Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.
Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton. “Misi, Bu. Bu,” panggilku. Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa … Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku. “Bu … Bu.” Aku menggedor pintu warung cukup keras, lalu terlihat wanita tua keluar dari sana. Wajahnya buram seperti kertas koran. “Cari apa, Mas?” tanyanya pelan. “Bensin, Ibu jualan bensin? Saya lihat ada tulisannya di sana?” tanyaku menunjuk papan bensin di depan warung dan sayangnya tulisan itu sudah nggak ada. Perasaan tadi ada. “Bu, tadi a …” Aku menengok kembali pada sang Ibu tadi yang ternyata adalah sosok miskun kun yang tadi mengejarku. Sontak aku pun melemparinya dengan keranjang isi jajan dan berlari membawa motorku dengan cepat. Sialan! Dikerjai mahluk tak berKTP lagi, aku mendengkus kesal. Aku melihat mahkluk itu terus melambai lambai di atasku. Aku teringat nasihat ustad Husni bagaimana mengusir hantu. Baca doa, merem dan ambil batu. Bismillah, aku jongkok dan baca ayat kursi dan ayat ayat yang susah susah pokoknya. Aku berharap mereka tak menggangguku. Cetek! Suara batu yang jatuh membuatku membuka mata. Aku kira batu kerikil yang aku lemparkan mengenai miskunkun itu, tapi ternyata batu itu mengenai pintu gerbang kosan aku. Kok bisa? Perasaan tadi aku masih di jalan. Aku parkiran motor kesayanganku di depan pintu. Aku melihat Hamzah yang sudah ada di depan pintu kamarnya. Sedang merokok dan menikmati makanan yang dibungkus plastik hitam. Enak sekali hidupnya. “Duh, karyawan teladan udah sampai juga. Habis nge-gym, Bray?” ucapnya santai. “Nge-gym gundulmu!” “Lah itu berkeringat?” “Ini gara gara peliharaan kekasih lo itu. Gue dikerjain!” sungutku. Aku meraih botol minuman yang ada di sisi Hamzah, saat aku teguk aku langsung memuntahkannya. Anyir. Saat aku lihat, darah. “Kenapa?” tanyanya. “Apa yang lo minum ini?” Aku melemparnya jauh. “Air putih lah, apa lagi?” tanyanya terlihat bingung. “Tahu ah!” Aku langsung berdiri dengan kesal munju ke kamar kosan aku yang ada di sisi kamar Hamzah. Aku yakin dia masih belum bisa melihat apa yang aku lihat juga. Aku langsung ke kamar mandi dan berkumur serta gosok gigi di sana. ‘Kamu tak akan bisa mencagahku…” Bisikan seseorang terdengar kembali sangat lembut di telinga. Aku pun menengok, tapi tak melihat apa apa. Aku kembali berkumur dan saat hendak membuka keran, rambut panjang menjutai memenuhi ember. “Astaghfirulloh,” ucapku. “Kikikiki ….” Aku tendang ember yang dijadikan creambat si kun kun. Selain doyan ganggu orang, mahluk yang satu itu ternyata doyan beredam air comberan juga. Sialnya, kedatangannya mengagetkaku. Selepas mandi, aku duduk duduk di atas kasur. Menscrolling ponsel, sampai kepoin status WA teman kantor dan teman sekolah. Ada status Sarifah yang bikin aku gatal tak membalasnya. ‘Lagi enak enaknya makan mie rebus, kepikiran sama si teman laknat sialan. Mau enak malah jadi mual, huft.’ Status yang bikin aku terkekeh membacanya. ‘Duh enaknya, mie rebusnya jangan lupa dikasih penyedap. Biar belatungnya gak gerak gerak di usus,” balasku. Langsung terlihat Sarifahnya mengetik dong. ‘Sialan, teman kamvret emang lo, pohon Randu!”Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban