Pandangan Xander bergerak mengikuti guliran pesan masuk pada ponselnya. Banyaknya tagihan datang menyerbu tidak tanggung-tanggung. Dirinya menerima berjuta-juta tagihan untuk barang yang dibeli atas nama credit card miliknya.
Pria tampan ini hanya tersenyum tipis. Sudah tahu pun sangat dipastikan siapa yang sedang berfoya-foya dengan uangnya. Siapa lagi jika bukan wanita cantik namun keras kepala itu.Dirinya kini berada di ruang baca yang berada di lantai dua mansion. Berdiri gagah di samping jendela sosoknya dengan secangkir coffee hangat di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang ponsel.'Kau gila? Untuk apa kau menyarankan hal seperti ini?''Tentu takkan kulakukan. Membuang waktuku saja.'Samar Xander mendengar kegaduhan dari bawah. Lantas, ia melongok ke luar jendela pun langsung ia dapati dua sejoli yang sedang duduk di kursi samping kolam renang mansion. Ketegangan menyelimuti wajah wanita cantik itu, sementara lawan bicaranya terlihat amat tenang.Dilemparnya brosur liburan untuk bulan madu yang sengaja Tavel berikan kepada Leoni. Sengaja ia tawarkan rencana bulan madu romantis untuk Leoni. Namun, bukanya diterima baik oleh sang istri, Tavel malah menerima cemoohan.Dengkusan kasar terdengar dari wanita itu. Menatap Tavel dengan kekesalan hatinya yang mendalam. Baru saja dirinya kembali setelah letih pergi seharian, tapi di rumah ia malah dihadapkan dengan hal-hal yang menjengkelkan.Brosur bulan madu itu menggelikan menggelitik perutnya. Seharusnya pria itu sadar jika pernikahan mereka terjadi bukan di atas kehendak mereka sendiri. Lantas untuk apa bersusah payah menyiapkan hal-hal tidak menguntungkan seperti itu."Menjengkelkan," kesal Leoni, mendelik pada brosur di atas meja lalu cepat kilat ia membuang pandanganya ke tempat lain.Tavel meraih brosur itu di atas meja. Membalikkan halaman lantas dengan intens melihat gambar-gambar pemandangan indah yang ditawarkan."Ini tidak buruk untuk tujuan bulan madu kita. Jika kau tidak menyukainya, aku bisa memesankan tempat lain," cetus Tavel, seraya menyimpan kembali brosur ke atas meja sembari sedikit melemparnya.Leoni memutar matanya malas. Sangat tidak tahu malu sekali pria ini. Apa Tavel tidak mengerti alasan Leoni menolaknya bukan ia tidak menyukai tempat itu, melainkan ia memang tidak ingin pergi berbulan madu denganya."Apa kau mampu?" celetuk Leoni menatap Tavel malas. Sungguhlah ia tidak memiliki mood untuk mengikuti percakapan dengan Tavel sekarang."Kau meragukanku, Mrs. Miller," balas Tavel disertai kekehan. Matanya ikut menyipit ketika dirinya tertawa.Leoni menghirup udara dalam-dalam masuk ke dalam paru-parunya yang selalu menyempit kala dirinya berhadapan dengan Tavel ataupun Xander. Sesak amat sesak berhadapan dengan dua pria keluarga Miller tersebut."Ah~ Bagaimana aku tidak meragukanmu sedangkan kabar mengenai dirimu telah menyebar seantero eropa," timpal Leoni. Ia melihat-lihat nail art pada kukunya yang cantik. Mengalihkan pandang dari Tavel Moore yang membuatnya jijik."Itu hanya kabar miring di luar sana, faktanya tidak seperti itu."Pandang Leoni bergerak untuk menatap Tavel malas. Namun, dengan cepat netranya beralih pandang pada Xander yang berjalan mendekat dari arah belakang Tavel. Xander duduk pada kursi kosong di samping Leoni."Apa ini? Brosur bulan madu?" Jemarinya yang panjang lihai bergerak membalikan lembaran kertas brosur yang ia pegang. "Ini indah. Bagaimana menurutmu?" Xander melemparkan pertanyaan pada Leoni."Aku tidak tertarik," balas Leoni cepat. Hendak tubuhnya bangkit namun dengan cepat Xander menarik tanganya hingga Leoni jatuh kembali duduk. Kontan membulat kedua mata indah Leoni setelah mendapati perlakuan Xander."Kau—”"Aku dengar kau tidak mau pergi karena kondisi kakakku yang tidak memungkinkan," tutur Xander. "Jika dirinya tidak mampu, aku siap menggantikannya pergi."Satu tamparan panas mendarat di pipi Xander dari Leoni. Xander mendorong pipinya menggunakan lidah dari dalam, merasakan linu yang menyengat akibat tamparan tersebut.Pandangan Leoni bergerak memandang Tavel dan Xander secara bergantian. Melihat wajah tenang Tavel membuat Leoni merasa kesal dua kali lipat."Keparat!" umpat Leoni sangar. Segera ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah pergi dari sana.Tubuh gagah dan berotot itu menyender pada senderan kursi. Kakinya sedikit mengangkang kala ia duduk. Ibu jarinya memegang ujung bibir yang masih terasa perh, mendorong pipi dalam menggunakan lidah."Sampai kapan?" celetuk Tavel."Apa?" Xander meliriknya dengan tatapan datar."Sampai kapan kau sembunyikan fakta jika kau adalah pria yang sebenarnya dijodohkan dengannya, dan bukan aku."Xander menekan tangannya pada armrest kanan dan kiri kursi. Bangkit berdiri tubuh besar nan gagahnya."Membeberkannya tidak akan mengubah apapun," timpal Xander acuh tak acuh. Dirinya berdiri gagah memandangi kolam renang."Lagipula kenapa kau menolak menikah denganya. Bukankah secara terang-terangan kau juga menggodanya?" Tavel memajukan kursi rodanya sejajar dengan posisi Xander berdiri."Aku hanya menyukai wanita, tapi tidak untukku nikahi.""Posisi menjadi suaminya, apa kau sungguh tidak menginginkannya?" Tavel bertanya. Sudut bibirnya terangkat membuat senyuman tipis setipis benang."Tidak."Mengagguk-angguk mengerti. Tavel memutar kursi rodanya hingga berhadapan dengan Xander. "Ingat untuk tidak merebut posisi ini di masa depan.""Ck." Xander membalas hanya dengan decakan samar.Xander memandangi pantulan dirinya dari dalam air kolam. Tatapanya yang dingin seolah mampu membekukan air kolam renang hingga ke dasarnya.******"Bajingan!" umpat Leoni pelan seraya memandangi Tavel dari balik cermin yang kini terduduk di atas ranjang tengah bersantai."Apa kau berbicara padaku?"Membayangkan wajah tidak peduli Tavel ketika Xander menggodanya amat sangat membuat perasaan Leoni dongkol. Bagaimana bisa seorang suami tidak marah ketika istrinya sendiri di goda seperti itu. Meskipun tidak saling mencintai, setidaknya harus ada harga diri di dalam ikatan pernikahan.Para pria gila wanita ini. Aku penasaran, apakah di masalalu mereka berdua terbiasa berbagi wanita? Pikir Leoni."Jika ada yang ingin kau katakan, sebaiknya cepat kau katakan alih-alih terus menatapku dengan tatapan tajam seperti itu," papar Tavel. Tatapan Leoni yang tajam seolah tengah mengulitinya hidup-hidup.Leoni berhenti memoleskan krim wajah rutinya sebelum tidur. Ia putar kursinya hingga menghadap ranjang, menatap Tavel dengan tatapan selidik."Kenapa kau mau menikah denganku?" lontar Leoni. Menilik intens raut wajah Tavel yang datar pun sama sekali tidak terkejut atas pertanyaanya."Karena kau mau menikah denganku," balas Tavel cepat, pun tanpa ragu.Itu memang benar, dan akupun terpaksa melakukanya. Pikir Leoni."Hanya itu?" tanya Leoni lagi dengan lebih menyelidik."Karena itu kau.""Apa maksudmu?" Kening Leoni berkerut halus mendengar jawaban dari Tavel. Kelopak matanya turun saat ia melihat pria itu malah terkekeh dan bukanya menjawab pernyataannya yang ambigu."Karena itu kau, Paola Leoni Calis."Bersambung ....Jangan lupa berikan ulasan terbaik kalian untuk terus menyemangati Author yaaa.“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si