Home / Romansa / Jeratan Panas Tuan Pavel / Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Share

Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Author: Osaka ois
last update Huling Na-update: 2024-12-26 10:16:09

"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?"

Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya.

"Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat."

"Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan menyeramkan dalam hitungan menit, pasti.

Pavel berdecih jijik ke arah Darius Hill, dia tidak segan-segan menghabisi pria itu jikalau memang memiliki keberanian menyentuh miliknya, Aleena Morris. Kemudian dagunya terangkat sambil menatapnya. "Antar aku ke ruang pertemuan. Jangan buang waktu, Hill."

"Y—ya, Tuan Ellington," balas Darius. Dengan kikuk Darius segera mengarahkan Pavel ke arah ruang pertemuan di dalam gedung tersebut.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong bercahaya remang di setiap titik lampu yang ada. Kemewahan tak luput dari perhatian Aleena di setiap detail di bangunan megah tersebut, walau demikian, ia tetap diam menunggu dan melihat apa yang menantinya di masa mendatang.

Kesan misterius mulai menunjukkan penampakannya, pintu kayu besar dengan ukiran rumit terbuka saat Darius membukanya seraya menundukkan kepala ke arah Pavel, seolah tidak ingin mencari masalah lagi. Sedangkan Pavel tampak acuh dan terus melangkah penuh rasa percaya diri, lalu Aleena sendiri mengekorinya dari belakang pria itu.

Semua perhatian tertuju pada Pavel. Ruangan yang tadinya riuh berubah dalam sekejap mata, hening. Tak ada orang yang berani membuka suara. Aleena juga baru sadar, ruangan itu cukup luas untuk sekedar ruangan tertutup. Namun perhatiannya teralih pada seorang pria yang berjalan angkuh ke arah Pavel.

"Wah, Ketua datang rupanya. Aku kira kau takkan datang, Pavel," cetusnya, suara serta gayanya bertingkah seperti teman lama.

"Oh, tunggu sebentar... siapa gadis cantik ini? Apa dia pengganti istrimu, atau-—mainanmu?" lanjutnya dengan lancang.

Pavel menarik Aleena mendekat dan mencengkeram erat pinggangnya di depan pria itu, sentuhannya nyaris menyakitkan. Menegaskan, "Jangan banyak bicara. Lebih baik kita memulai apa yang harus diselesaikan, untuk siapa dia... dia adalah milikku."

Ya, sudah niat awal bagi Pavel, tentunya memamerkan miliknya. Sayangnya, status kepemilikan ini tak begitu jelas, ambigu, termasuk abu-abu. Antara menjadi kekasih atau lebih parah, ialah hanya sekedar mainan yang bisa dibuang ketika dirinya sudah mulai bosan. Jelas Aleena merasa dirinya semakin rendah, seakan tidak memiliki harga diri.

Aleena mengernyit heran melihat pria itu, sama sekali tak menunjukkan ketakutan di depan Pavel sedikit pun saat semua orang tidak berani mengusik. Namun perkataannya tampak lebih berbeda, bahkan Pavel juga melayangkan tatapan tajam ke arahnya.

"Baiklah, kawan. Mari kita mulai acaranya, tapi apa kau yakin mengajak gadis ini ke dalam wilayah mu dan membahas semuanya di depan makhluk cantik ini?" tanyanya, memastikan jika Pavel tidak memasukkan seseorang yang bukan halangan. Jika ditelisik lagi, perkataannya mengandung kalimat provokasi. "Kau harus tahu, kawan, secantik apa pun makhluk yang kau genggam, bisa saja dia sangat berbahaya kehadirannya."

Mendengar perkataannya membuat Pavel terkekeh sinis. "Kau juga perlu tahu sesuatu, Arthur. Makhluk tak indah atau cantik sekali pun sama bahayanya, tidak peduli dia sekuat dan selemah apa, namun—semangat untuk menghancurkan segalanya sangat... kentara. Dan gadis kecilku tidak mempunyai celah itu."

Bibir Pavel menyunggingkan senyum miring ketika menatap Arthur yang bungkam dengan rahang terkatup rapat. "Lalu, apa kau masih ingin banyak bertanya, kawan? Jangan suka membuang waktu, itu menyebalkan."

Pria bernama Arthur Humphrey tersebut tampak tersenyum paksa. Dia tertawa sumbang penuh emosi tertahan, layaknya sedang mengunci amarah. "Tentu. Ayo, kita mulai. Bukankah mainanmu harus tahu tempatnya berpijak? Jadi, mari aku sendiri yang tunjukkan seperti apa dirimu."

Balasan seperti biasa dari rivalnya itu sungguh menguras kesabaran Pavel. Setidaknya untuk sekarang dia mesti menahannya, apa lagi dirinya merasa jika Arthur bisa saja membuat Aleena akan sulit dikendalikan, tetapi sebelum itu, dirinya bahkan menjamin Aleena tak akan mungkin menjauhinya sekeras apa pun perlawanannya.

***

Di tengah-tengah meja bundar berukuran besar di kelilingi oleh orang-orang berekspresi tegang. Meraka menatap was-was saat Pavel duduk di antara mereka, tanpa mengatakan apa-apa, sosoknya yang mengesankan menekan mental setiap orang, tak terkecuali dengan Aleena. Tatapan gadis itu ke sana dan ke mari, membaca ketegangan yang dibawa oleh Pavel sendiri.

"Aku rasa bisnis yang ku bangun berjalan lancar, tapi tempo hari aku mendapat laporan—pengiriman persenjataan saat penyelundupan hilang bagai di telan bumi."

Perkataannya menggantung di udara, menambah antisipasi di setiap orang kalau saja Pavel berkenan melepaskan amarahnya. Namun tebakan mereka salah, justru Pavel dengan santainya menyalakan cerutu di dekatnya, menghisap dengan santai.

"Coba jelaskan, Arthur. Kau adalah orang pertama sebagai pelapor, sedangkan Darius tengah bersamaku waktu itu. Katakan sesuatu pada rekan bisnis kita yang berada di sini. Dirimu pun juga bilang, jika anak buahku ikut serta dalam kasus kehilangan penyelundupan. Ayolah, jangan buat orang-orang penasaran," tutur Pavel, suaraku memerintah, namun masih terkesan acuh.

Asap mengepul di udara setelah Pavel menghembuskan napas. Dia menelengkan kepala ke Aleena sembari menunggu pria itu mengatakan sesuatu pada semua orang. "Sayang, duduklah di pangkuanku. Aku tahu kau lelah berdiri," titahnya, bukan tawaran.

Semua mata jadi beralih ke arah Aleena, membuat gadis itu gugup setengah mati. Dengan terpaksa dia duduk di pangkuan Pavel, lalu berdeham sambil berbisik, "Tuan, apa tak masalah kalau aku duduk seperti ini?"

Mata Pavel melirik ke arah Aleena, tangannya yang dua kali lipat lebih besar dari Aleena merengkuh pinggangnya erat-erat dengan cengkeraman sebagai pengingat dominasinya. "Kau ragu, tapi kau duduk di pangkuanku. Dasar bodoh."

Aleena nyaris mendelik kesal saat Pavel menghina dirinya, namun secepat kilat dia mengontrol emosi. Hingga suara Arthur terdengar. Nada bicaranya masih saja kental dengan keangkuhan dan intrik provokasi, meski semua telah terjadi, seolah itu bukan masalah besar. Tetapi Aleena, sekali lagi harus mencerna situasi sekitar. Gadis itu terus jadi pendengar yang baik.

Ini pertama kalinya Aleena masuk ke dalam kandang binatang buas, yang entah apa jenis binatang itu. Alih-alih mengabaikan, dirinya melihat ekspresi wajah Arthur. Jika ada seseorang menyadarinya, dia tampak menyembunyikan sesuatu meski terlihat rapi. Seakan-akan kalimatnya ini sudah disusun sejak awal, memang bagus, tapi tetap kejanggalan itu ada.

"Begini, Pavel. Anak buahmu bisa saja seorang pengkhianat, musuh dalam selimut. Mereka mungkin adalah tentara pasukan khusus yang sedang menyamar, menyelidiki kasus persenjataan yang marak baru-baru ini digembar-gemborkan di dunia bawah. Apa lagi aku mendengar, kabarnya akan ada pencarian untuk melakukan penangkapan terhadap dirimu."

Dia berhenti, menjeda sebentar penjelasannya yang kurang memuaskan di sisi Pavel. "Jelas negara ini waspada akan kekuatan yang tengah kau bangun dan terlebih lagi—kau menjualnya pada tentara bayaran orang-orang Rusia itu. Ah, aku bahkan sulit menjelaskannya, bagaimana kalau orang-orang yang kau besarkan malah menusukmu dari belakang?"

Pavel muak, dia mematikan cerutu di asbak rokok. Kemudian menghembuskan asap terakhir keluar dari mulutnya. Tatapannya beralih pada semua orang di sana. "Haah, petinggi di dalam kelompok ku, aku percayakan untuk bersikap pintar. Kalian pasti paham, sekarang aku tak mau mendengar penjelasan berisi sampah tidak berarti, sebab aku tidak pernah takut pada pemerintahan atau militer."

Pavel berdiri dengan Aleena yang dia dekap di pelukannya, menggendongnya menggunakan satu lengan saja. Hingga dirinya melanjutkan ucapannya. "Lalu—Arthur. Seharusnya kau menjelaskan dengan cepat dan tepat, bukan hanya membuang-buang waktuku."

Setelah mengatakan hal tersebut, Pavel melenggang pergi meninggalkan ruangan itu. Kepergiannya menanamkan ketidaksukaan terhadap pemikiran Arthur. Bertindak seolah-olah dia seorang pemimpinnya di sini, sangatlah berani, menyebalkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tenang Dalam Penderitaan

    Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Jebakan

    Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ternyata Punya Keluarga Kecil

    Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Dari Tuan Ellington

    Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Harus Tenang

    "Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Yang Hilang Belum Tentu Kembali

    Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status