"Tidak, Pak. Dia datang untuk membantuku saja." jawab Jaka sambil menggaruk tengkuknya. "Jangan marah,""Tidak, aku tidak marah. Hanya merasa aneh saja, kenapa ada mahluk astral di sini," Danu lalu menarik tangan Jaka menuju ruangannya lalu mempersilahkan bawahannya itu duduk di kursi seberang mejanya. "Ada apa?" tanya Jaka yang tidak mengerti maksud dari Danu."Begini," Danu lalu mengatakan maksud hatinya sambil berbisik agar teman kerja Jaka yang lain tidak mendengarkan perkataan mereka. "Jadi aku rasa dia ada main di pabrik ini," tutur Pak Danu dengan suaranya yang marah."Astaga, dia lagi,""Benar," Danu menghela nafas berat lalu menoleh ke arah kantor tempat seseorang masuk dan mengacak-ancak tempat itu malam tadi. "Entah apa maksudnya,"Saat Danu nampak begitu marah, Dumadi nampak mendekat. Dia lalu duduk di samping Danu yang hanya terdiam meski tau kedatangan Dumadi untuk membantunya menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan itu."Aku rasa Bapak lebih baik pergi dari pabrik
"Jangan, Mas. Kita tidak boleh melawannya sendirian," pinta Bowo pada temannya. "Kalau kamu lawan sendiri, aku takut dia akan semakin beringas,"Jaka manggut-manggut mendengar perkataan Bowo. Dia tau temannya ini sangat baik hingga rela melakukan apapun untuk membantunya. "Jadi kamu mau membantuku?""Ya, tentu saja. Aku sudah sampai di sini, jadi sudah layak rasanya aku membelamu sampai selesai,""Ok,"Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka mengantarkan peti mati untuk hari ini. Memang kalau Bowo tidak mengantarkan barang, itu sama saja dengan dia tidak dapat upah hari ini, karenanya dia akan tetap pergi meski sebenarnya dia enggan.Setiba di halaman rumah duka, mata Jaka segera menyapu sekeliling. Dia berusaha tau rumah siapa ini sebelum turun dari mobil yang dia kendarai."Kamu kenal rumah ini?" tanya Bowo saat mata Jaka terus saja mencari tau siapa empu dari rumah mewah berlantai dua yang cat rumahnya sudah pudar.Jaka tidak menjawab, dia hanya memarkirkan saja mobil yang di
Brak!"Buka pintunya!" Teriakan dari luar ruangan itu membuat Jaka benar-benar kehilangan akal untuk menghadapi masalah ini. Dia benar-benar tidak meyangka jika perintah saudaranya itu justru membuatnya dalam masalah."Hey, kami tau kamu ada di dalam!" "Astaga!" Jaka terperanjak mendengar perkataan yang terdengar di luar ruangan tapi hal yang lebih membuatnya kaget karena dia mengelai suara itu adalah suara Irawan, si polisi yang jahat itu."Jadi ini benar-benar rumah Irawan?" tanya Jaka pada Rani yang menatap tajam ke arah pintu."Memangnya sejak tadi kamu pikir ini rumah siapa?" ketus Rani pada Jaka yang dia anggap begitu lambat memahami masalah yang sedang mereka hadapi. "Aku sudah bilang kan kalau itu sesajen milik orang jahat yang selalu berlaga seperti orang yang tersakiti. Dia itu penyebab kematianku, ayahmu dan kerabat kita yang lain!" jelas Rani dengan penuh penekanan."Dia sejahat itu!" Jaka meremas jemarinya, menatap ke arah pintu dan mulai melangkah.Rasanya ingin sekali
"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari."Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu."Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh saba
“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.Ini!Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”“Oh, ya!”“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”Jaka hanya mengangguk l
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil