Share

lagi

Penulis: Maey Angel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-12 23:39:01

“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.

Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.

“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."

“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.

“Sering sering aja gini,” kekehku.

“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”

Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.

“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.

“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.

“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”

"Mana?" tanya Syarifah.

"Nih, monyetnya," tunjuku pada nya.

"Kampret lu!"

Aku terkekeh dan membersihkan jok motor yang terlihat bersih di mata orang biasa. Namun, di mataku ada banyak sekali air liur yang pasti sisa peninggalan mahluk kerdil tadi.

“Sssh …”

Syarifah mendesis. Aku pun melihat dia mulai merasakan hawa tak enak di parkiran ini. “Kenapa?” tanyaku.

“Kok mendadak dingin ya?”

"Mungkin gue terlalu ganteng dan cool," jawabku santai.

"Serius sih, hawanya kaya ada yang di sini."

“Baca doa,” bisikku. “Ada Mr Poci yang bersandar di bahumu,” ucapku yang tentu bisa melihatnya.

“Aaah, usir nggak?!” teriak Syarifah sedangkan aku terkekeh pelan karena sudah berhasil mengerjainya dengan apa yang aku lihat.

"Oke. Minggir kau poci, cewek ini pawangnya gue!" Aku merangkul Syarifah kembali agar poci itu pergi, nyatanya dia pun hanya berpindah posisi di samping aku. Dasar poci ndableg!

Aku dan Syarifah sepakat pulang ke kontrakan. Syarifah sendiri mengontrak di kosan wanita, karena memang kami terpisah antara laki dan perempuan. Namun, sore ini niatnya mampir ke kosan Hamzah untuk menanyakan alasan dia tidak datang. Semoga dia ada di rumah kosannya.

“Ada pesan masuk dari Hamzah,” ucapku saat kami baru sampai.

“Buka!” perintah Syarifah.

“Jangan di sini dong, malu ah!” selorohku. Sarifah menghadiahi aku getokan cukup keras di kepala. Untung aku pake helm hadiah cicilan motor, jadi aman dari tangan wanita yang suka melakukan kekerasan tak disadari ini. Aku merenges dan membuka pesan Hamzah.

‘Sorry gak jadi datang. Jangan cari gue di kosan. Gue tak ada di kosan, gue lagi sibuk kencan dulu, bray. Munaroh ajak gue ngadem nih. Mayan, dapat servisan gratis.”

Apa apaan ini? Bocah gila. Nenek nenek tua di embat, apa enaknya? Yang ada masih enak sama bantal guling daripada nenek setelan zaman penjajahan gitu. Betul kan, Mblo? Ah, Hamzah memang sudah aneh. Benar kata Sarifah, aku harus membantunya.

“Dia nggak dikosan. Gimana?” tanyaku.

“Lah, di mana?”

“Lagi ngadem katanya.”

“Ngadem? Di mana?”

“Tahu, di kuburan kali. Nenek Munaroh kan udah bau tanah, palingan tempat favoritnya di sana,” jawabku asal dan kembali mendapat hadiah getokan di kepala dari Syarifah.

“Lo gak bisa gitu, tanya sama mahluk astral dan minta petunjuk buat cari si Hamzah?”

“Lo kira gue Parameter?”

“Paranormal, Randu. Ah, serius ini. Coba deh, cari tanda tanda,” ucap Syarifah yang sudah menampakkan wajah kesalnya.

“Ini udah mau magrib, kita tunggu selepas magrib. Gue ke kosan lo nanti,” ucapku.

“Baiklah, jangan kirim apapun dan kasih kabar apapun tentang mahluk astral yang lo liat selama gue ada di kosan. Gue nggak mau ketakutan sendiri dan malah kabur ke kosan lo!” sungutnya.

“Itu sepertinya ide bagus,” kekehku. Sarifah mendelik kesal.

Aku mengantar Sarifah sampai di depan gerbang kosan. Setelah dadah dadah ala ala ayang ayangan, aku pun kembali menaiki sepeda motor yang aku beli secara cicil ini. Baru saja motor melaju sekitar 300 meter, mendadak motor mati.

“Ah, pake acara mogok segala. Nggak mungkin kan motor baru kehabisan oli dan bensin? Ada ada saja,” keluhku kesal.

Aku mengecek bensin, masih full. Tapi kok mogok, aneh. Aku pun berniat mengecek karburator. Aku berjongkok dan mendadak bulu kuduk meremang. Sebuah sentuhan membuatku menengok dan aku kaget sampai terjungkal melihat sosok yang ada di depanku.

Yuk komen ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Pemikat   2-47

    Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat

  • Jerat Pemikat   2-46

    “Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p

  • Jerat Pemikat   2-45

    ..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga

  • Jerat Pemikat   2-44

    “Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga

  • Jerat Pemikat   2-43

    Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad

  • Jerat Pemikat   2-42

    Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status