Share

Bab 6 - Jangan Sentuh Istriku!

“Anda baik-baik saja, Nyonya?” Maria memasuki kamar di lantai satu, tempat Elisa menenangkan dirinya sejak semalam. Dia harus melihat keadaan nyonya muda mereka setelah diusir dengan kasar oleh pria yang dua bulan terakhir dirawatnya.

“Maria ….” 

Wanita mana pun pasti syok, tidak bisa tidur seperti yang terjadi pada Elisa. Lingkaran hitam di sekitar matanya menunjukkan wanita itu masih belum bisa mengatasi ketakutannya semalam. Bahkan, tatap matanya masih terlihat gelisah, seolah ingin mencari perlindungan.

“Saya bawakan segelas susu cokelat.” 

Minuman hangat itu masih menguarkan asap di atasnya. Namun, Elisa menggeleng. 

“Maaf, aku sedang tidak nafsu,” balasnya dengan lemah, membuat Maria menghela napas tidak berdaya.

Sebelum Maria pergi, Elisa kembali angkat bicara. “Bagaimana keadaan Stevan?” 

Dengan suara bergetar, Elisa berusaha mencari tahu kondisi terkini suaminya. 

“Tuan baik-baik saja. Dia sudah kembali tenang meskipun masih belum bisa bergerak dengan leluasa.” Maria tidak lupa menambahkan, “Tubuhnya terasa kaku karena hanya berbaring selama berbulan-bulan, tapi tidak seburuk itu berkat usaha Nyonya yang membantunya melakukan peregangan setiap hari.”

Elisa tersenyum tipis. “Bagus.” Paling tidak, usahanya selama ini tidak sia-sia.

Namun, detik berikutnya, senyuman itu menghilang. Elisa memeluk tubuhnya sendiri semakin erat. 

Dengan keterbatasannya saja, Stevan bisa melemparkan vas bunga. Jika kondisi pria itu sudah kembali seperti sedia kala, bukankah akan lebih menyeramkan lagi tabiatnya?

“Nyonya ….” Maria menyentuh lengan Elisa, berusaha menyampaikan berita lain dengan lembut. “Sudah waktunya Tuan Muda sarapan. Silakan bersihkan wajah Anda dan bawakan padanya.”

Elisa terbelalak. “Membawakan padanya?” Dia memasang wajah takut. “Bagaimana jika Stevan mengamuk lagi?” 

Ketakutan terlihat jelas di wajah Elisa. Dia tidak ingin mati sia-sia. Bahkan, dia belum mendapatkan gelar sarjana yang telah diperjuangkan beberapa tahun ke belakang.

“Itu tidak akan terjadi, Nyonya. Anda harus tenang.”

Elisa kembali menggeleng, bahkan menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan Maria sampai menabrak kepala ranjang. Dia takut akan mendapat perlakuan kasar seperti sebelumnya.

“Nyonya, mohon kerja sama Anda. Saat ini, Nyonya Besar masih dirawat di rumah sakit. Tidak ada yang diizinkan mendekati Tuan Stevan selain Anda.”

“Dia juga tidak menginginkanku. Dia membenciku.”

Sebuah senyuman tak berdaya terukir di wajah Maria. Keriput tampak jelas di samping matanya, tapi ada kehangatan yang memberikan kekuatan untuk Elisa.

“Tuan Muda hanya belum terbiasa dengan kehadiran Anda. Jangan pikirkan hal lain, lakukan yang terbaik yang Anda bisa. Bukankah Anda sudah bertekad akan menjadi istri yang baik dan mengurusnya sampai sembuh?”

Elisa tak mengiyakan, tapi juga tak membantah pernyataan wanita itu.

“Sarapan untuk Tuan Muda sudah saya siapkan di meja. Tolong bergegas dan bawakan itu ke kamarnya, Nyonya. Jangan membuat Tuan menunggu terlalu lama,” pesan wanita itu sebelum keluar dari kamar Elisa yang hanya bisa mendesah putus asa.

Mau tak mau, wanita dua puluh dua tahun itu membawa sarapan untuk Stevan setelah merapikan penampilannya dan mengikat rambut panjangnya. Setiap anak tangga yang dilewati, menambah rasa gugup dan waswas. Namun, coba diredam dengan menarik napas dalam.

Seperti biasa, Elisa mengetuk pintu kamar Stevan sebelum memasukinya. Dia melongokkan kepala dan mendapati sang suami terduduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Meskipun sudah sadar, tapi cairan infus masih terpancang di punggung tangan kanannya.

Manik Stevan yang sewarna gelapnya malam beralih kepada Elisa. 

“Siapa yang mengizinkanmu masuk?”

Pertanyaan Stevan membuat Elisa harus meneguk ludah dan menghentikan langkahnya. Ketegangan tercipta, membuat wanita itu semakin tidak nyaman di posisinya.

“Aku membawa—”

“Siapa yang mengizinkanmu masuk?!”

Kali ini nada bicara Stevan lebih seperti bentakan, bukan pertanyaan. 

Elisa hanya bisa menggigit bibir bawahnya, tidak berani bicara. Tatapan tajam dan suara dingin pria itu menghancurkan seluruh kepercayaan diri yang coba dikumpulkannya sesaat lalu.

Alih-alih menyerah dan pergi dari sana, Elisa pura-pura tuli dan melanjutkan langkahnya. Dia meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja dan duduk di samping ranjang. Kedua tangannya yang gemetar mengambil mangkuk berisi bubur dan berusaha menyuapi suaminya.

“Kata dokter, kamu harus makan agar cepat sem—”

PLAK!

Stevan menepis tangan Elisa, membuat sendok di depan mulutnya terpelanting ke  lantai. Tak hanya itu, bubur panas yang ada di mangkuk, tumpah ke paha Elisa yang hanya memakai piyama. 

Rasa panas segera menjalar sampai ke bawah kulitnya, tapi wanita itu sama sekali tidak berteriak. Dia hanya memejamkan matanya dan menahan sakit.

Stevan juga sedikit terkejut, tidak menyangka bubur itu akan mengenai Elisa. Namun, dia berusaha mengabaikannya dan tetap memasang wajah dingin. 

“Aku akan mengambilkan makanan yang baru untuk—”

“Diam di sana.”

Pergerakan Elisa terhenti seketika. Gadis itu urung membalik badannya, kembali menghadap ke arah Stevan yang menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.

“Duduk!”

“Tapi—”

“Duduk!”

Elisa merasa tidak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana dan berganti pakaian. Bahkan, mungkin dia harus mengoleskan gel pendingin untuk meredam rasa panas di pahanya. Namun, titah tak terbantahkan dari Stevan berhasil mengurungnya di sana.

Di saat yang sama, Maria memasuki ruangan itu dan terkejut melihat sarapan tuannya berantakan. Dia segera membersihkannya dalam diam.

“Apa kau tidak punya malu?” ujar Stevan dengan suara dalam.

“Maaf?” Elisa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Stevan. Kalimat singkat pria itu membuatnya bingung.

“Inseminasi buatan. Berapa banyak yang wanita tua itu berikan untuk membuatmu setuju hamil anakku?!”

‘Wanita tua?’

Gerakan tangan Maria terhenti, tapi tidak berani ikut campur dengan percakapan tuannya.

“Aku bisa memberikan lima kali lipat dari bayaran yang dia berikan asalkan kamu setuju menggugurkannya.”

Elisa terbelalak seketika, segera berdiri dari sana dan mundur beberapa langkah. Degup jantungnya berdetak tidak karuan. 

Perintah Stevan benar-benar di luar dugaan. Dia belum tahu inseminasi buatan itu berhasil atau gagal. Sejak dua minggu lalu, dia belum mengeceknya lagi.

Belum tahu hamil atau tidak, tapi sudah disuruh menggugurkan? Ini gila!

“Kenapa diam saja? Penawaranku tidak membuat hatimu tergerak? Bukankah kamu mau menikah denganku karena uang?”

Elisa mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya, sama sekali tak bisa berkata-kata. Rangkaian kalimat yang ada di kepala seolah terburai begitu saja saat melihat manik hitam Stevan yang terus menatapnya penuh intimidasi.

“Pilihlah salah satu, aborsi obat atau operasi?”

Pikiran Elisa menjadi kosong seketika. Ultimatum dari Stevan sungguh membuatnya tak bisa berpikir menggunakan logika. Tubuhnya limbung, hampir terjatuh jika Maria tidak segera berusaha membelanya.

“Tuan Muda, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Inseminasi buatan itu adalah ide Nyonya Renata yang ingin istri Anda segera hamil.”

“Berani sekali kamu menyebut nama wanita itu di depanku!” teriak Stevan sambil menatap nyalang ke arah Maria. “Ini mengenai hidupku! Apa aku tidak punya hak lagi untuk mengaturnya?!”

Kepala pelayan itu langsung menundukkan kepala dan meminta maaf berkali-kali. Dia hanya berusaha membantu Elisa, tetapi justru memancing kebencian tuan mudanya.

Elisa menarik napas dalam, mencoba bersikap tenang dan mengabaikan rasa sakit di kakinya. Dia harus bisa menghadapi Stevan dengan segala temperamen buruknya.

“Aku tidak hamil,” ucapnya tegas setelah menarik napas dalam.

Stevan melirik Elisa. “Tidak hamil?” 

“Dokter mengatakan bahwa dua pekan setelah inseminasi buatan baru memungkinkan terjadinya pembuahan. Namun di pemeriksaan terakhir, kadar HCg di dalam darahku tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Masih di bawah 25 IU/mL. Artinya, aku tidak hamil.”

Stevan hanya menatap datar ke arah Elisa.

“Berikan akta pernikahannya padaku sekarang.”

“Hah?”

“Apa kamu tuli? Kubilang berikan akta pernikahannya padaku.”

Elisa semakin gondok, tapi tetap berusaha menahan emosinya. Stevan begitu otoriter melebihi ibunya. 

“Apa yang ingin kamu lakukan dengan dokumen itu?”

“Bukan urusanmu. Berikan sekarang juga atau kau—”

“Tidak perlu mengancamku!” teriak Elisa putus asa. “Dokumen itu sudah kuserahkan pada Mama. Minta sendiri padanya.”

“Mama?” Stevan memasang wajah jijik, merasa tidak biasa dengan panggilan yang diutarakan Elisa untuk ibunya. “Berhenti memanggilnya seperti itu. Karena setelah dia membaik, aku akan  segera menceraikanmu!”

Mulut Elisa sudah terbuka, bersiap melontarkan tanya saat tiba-tiba Alex muncul dan memasuki kamar pribadi Stevan tanpa meminta izin sebelumnya. Dia menerobos dua penjaga yang ada di sana.

“Paman, bagaimana keadaanmu?” Alex mendekat ke arah Stevan.

“Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha mencegahnya masuk, tapi dia—”

Stevan mengangkat tangannya, tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari pengawal.

Alih-alih mengusir keponakannya itu, Stevan justru membuat isyarat dengan jari bahwa dia tidak ingin melihat Alex maupun hadiah yang dibawanya. Tatapan matanya yang dingin seolah berkata, “Bawa bedebah ini bersama sampah di tangannya.”

Pengawal segera mengambil buah tangan dari Alex bersiap membuangnya. Cara terbaik untuk mengusir lalat pengganggu itu.

“Hei, apa yang kalian lakukan?! Beraninya merebut barangku!?” 

Alex berusaha merebut kembali hadiah miliknya, tapi salah satu pengawal langsung mencekal lengannya dan memaksanya berlutut di tanah.

“Agh!” Alex berteriak kesakitan. “B

erani sekali kalian padaku! Aku ini keponakan bos kalian!”

Elisa menutup mulutnya dengan kedua tangan, terkejut tapi tidak bisa bergerak dari samping ranjang Stevan. Kakinya seolah terpancang di sana.

“Paman! Bawahanmu ini kurang ajar padaku! Tolong aku!”

Stevan tersenyum sinis. “Menolongmu? Aku tidak sebaik itu,” ucapnya dingin. “Terutama pada orang yang menginginkan kematianku.”

Alex membelalak, terkejut.

“Aku tidak tahu apa yang Paman bicarakan!” 

“Jangan berkelit! Kamu dan ayahmu itu sama menjijikkannya,” maki Stevan dengan wajah jijik.

Alex menengadah, menatap Stevan dan Elisa bergantian. Dia beranggapan hubungan pamannya dengan Elisa sangat baik, terlihat dari kenyataan hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan itu.

“Kau punya waktu tiga detik untuk enyah dari sini.”

“Tung–tunggu, Paman. Ini pasti ada salah paham!”

KLANG!

Kali ini tiang infus yang menjadi sasaran pelampiasan Stevan. Dia bahkan tidak peduli jarum infus di tangannya tercerabut dengan paksa dan mengeluarkan darah. Kemarahannya tak tertahankan, muak melihat drama Alex yang selalu bermuka dua.

Alex gelagapan, hampir terkena lemparan tiang itu. Dia mendekat ke arah Elisa yang refleks mundur dari posisinya semula, sedikit menjauh dari Stevan. Alam bawah sadar secara tidak langsung menyuruhnya menyelamatkan diri, menghindari benda yang mungkin akan membahayakan nyawanya.

“Elisa! Elisa tolong aku! Paman ingin membunuhku!” Alex berlindung di belakang Elisa, mulai bermain peran. Dia berharap Elisa berpihak dan membelanya di depan sang suami.

Namun, jauh panggang dari api. Harapan Alex tak pernah menjadi kenyataan. Bukannya memihak, Elisa justru menepis tangan Alex dan menjauhinya. 

“Menyingkir dariku!” desis Elisa dengan wajah dingin. Tampak jelas kebencian di matanya.

Alex justru mendekat dan bergelayut manja di lengan Elisa, mengabaikan penolakannya. “Elisa, kamu harus menolongku!”

Stevan mengerutkan kening, melihat ada yang janggal dengan interaksi mereka berdua. Namun, egonya yang lebih dulu bicara dan menarik Elisa duduk di atas pangkuannya.

“Jauhkan tanganmu dari istriku!”

Komen (80)
goodnovel comment avatar
Eulalia Tiwu
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Bunda Farrel Thea
ceritanya bgs jd penasaran gmn kelanjutan nya tapiii syg hrs berbayar dan ga ngerti pula caranya gmn?
goodnovel comment avatar
Wiwit Kurniasih
yah berbayar.. penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status