Share

Sebuah Sangkar

Author: Osaka ois
last update Last Updated: 2025-01-01 23:10:26

Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik.

Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut.

"Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.

Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk hari ini kau tidak berangkat ke universitas. Fokus pada memulihkan kondisi tubuh ringkih mu itu dan habiskan buburnya. Aku tak mau kau sakit hanya karena masalah sepele."

Napas Aleena tercekat untuk sesaat, kemudian ia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha agar tak terlihat lemah. Sungguh, perkataan Pavel sangat kejam, seakan tidak memiliki hati nurani.

"Tuan, kenapa aku harus patuh padamu? Kau hanya orang asing bagiku, memanfaatkan aku sebagai alat—pemuas nafsu," cetusnya, suaranya terdengar bergetar. Emosinya sebisa mungkin tak meledak di detik itu juga. "Aku bukan jal*ngmu!"

Mata Pavel berputar malas. "Haah, ikuti saja apa yang aku inginkan. Jangan banyak membantah, aku bisa menghancurkan masa depanmu semudah menjentikkan jari."

"Lucu sekali, kau bukan Tuhan yang memegang kendali kehidupan manusia!" sentak Aleena sambil membanting alat makan di atas meja makan.

Hal tersebut memancing amarah Pavel, sehingga pria itu melangkah mendekati Aleena. Tatapan matanya menatap tajam pada Aleena, dia mengulurkan tangan, mencengkeram rahangnya begitu kuat dan menyakitkan. Tidak peduli seberapa sakit, seberapa membekas bekas ruam merah tercipta di kulit putih lembut gadis di depannya.

"Dengarkan aku, sayang... kau tidak harus tahu apa status dan posisimu di sini." Nada bicaranya mengandung ancaman tak kasat mata dan terucap, lalu mengencangkan cengkeramannya pada rahang Aleena. "Aku memang bukan Tuhan, namun aku bisa menjadi orang yang membuat hidupmu hancur, akan ku buat dirimu menjadi cangkang kosong sampai yang kau punya hanya pikiran untuk mengabdi dan patuh padaku."

Tangan lainnya mengusap lembut pipi Aleena yang basah karena air mata, sentuhannya penuh sarat janji gelap. "Itu mudah, Aleena, kau cukup mengikuti apa yang aku bilang dan lakukan. Kau berada digenggaman orang tepat, menjagamu dan memberikan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jadi... patuh saja, gadis manis. Simpan tenagamu untuk kegiatan intim kita nanti malam."

Kemudian Pavel mengecup kening Aleena sedikit lebih lama dan dia pun menarik dirinya, berdiri tegak sambil merapikan tatanan rambut. Tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Aleena. Gadis itu terlalu diam saat dia hina, menyedihkan.

"Baiklah, jaga dirimu. Pakai otakmu sebelum bertindak." Setelah mengatakannya, Pavel pergi begitu saja.

Sedangkan Aleena mengepalkan tangannya kuat-kuat, wajahnya terangkat menatap sinis kepergian Pavel. "Tenang saja, Tuan, aku akan buktikan—jika aku tak semudah yang kau pikirkan," gumamnya penuh tekad.

Dengan enggan Aleena memakan bubur buatan pelayan di kediaman Ellington. Mau senikmat apa pun, di lidahnya tetap hambar karena pada kenyataannya, perjalanan hidupnya tidak setenang dulu. Ya, walau tidak bisa dipungkiri, lebih baik diganggu oleh para penindas di kampus ketimbang hidup bersama Pavel yang menjadikannya seorang jalang pribadi di mansion megahnya.

***

Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, di setiap titik yang biasa di datangi oleh Aleena. Sayangnya, nihil. Gadis itu masih belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya, bahkan ketika hari sudah mulai siang. Ekspresi pria itu terus menebarkan keramahan, jelas bertolak belakang dengan suasana hatinya saat ini.

Kemudian kakinya melangkah ke ruang kerjanya. Segelintir mahasiswa yang melewati dirinya, hingga di beberapa meter terus dia lirik, tapi tetap dia tak menemukan sosok Aleena.

Saat dia sudah masuk ke dalam ruang kerjanya, ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Pajangan di meja dia lempar ke dinding, menciptakan suara dentuman keras memekakkan telinga. Rambutnya yang tertata rapi di usap kasar sampai berantakan. Rahangnya mengetat, mengingat kejadian kemarin sebelum keduanya berpisah.

"Sialan! Beraninya dia membawa gadisku pergi, dasar bajing*n!" teriaknya keras, mengamuk sambil melempar vas bunga ke lantai.

"Aleena, kau membuatku gila. Siapa pria itu?" gumam Kyne, suaranya menggeram marah. "Tidak, Aleena Morris milikku, aku tidak akan pernah mau melepaskan gadis itu!"

Tak lama suara tawa menggema di ruangan tersebut, seringai mengerikan terlukis di wajah tampannya. "Sial, baru saja melenyapkan hama, aku harus menghabisi hama lainnya. Ya, aku tak mungkin kalah dengan hama satu ini, gadisku, tetap milikku."

Tangannya merogoh saku celana bahan melekat di tubuhnya, dia mencari salah satu nomor salah satu orang kepercayaannya. Pesan itu berisikan; "Carikan aku informasi tentang pria yang sedang mendekati Aleena Morris. Tenggat waktu sampai nanti malam pukul sepuluh."

Setelah mengirimkan pesan, Kyne masih belum bisa tenang. Pikirannya berpacu dalam melodi suram. Kehilangan Aleena saat dirinya belum mengklaim gadisnya sepenuhnya, membuat dirinya terus gelisah.

"Lihat saja, cepat atau lambat... aku akan menunjukkan siapa diriku. Beraninya dia merebut gadisku!" gerutunya. Gemuruh di dadanya begitu terasa, ingin sekali meluapkan segala emosi.

"Tidak, aku tak mau kehilangannya." Lagi, Kyne menggerutu, kali ini ekspresinya tampak rapuh dengan tubuh terjatuh di atas sofa. "Sungguh aku mencintai dirinya, harapanku... harapan terakhirku bertahan di dunia ini."

"Aleena, aku sangat mencintaimu, merindukan dirimu, menginginkan dirimu melebihi apa pun yang ada di dunia ini," lirih Kyne.

Tanpa di undang, air matanya mengalir. Lengan kokohnya menutupi sebagian wajahnya, memejamkan mata—merasakan kepahitan setelah merasa kelegaan terukir di hati, namun itu tampak nyaris menjadi angan jika nantinya Aleena saja sulit dia miliki.

Matanya terbuka, memancarkan sesuatu berintensitas tinggi. Kepalan tangannya membentuk tinju siap diayunkan. Kemudian dalam waktu singkat Kyne mendapatkan ketenangannya, tertawa lagi, terdengar seperti seorang penjahat.

"Setelah ini aku akan membuat Aleena jatuh cinta padaku, membenci semuanya dan hanya memujaku selamanya. Ya, seutuhnya untuk dimiliki oleh aku—selamanya."

Berbeda dengan situasi seorang pria lain ketika Kyne berpusat kepada perasaannya, orang satu ini justru sedang memikirkan bagaimana cara merebut milik Pavel sekaligus menghancurkannya perlahan. Seringai nakal tersungging di bibirnya, menambah kesan menyeramkan juga ketampanan dalam satu waktu.

Aleena bagaikan sosok boneka cantik yang hadir di tengah kegelapan Pavel, sehingga pria itu sedikit menunjukkan perbedaan.

Kepalanya menggeleng mengingat wajah cantik Aleena. Sekuntum mawar merah kecil siap dipetik dan dihancurkan, memikirkan hal bej*t terus terlintas di benaknya, dia semakin gencar menyusun segala macam rencana.

"Pavel, tunggu saja... permainan segera dimulai dan tanpa sadar kau telah memulainya sendiri demi kehancuran dirimu sendiri," gerutunya bergumam, berdialog di antara sepi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tenang Dalam Penderitaan

    Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Jebakan

    Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ternyata Punya Keluarga Kecil

    Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Dari Tuan Ellington

    Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Harus Tenang

    "Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Yang Hilang Belum Tentu Kembali

    Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status