"Apa semalam ada yang datang?"
Pagi ini Bik Tari mengantarkan sarapan untuk Bulan. Wanita renta itu bertanya sembari membuka tutup rantang. Bulan menjawabnya dengan mengangguk. Ia menceritakan jika kemarin malam seorang pria jahat yang ditemuinya di kebun datang. Bulan bingung karena pria itu tahu namanya. Bahkan, tahu lokasi rumahnya. "Dia bahkan membawa sekarung sawit berondolan yang aku kumpulkan," keluh perempuan itu dengan raut susah. Bik Tari duduk di depan Bulan. "Kau sungguh tidak mengenalnya?" Bulan mengangguk. "Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya. Karena itu aku heran dari mana dia bisa tahu namaku." Bik Tari mengangguk saja. "Jangan bukakan pintu untuknya. Jika dia tahu aku di sini, dia pasti tak akan berani datang. Aku akan segera mencari cara agar kau bisa pergi dari desa ini." Bulan langsung kehilangan selera makan mendengar itu. Ia begitu syok. Apa yang terjadi hingga harus meninggalkan desa? "Apa yang sebenarnya terjadi, Bik?" tanya Bulan dengan sorot resah di mata. Bik Tari menarik napas dalam. Wanita tua itu mulai bercerita. "Sekitar sepuluh tahun lalu atau lebih, seorang pemuda asing datang ke desa ini. Dia tinggal bersama juragan Toni, kemudian diangkat menjadi anak." Juragan Toni. Yang Bulan ingat ibunya pernah berkata bahwa pria itu punya banyak tanah di desa ini dan kebanyakan warga desa bekerja sebagai buruh tani di ladangnya juragan Toni. Selain punya kebun, Juragan Toni juga seorang lintah darat. Desas-desus lain, pria kaya itu bahkan menjajakan senjata dan perempuan ke kota. "Pemuda itu menjadi kesayangan juragan Toni karena dia kejam. Di usianya yang masih muda, pemuda itu mampu menghabisi dua orang pengutang yang mangkir bayar. Jelas itu menjadi momok menakutkan dan berimbas pada warga lain." Bulan mendengarkan dengan saksama. "Di ulang tahun juragan Toni yang ke 60, pemuda itu melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan siapa pun." Ada kengerian di mata tua Bik Tari saat mengingat peristiwa pertumpahan darah di lapangan desa. "Pemuda itu menghabisi juragan Toni, di depan semua warga desa, bahkan keluarga kandung juragan Toni. Dia merampas semua kekayaan yang bukan miliknya dan berkuasa dengan semena-mena hingga sekarang." Bulan masih belum menemukan benang merah antara dirinya dan cerita tadi. Barulah saat Bik Tari menatapnya lekat, firasat buruk itu kembali datang pada Bulan. "Sepertinya, dia sudah lama memperhatikanmu diam-diam," tutur Bik Tari dengan tatapan cemas. "Siapa?" Ketakutan membayang di mata Bulan. "Pemuda itu ...." Bik Tari berusaha bersikap tenang dan tak memberi ruang pada rasa khawatirnya. Wanita itu menarik napas sejenak. "Pemuda itu yang mengantarmu pulang tempo hari." Mata Bulan membola. Wajahnya berubah pucat. "Dia bilang menemukanmu tersesat di kebun. Dia mengantarmu dan sepertinya ...." Wanita itu menarik napas lagi. "Dia sudah mengenalmu." Kepala Bulan menggeleng. "Aku tidak pernah bertemu dia sebelum ini." Bik Tari mengamini itu. "Tapi, dia tahu namamu. Dia tahu ibumu berpulang sebulan lalu. Dan dia berkata padaku, ingin menemuimu lagi setelah kau sehat." Bulan semakin yakin. Pemuda yang Bik Tari ceritakan adalah pria yang ia temui di kebun. Namun, Bulan tak paham mengapa pria itu bersikap seolah mengincarnya. "Bik, aku harus apa?" tanya Bulan kebingungan. Ia punya firasat bahwa bahaya sedang mengincarnya. Bik Tari memegangi tangan Bulan, memberi kekuatan. "Aku sudah menghubungi Fara. Aku sudah minta tolong padanya untuk membantumu pergi dari desa ini. Kau bisa mencari pekerjaan di kota nanti." Bik Tari adalah kawan lama ibunya Bulan. Mereka sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tetangga. Karena itu, Bik Tari merasa punya tanggungjawab menyelamatkan Bulan. Ia sudah menghubungi putrinya yang bekerja di kota agar mengirimkan uang untuk ongkos Bulan pergi ke kota. "Apa aku harus pergi dari sini, Bik?" Bulan tampak tak rela meninggalkan rumah yang sudah ia tempati