pendengaran Bulan mendadak sangat tajam malam ini hingga telinganya bisa menangkap suara tersebut.
Meletakkan karung beras yang sejak tadi dipeluk ke tanah, gadis itu menengok ke belakang untuk memeriksa. Tak ada apa pun selain gambaran remang dari pohon-pohon sawit. Kebun yang gelap terasa makin mencekam kini. Suara hewan malam makin membuatnya resah. Jika sejam sebelumnya gadis itu optimis bisa menemukan jalan pulang, kini ia putus harapan. Kaki sudah pegal melangkah. Kedua tangan juga sudah sakit memikul karung. Bulan menerka jika ia hanya akan berakhir berjalan tak tentu arah sepanjang malam, hingga besok pagi. Bulan menyesal karena selama ini tidak mau ikut ibunya ke kebun sawit. Jika saja sesekali ia membantu ibunya mencari berondolan, mungkin Bulan tak akan tersesat seperti sekarang. Lelah, napas Bulan mulai terasa berat. Gadis itu putuskan untuk duduk sebentar. Memeriksa isi karung, ia menatap nanar. Sebenarnya, hasil mencari buah sawit hari ini lumayan. Karung beras lima kilonya nyaris penuh. Namun, apa gunanya jika ia tak bisa temukan jalan keluar dari kebun dan menjualnya? Menyandarkan punggung ke salah satu pohon sawit, Bulan terduduk di tanah. Hatinya penuh oleh kesedihan. "Jadi begini gini rasanya ditinggal Ibu," ratap perempuan itu dengan mata menghangat. Ia menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Melamun sesaat, Bulan mendengar suara itu lagi. Seperti suara derap langkah. Ia menoleh ke belakang, kemudian menahan napas sesaat ketika sesosok pria berdiri tak jauh dari pohon tempatnya duduk. Bulan mengerjap cepat, memastikan sosok itu tak hilang dari pandangan. Meski ada sedikit lega karena sosok yang dilihatnya tak menghilang, tetapi kini Bulan cemas membayangkan bila pria yang sudah berdiri di hadapannya sekarang adalah penjahat. Benar. Penjahat. Siapa lagi yang berkeliaran di kebun malam-malam seperti ini, kalau bukan penjahat? Pencuri buah sawit? Apa jangan-jangan malah penjaga kebun yang akan menangkapnya? Bulan beringsut mundur hingga punggungnya membentur batang pohon. Wajahnya tertunduk kala lelaki itu berjongkok di hadapan dengan tatapan setajam ujung pisau. Dua tangan Bulan mengepal di depan dada karena kini rasa takut itu makin mencekam. "Kau tersesat?" Mata Bulan memejam dengan bibir mengatup dan gemetar samar. Suara pria tadi begitu rendah, berat dan mengancam. Suaranya saja sudah mampu memberi kengerian yang pekat. Bulan sangsi ia masih bisa melihat mentari besok pagi. Wajah Bulan memucat. Dadanya mengembang dan mengempis dengan cepat, terburu, membuat perempuan itu agak sesak. "Kau tersesat?" ulang lelaki tadi. Bulan menggeleng. "Ti--tidak," jawabnya terbata seraya berharap lelaki itu percaya, kemudian pergi. Diam beberapa saat, lelaki itu menghela napas. "Kau tersesat, Bulan?" Bulan tidak berkedip. Pelan-pelan perempuan itu menoleh pada si lelaki dengan mata membola. "Ka-Kau tahu namaku?" tanyanya terkejut. Bibir pria itu menjungkit samar. Namun, runcing matanya tak berkurang. Ditambah keadaan malam yang remang, tatapan itu mirip seperti sorot mata serigala yang tengah mengamati mangsa. "Kau tersesat, 'kan? Sejak tadi aku memperhatikanmu." Jantung Bulan berdetak makin cepat. Tubuhnya makin mundur. Sayang tak bisa lebih menjauh karena terhalang pohon. "Berdirilah, aku akan mengantarmu pulang." Bulan menggeleng. Tarikan napasnya agak lega ketika lelaki itu beranjak dari hadapan. Namun, ia kembali bersikap waspada saat karung berisi berondolan buah sawit miliknya diangkat dan dibawa lelaki itu. "Aku antar mengantarmu pulang. Ikuti aku." Menatapi punggung lelaki asing itu mulai menjauh, Bulan berusaha mengambil keputusan dengan cepat. Ia tidak boleh bersikap bodoh, begitu saja percaya akan diantar pulang. Bulan tidak hapal seluk-beluk kebun ini. Bukan tidak mungkin, bukan mengantar pulang, lelaki itu malah akan menjebaknya. Membawanya ke suatu tempat untuk dijahati? Kemudian, dibunuh? Tidak. Meski hidupnya menyedihkan, Bulan masih ingin hidup. Ia tak mau mati sekarang. Bangkit dari tanah, Bulan menengok ke segala arah. Dengan cepat ia mengambil sisi yang berlawanan dengan lelaki tadi. Bulan berlari sekencang yang dibisa. Walau pun tak tahu harus ke mana, setidaknya ia mesti menjauh dan kabur dari orang jahat tadi. *** "Bulan." Bulan mendengar samar namanya disebut. "Bulan!" Kali ini Bulan merasa tubuhnya diguncang. Mengernyitkan dahi, Bulan mengumpulkan kesadaran. Saat mengangkat kelopak mata yang terasa lengket, pandangan Bulan buram dan kepalanya berputar-putar. "Kau sudah sadar, Bulan?" Kali ini Bulan sudah bisa melihat dengan lebih baik. Perempuan itu melihat seorang wanita tua bernama Bik Tari. Beliau adalah tetangga terdekat, dulu sering pergi bersama ibunya ke kebun. "Syukurlah kau sudah bangun, Bulan." Tari tampak lega. Bulan berusaha duduk, meski kepalanya masih terasa sakit. Ia diberi minum, Bulan habiskan airnya dengan rakus. Ia kehausan. "Kenapa aku bisa di sini, Bik?" tanya gadis itu saat sadar dirinya ada di rumah. Wajah lega Bik Tari perlahan hilang. Kini, wanita renta itu kembali memasang ekspresi cemas. "Ada yang mengantarmu pulang." Bulan melipat dahi. Ia sudah ingin bertanya siapa orang baik yang mengantarnya, tetapi kepalanya sakit sekali. Menyerah, gadis itu kembali berbaring. Ia baru saja memejam saat suara Bik Tari terdengar. "Jangan keluar dulu beberapa hari ini. Di rumah saja." Bulan mengangguk. Pikirnya, Bik Tari berkata demikian karena kondisi kesehatannya yang memang sedang tidak baik. Bulan yakin kelelahan dan kedinginan di kebun kemarin adalah penyebab ia demam seperti sekarang. "Aku akan mengantar makananmu. Jika bukan aku yang datang, jangan bukakan pintu," peringat Bik Tari dengan tatapan serius. Firasat Bulan mendadak tak enak mendengar itu. Kenapa harus mengunci pintu? "Kenapa begitu?" tanyanya heran. Bik Tari menggeleng dengan sorot mata penuh maksud. "Nanti saja aku jelaskan. Yang penting, ingat pesanku. Jangan ke kebun dulu. Jangan keluar rumah dan jangan bukakan pintu bila yang datang bukan aku." Mengangguk saja, Bulan lanjut memejam. Perempuan itu tidur hingga sore datang. Bik Tari pamit pulang setelah membantunya makan. Tak lupa wanita itu berpesan agar Bulan mengunci pintu. Malam hari, sekitar pukul sembilan, pintu rumah kecil Bulan diketuk. Mengira yang datang adalah Bik Tari, Bulan nyaris membuka pintu. Sampai pesan wanita sepuh itu terngiang di telinga. "Pastikan aku yang datang, kemudian barulah kau boleh membukakan pintu." Menjauhkan tangan dari engsel pintu, Bulan menelan ludah gugup. Ia mulai gusar. Pertanyaan kenapa Bik Tari datang selarut ini muncul di kepala. "Siapa?" tanya Bulan pada orang di luar rumah. Tidak ada yang menyahut. Namun, pintu rumahnya kembali diketuk. Bulan memundurkan langkah. Ia semakin ragu bila yang di balik pintu adalah Bik Tari. Ketukan pintu makin sering dan kuat, Bulan mulai merancang harus mengambil apa sebagai alat perlindungan diri. Pintu rumahnya tidak sekuat baja, terlebih bangunan ini sudah sangat lama. Bukan pekerjaan mustahil mendobrak pintu itu. Saat akan berbalik untuk mengambil sebuah balok kayu dari belakang, Bulan dibuat tersentak karena pintu rumahnya ditendang kuat. Mata perempuan itu berkedip takut. Jelas yang di luar sana bukan teman. Dan ketika orang di luar itu bersuara, Bulan dibuat gemetar. "Bulan?" panggilnya. Bulan ingat suara itu. Meski hanya mendengarnya satu kali, Bulan yakin lelaki di depan pintunya sekarang adalah pria jahat yang kemarin hampir mencelakainya di kebun."Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang
"Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan
Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera
Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu