“Bagaimana, Dokter? Kapan kita bisa melakukan inseminasi buatan untuk anak dan menantu saya?” Renata selalu to the point saat berbicara dengan siapa pun, termasuk saat menemani Elisa memeriksakan kesehatannya siang ini.
Dengan koneksi yang dimilikinya, Renata tidak perlu antre bersama pasien lainnya. Dia langsung menuju lantai dua rumah sakit dan menemui dokter spesialis yang juga menjadi penanggung jawab kesehatan Stevan.
Seorang perawat membantu Elisa turun dari ranjang periksa. Perawat yang lain sibuk membereskan perlengkapan dan mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.
Elisa segera bergabung dengan ibu mertuanya, menghadap dokter berkacamata tebal yang usianya tak jauh berbeda dengan Renata.
“Hasil pemeriksaan fisik dan indikator lain terlihat bagus. Saya masih harus menunggu hasil cek darah dari laboratorium sebelum membuat kesimpulan. Karena tidak ada keluhan sama sekali dari pasien, saya yakin kondisi tubuhnya baik-baik saja.”
“Kapan inseminasi buatan dilakukan?”
Elisa harus menahan napas mendengar kalimat pertanyaan yang sama dari Renata. Wanita itu tidak mau membuang waktu, harus secepatnya.
“Kita akan lakukan prosesnya dalam satu atau dua pekan ke depan.”
“Baik, Dok. Mohon dilakukan secepatnya!”
“Jika semua prosedur berjalan lancar dan tidak ada halangan, Nyonya Elisa bisa mengandung seorang anak dalam waktu satu bulan.”
Meski sempat cemas dan ragu sebelumnya, tapi Elisa mengikuti semua prosedur yang ada. Dia juga tidak keberatan diambil sampel darahnya berkali-kali sebelum inseminasi buatan benar-benar dilakukan. Semua suplemen maupun obat yang diberikan oleh dokter juga dia konsumsi sesuai anjuran yang ada.
Tak terasa, dua bulan sudah berlalu. Elisa tak lagi memikirkan kemungkinan adanya bayi di dalam rahimnya. Dia fokus mengurus Stevan yang beberapa hari terakhir menunjukkan respons dengan mengedipkan mata maupun menggerakkan jemarinya.
Untuk mengusir keheningan saat membersihkan tubuh Stevan, Elisa seringkali mengajak pria itu bicara.
“Stevan, kapan kamu akan bangun? Aku mulai bosan setiap hari hanya memandangmu seperti ini.”
“Oh, ya! Kamu tahu, Alex si bodoh itu datang lagi menggangguku. Kamu harus lihat bagaimana dia mengira aku masih terus bisa dibodohi.”
Meskipun belum tersadar sepenuhnya, tapi dokter mengatakan bahwa bisa saja Stevan mendengar ucapan orang-orang di sekitarnya.
“Andai kamu sadar nanti, bisakah kamu meninjunya untukku? Ha ha ha, aku bercanda.”
Elisa meraih jemari Stevan dan merenggangkannya. Wanita itu selalu membantu menggerakkan kaki dan tangan Stevan. Dia berharap saat pria itu bangun nanti, Stevan tidak akan begitu kesulitan menggerakkan anggota tubuhnya.
“Oh, ya. Mama sudah tidak sabar menggendong cucu. Dia sudah beberapa kali memberikan test pack untuk mengecek aku hamil atau belum. Aku jadi takut akan mengecewakannya ….”
“Kalau aku benar-benar hamil, apakah kamu akan senang?” tanya Elisa yang kemudian berubah murung. “Memiliki anak dari seorang wanita asing, mungkin kamu bahkan akan mengusirku dan tidak mengakui anak itu.” Dia menatap Stevan, lalu tersenyum tak berdaya. “Akan tetapi, dari cerita Mama, aku bisa tahu kamu adalah orang yang baik, jadi kamu tidak akan melakukan hal itu, bukan?”
Suasana hening kembali tercipta saat Elisa menutup mulutnya. Stevan tetap tak bergerak di posisinya, membuat percakapan satu arah itu terhenti begitu saja.
Elisa mengembuskan napas, menatap seisi ruangan yang terlihat temaram. Hanya lampu tidur di kanan kiri ranjang yang menyala, lampu utama sengaja dimatikan setelah dia selesai membersihkan tubuh sang suami, mengganti pakaian dan menyelimutinya.
Memandangi wajah tampan Stevan menjadi agenda utama setiap hari, menceritakan banyak hal yang terjadi sambil menggenggam tangannya. Rasanya hangat, tidak seperti pertama kali Elisa menyentuhnya.
“Stevan, kalau kita bertemu dalam kondisi dirimu yang sadar, apa kamu akan tertarik dengan wanita sepertiku?”
Jari telunjuk Elisa memainkan hidung Stevan, bahkan menusuk-nusuk pipi pria itu seperti sedang bermain boneka.
“Andai saja kamu bisa bangun dan melihatku.”
Seakan mendengar ucapan Elisa, mata Stevan benar-benar terbuka!
Elisa yang sudah terbiasa dengan hal itu hanya tersenyum dan beranjak duduk bersila di samping tubuh suaminya.
“Stevan, kalau kamu mendengarku, coba kedipkan matamu.”
Satu.
Dua.
Tiga.
Tiga detik berlalu dan tidak ada respons apa pun dari Stevan. Pria itu tidak mengedipkan mata seperti permintaan Elisa.
Wanita tersebut tersenyum pahit. “Seperti kata Mama, membuka mata bukan berarti dia sudah tersadar dari koma.”
Kedua bahu Elisa turun seketika, harus kecewa dan berpaling membelakangi suaminya. Dia berusaha melepaskan tangannya dari jemari Stevan. Namun, tautan jari mereka tak terlepas seperti biasanya, melainkan terkunci kuat.
DEG!
Elisa menoleh ke belakang, kembali menatap Stevan seperti sebelumnya. Saat itulah dia menyadari tatapan mata pria itu berbeda dengan tatapan yang terakhir kali dilihatnya beberapa hari yang lalu.
Sebelumnya, tatapan Stevan tampak kosong dan akan menutup setelah tiga atau lima detik. Namun, kali ini tatapan itu lebih bernyawa dan berlangsung lebih dari sepuluh detik. Yang lebih mengejutkan lagi, mata itu menyorotnya dengan tajam seperti elang yang tengah mengintai mangsanya.
Keringat dingin membasahi kening Elisa, luruh melewati pelipis dan jatuh melalui ujung dagunya. Perasaan gugup seketika melanda saat menyadari Stevan sudah bangun dari tidur panjangnya.
“Siapa… kau?”
Meski lirih hampir tanpa suara, tapi Elisa masih bisa mendengar pertanyaan yang tertuju padanya. Tidak ada orang lain di kamar itu, hanya ada mereka berdua.
“Siapa kau?” ulang Stevan dengan suara serak membuat Elisa yakin suaminya benar-benar bangun dari koma.
“Maria ….”
Elisa mulai memanggil kepala pelayan dengan lemah. Hanya ketika kening Stevan tertaut, barulah Elisa diserang kekagetan luar biasa dan menarik tangannya dari tangan Stevan untuk berlari keluar kamar.
“Maria! Maria!” teriak Elisa sambil menuruni anak tangga, Maria dan beberapa pelayan yang ada di sana menoleh seketika. Dari ekspresi wajahnya, terlihat seperti baru saja melihat hantu.
“Hati-hati, Nyonya. Kenapa Anda berlarian seperti ini?” Wanita berusia awal enam puluhan itu menjaga mimik wajahnya. Ini bukan pertama kali Elisa datang dengan tergesa-gesa dan kehabisan napas.
Elisa bahkan sampai menabrak guci besar di sebelah kanan tangga bersamaan dengan Renata yang memasuki rumah anaknya. Beruntung tangannya sigap menangkap guci itu sebelum jatuh dan pecah.
“Ada apa, Elisa?” tanya Renata dengan bingung, baru pertama kali melihat Elisa sepanik itu.
“Stev … Stevan bangun dari koma!” Dengan napas terengah-engah, Elisa coba menjelaskannya. “Dia membuka matanya!”
“Bukankah sudah biasa. Tiga hari yang lalu dia juga membuka matanya. Itu hanya—”
Elisa menggeleng cepat, menatap Maria dan Renata bergantian.
“Stevan menahan tanganku. Dia juga bisa bicara!”
“Apa?!”
Renata tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Seluruh persendiannya terasa lemah seketika, juga kedua kaki yang tidak bisa menopang tubuhnya sendiri. Detik itu juga tubuhnya lunglai, hampir terjerembab ke lantai jika Elisa tidak segera menangkapnya.
“Nyonya!”
“Astaga!”
“Nyonya Besar pingsan. Cepat panggil ambulans!”
“Tidak. Siapkan mobil, bawa Nyonya ke rumah sakit sekarang juga!” titah Maria sambil berusaha membangunkan Renata.
Kehebohan segera terjadi. Kabar itu segera tersebar ke kediaman utama keluarga Wijaya dan membuat semua orang mendatangi rumah Stevan. Mereka tampak gusar, menunggu penjelasan dari dokter yang tengah memeriksanya.
Elisa kehabisan kata-kata melihat kejadian yang terjadi dengan begitu singkat itu. Dia bingung, “Bukankah masa hidup Stevan tidak lama lagi? Bahkan, dokter sudah menyerah dan tidak bisa mengembalikannya ke pihak keluarga? Kenapa tiba-tiba—”
Gumaman Elisa terhenti saat Harris tiba-tiba menerobos pengawal yang berjaga di depan pintu. Padahal, dokter tidak mengizinkan orang yang tidak berkepentingan untuk memasuki ruangan itu.
“Tuan, silakan keluar.” Seorang pengawal berusaha menarik tangan Harris, sedang yang lain menahan Shana dan keluarga yang lainnya.
“Saya kakaknya. Saya berhak tahu kondisi kesehatan adik saya!” Harris membentak, tapi pengawal tetap menyeretnya dengan kasar. Teriakannya masih terdengar menggema sebelum dilemparkan ke beranda dengan kasar.
Sumpah serapah terdengar sampai ke telinga Elisa, bahkan mungkin Stevan juga mendengarnya. Suasana tegang itu membuat Elisa semakin kalut, meremas jemari dan menggigit bibir bawahnya. Hanya ada dirinya dan Maria yang tersisa di sana setelah dokter pergi.
“Siapa dia?” tanya Stevan lirih. Meski masih lemah, tapi terasa sekali sikap dinginnya yang arogan dan tak tersentuh.
“Beliau Elisa Andara, putri tertua keluarga Andara yang dipilihkan oleh Nyonya Besar. Beliau mengatur pernikahan untuk Anda dua bulan lalu. Tugas saya sudah purna dan digantikan oleh istri Anda. Dia yang setiap hari membersihkan tubuh Anda dan menggantikan—”
“Apa kau gila?!” geram Stevan sambil menggertakkan giginya. Tangannya terkepal, menatap Elisa dengan kebencian yang amat kentara di matanya.
“Menikah?!” Stevan memejamkan mata sebelum kembali melihat Elisa dengan tatapan tajam “Pergi! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun.”
“Tapi, Tuan ….”
PRANG!
Sebuah vas bunga hancur seketika. Stevan melemparnya ke arah Elisa, hanya meleset beberapa sentimeter di samping kepala sebelum menghantam tembok di belakangnya. Elisa terperanjat, membulatkan mata.
“Bawa dia pergi. Aku tidak ingin melihatnya!”
Di tempatnya berdiri, wajah Elisa berubah pucat.
Stevan yang selama ini dia urus dengan sepenuh hati … ternyata adalah pria yang begitu kejam?!
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M