sejak lahir. Semua kenangan masa kecilnya ada di sini. Belum lagi, makam ibunya juga ada di desa ini. Bik Tari mengangguk yakin. "Pria itu jahat, Bulan,' beritahunya dengan kerjap takut. "Dia hanya mengejar perempuan dengan satu alasan. Jika bukan untuk dibunuh, pasti untuk dijadikan teman tidur. Apa kau mau itu terjadi padamu?" Jelas Bulan tidak mau. Namun, meninggalkan kampung halamannya juga bukan perkara mudah. Bik Tari menggenggam tangan Bulan makin erat. "Turuti saja perkataanku. Ini demi keselamatanmu. Ibumu juga akan melakukan hal serupa." Meski tidak rela, Bulan terpaksa mengangguk setuju. Ia memang merasa bersalah karena akan meninggalkan ibunya sendirian di sini. Namun, ia berharap ibunya mau mengerti bila ini dilakukan Bulan untuk menyelamatkan diri. *** Bik Tari sudah memperingatkan agar Bulan tak keluar dari rumah. Apa pun yang terjadi. Namun, malam ini Bulan agaknya akan melanggar perintah itu. Ia rasanya tak bisa mengabaikan jeritan di luar sana lebih lama lagi. Sekitar beberapa belas menit lalu terdengar suara orang berteriak takut. Bukan hanya satu, tetapi seperti ada keramaian di luar rumah. Bulan perkirakan sumbernya dari arah kiri. Teriakan bersahutan, ada juga suara orang menangis. Sejak tadi Bulan sudah mondar-mandir di kamar. Ia dilema haruskah membuka pintu atau tidak. Haruskah keluar memeriksa apa yang terjadi, atau berdiam di rumah saja seperti yang Bik Tari katakan. Mengigit ibu jari gusar, Bulan melebarkan mata saat teringat bahwa di sisi kiri rumahnya masih terdapat tembok yang terbuat dari tepas. Segera gadis itu berlari keluar dari kamar. Ia menuju sisi kiri rumah dan terbelalak saat melihat kobaran merah menyala dari celah tepas. Bulan mencerna. Itu pasti kobaran api. Pasti ada yang terbakar. Napas gadis itu tercekat ketika bayangan seorang pria tua yang adalah tetangganya masuk dalam benak. Bulan tersentak. Lelaki tua itu menempati rumah seorang diri. Dan rumah itu ada di kiri, sisi yang tadi Bulan lihat terdapat kobaran api menyala. Perempuan itu berlari meninggalkan kamar. Dibukanya semua engsel rumah, kemudian berlari keluar. Tampak ramai dan sibuk di luar rumah. Semua tetangga berlarian ke satu arah. Kaki Bulan bergerak ke sana. Jarak yang memang agak jauh membuatnya tak sabar. Namun, ketika pemandangan rumah terbakar masuk ke pandangan, Bulan seketika membeku. Rumah yang terbuat dari kayu itu nyaris habis dilahap api. Sang pria tua pemilik rumah tampak terduduk dan menangisi rumahnya tak jauh dari sana. Hal yang paling membuatnya heran adalah, semua orang hanya menonton. Tak ada satu pun yang berinisiatif mengambil air dan memadamkan api. Bulan mendekat, membelah kerumunan dan menghampiri si pria tua. "Kenapa kalian tidak membantunya?" tanya Bulan pada semua orang di sana. Tak ada yang menjawab. Mereka bahkan seolah sengaja memalingkan wajah dari Bulan. Bulan makin tak paham. "Ambilkan air!" pekik gadis itu putus asa. Ia menoleh ke belakang dan makin kalut karena nyala api makin membesar. Impulsif, Bulan mencari ember. Kebetulan ada timba di dekat sana. Gadis itu berlari menuju sumur di belakang rumah si kakek. Meski hanya membawa satu timba, ia berlari lagi ke depan. Bulan sudah akan menyiramkan air tadi ke kobaran api, sampai seseorang menampar timbanya hingga jatuh. Air yang susah payah ia ambil tumpah ke tanah, sama sekali tak menjangkau api. Bulan mengangkat wajah dengan tatapan marah. Namun, itu hanya sebentar, sebab orang di depannya membuat Bulan membeku dan memasang raut terkejut. Gadis itu mengambil langkah mundur karena pria itu membagi senyum miring. "Akhirnya kau keluar, Bulan?""Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana
Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju
Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang
"Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan
Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera
Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu