LOGINDi ruang tengah Mansion Arsenio yang megah, suasana terasa mencekam. Claudia berjalan mondar-mandir. Langkah kakinya gelisah, bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa henti seperti ayunan perahu kora-kora yang kehilangan kendali. Sesekali ia menggigit kuku jarinya yang berkutek, matanya terus melirik ke arah pintu utama.Aset. Harta. Warisan. Tiga kata itu berputar di kepala Claudia bagai mantra terkutuk. Selama Jordan belum mati atau belum menyerahkan tanda tangan pemindahan aset, Claudia hanyalah penumpang di istana ini. Dan penumpang bisa ditendang kapan saja ke jalanan—tempat di mana ia bersumpah tidak akan pernah kembali."Ke mana perginya dua manusia itu?" gumam Claudia pelan, suaranya bergetar menahan amarah. "Ini sudah hampir malam. Langit sudah gelap, tapi mobil itu belum juga terlihat."Claudia berhenti sejenak di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang tampak sempurna namun rapuh. Dia menyentuh pipinya, merasakan dinginnya kulitnya sendiri.Tenang, Claudia. Tenang. Kam
"Putar balik? Kita ke klinik Dr. Ryu. Sekarang!" perintah Jordan, suaranya membelah keheningan mobil.Chloe, yang masih berusaha menormalkan detak jantungnya, menoleh bingung. "Tuan? Kenapa ke dokter? Nyonya Claudia sudah menunggu di rumah.""Berkaca, Eva," Jordan menunjuk spion tengah dengan dagunya. "Wajahmu merah seperti terkena air panas, bibirmu bengkak, dan matamu sayu. Kalau aku membawamu pulang dengan kondisi begini, istriku yang jenius itu akan langsung tahu kita baru saja melakukan praktik biologi di jok belakang. Kamu mau jadi santapan makan malamnya?"Chloe meraba pipinya. Panas. Sial."Tapi, kalau Nyonya menanyakanku?""Itu urusanku!"***Lima belas menit kemudian, Rolls Royce berhenti di pelataran klinik minimalis yang mewah.Sret!Pintu kaca otomatis terbuka. Seorang pria dengan jas dokter yang kancing atasnya sengaja dibuka, berjalan keluar dengan santai sambil memegang tablet. Rambutnya diikat *man-bun* berantakan, dan ada rokok elektrik terselip di jari tangannya.
Setelah membereskan masalah David dan Inez—yang tentu saja sangat mudah bagi Jordan sebagai salah satu pemegang saham terbesar mall tersebut—suasana seharusnya terasa melegakan. Namun, tidak bagi Chloe.Gadis itu duduk kaku di samping Jordan di dalam mobil Rolls Royce yang melaju hening. Chloe memandang kosong ke luar jendela. Pikirannya tidak di jalanan yang sedang macet, melainkan terjebak dalam pusaran kata-kata David.'Wanita kayu... tidak ada gairah... membosankan...'Chloe meremas rok mahalnya. Hatinya perih. Apakah benar dia seburuk itu? Selama dua tahun pacaran, dia menjaga kesuciannya mati-matian, menolak permintaan David, bahkan rela memberikan uang tabungannya agar David tidak marah atau meninggalkannya. Bodoh, rutuk Chloe dalam hati. Aku beri uang biar nggak ditinggalin, eh, malah dikatain kayu dan ditinggalin juga demi wanita yang jago di ranjang. Apa di zaman sekarang, wanita yang menjaga diri itu dianggap aib? Apa aku memang terlalu naif akan hal itu?Jordan, yang sej
Satpam itu menatap David yang mengerang kesakitan dengan jari bengkok, lalu menatap Jordan dengan garang. Ia melangkah maju, hendak mencengkeram bahu Jordan."Tuan, Anda harus ikut ka—"Kalimat satpam itu terhenti di tenggorokan saat Jordan menoleh perlahan. Tatapan mata Jordan begitu tajam, dingin, dan penuh otoritas, membuat nyali petugas keamanan itu menciut seketika. Jordan tidak terlihat seperti pelaku kriminal yang ketakutan; dia terlihat seperti pemilik gedung yang sedang melakukan inspeksi mendadak.Mata satpam itu membelalak saat mengenali wajah pria di kursi roda itu. Wajah yang terpampang di majalah bisnis dan daftar pemegang saham utama mall ini."T-Tuan Arsenio?!" Satpam itu mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. Dia buru-buru membungkuk hormat, keringat dingin mengucur di pelipisnya. "Ma-maafkan ketidaktahuan saya, Tuan! Saya tidak tahu kalau itu Anda!"Inez melongo. Mulutnya terbuka lebar. "Pak Satpam?! Kenapa malah diberi hormat?! Dia ... pria lumpuh itu yang sudah me
Chloe menyipitkan mata, berusaha menajamkan pandangannya di bawah cahaya lorong yang agak temaram."David?" bisiknya tak percaya.Pria itu berdiri santai di dekat ATM, mengenakan kemeja flanel yang sangat Chloe kenali—kemeja yang ia belikan dengan uang hasil kerja sampingannya dua bulan lalu. David tampak sibuk memasukkan dompet tebal ke saku belakang celananya."Kebetulan aku ketemu di sini!" Chloe baru saja akan melangkah maju, kemarahan di dada sudah meluap. Dia ingin menagih utang, ingin berteriak di depan wajah pria yang memutuskannya lewat telepon saat dia sedang butuh-butuhnya.Namun, langkah Chloe terhenti mendadak. Ketika seorang wanita cantik dengan rambut bob pendek berlari kecil menghampiri David, menenteng dua paper bag bermerek Chanel."Sayang, kamu nunggu lama, ya?" sapa wanita itu dengan manja.Wanita itu langsung memeluk lengan David, menempelkan pipinya dengan mesra di bahu pria itu.Dunia Chloe runtuh seketika.Itu Inez.Sahabatnya di kampus. Teman sebangkunya saat
Di ketingian, tekanan di dalam kabin First Class terasa mencekik, Claudia Arsenio tidak sekadar marah. Dia sedang dalam mode mengincar. Kacamata hitam yang wanita itu kenakan berhasil menyembunyikan tatapan yang bisa membunuh, namun rahangnya yang mengeras hingga urat lehernya menonjol menceritakan segalanya. Jari-jarinya yang lentik dengan kuku merah darah mengetuk sandaran kulit kursi. Di sebelah Claudia, Rian pura-pura sibuk membalik halaman majalah bisnis. Pria itu gemetar samar. Dia tahu, wanita di sebelahnya bukan sekadar sosialita manja. Claudia adalah ular berbisa yang sedang terinjak ekornya."Satu jam," desis Claudia tiba-tiba.Rian tersentak, majalah di tangannya nyaris terlepas. "A-apa, Sayang? Tadi kamu ngomong apa?"Claudia meremas gelas di tangannya begitu kuat. "Satu jam lagi aku sampai," bisik Claudia. "Cukup waktu untuk menyiapkan hadiah kejutan buat anak nggak tahu diri itu. Dikasih hati, malah minta pankreas."Pikiran Claudia dipenuhi rencana. Meski dia belum tah







