"Jangan, Mas. Kita tidak boleh melawannya sendirian," pinta Bowo pada temannya. "Kalau kamu lawan sendiri, aku takut dia akan semakin beringas,"Jaka manggut-manggut mendengar perkataan Bowo. Dia tau temannya ini sangat baik hingga rela melakukan apapun untuk membantunya. "Jadi kamu mau membantuku?""Ya, tentu saja. Aku sudah sampai di sini, jadi sudah layak rasanya aku membelamu sampai selesai,""Ok,"Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka mengantarkan peti mati untuk hari ini. Memang kalau Bowo tidak mengantarkan barang, itu sama saja dengan dia tidak dapat upah hari ini, karenanya dia akan tetap pergi meski sebenarnya dia enggan.Setiba di halaman rumah duka, mata Jaka segera menyapu sekeliling. Dia berusaha tau rumah siapa ini sebelum turun dari mobil yang dia kendarai."Kamu kenal rumah ini?" tanya Bowo saat mata Jaka terus saja mencari tau siapa empu dari rumah mewah berlantai dua yang cat rumahnya sudah pudar.Jaka tidak menjawab, dia hanya memarkirkan saja mobil yang di
Brak!"Buka pintunya!" Teriakan dari luar ruangan itu membuat Jaka benar-benar kehilangan akal untuk menghadapi masalah ini. Dia benar-benar tidak meyangka jika perintah saudaranya itu justru membuatnya dalam masalah."Hey, kami tau kamu ada di dalam!" "Astaga!" Jaka terperanjak mendengar perkataan yang terdengar di luar ruangan tapi hal yang lebih membuatnya kaget karena dia mengelai suara itu adalah suara Irawan, si polisi yang jahat itu."Jadi ini benar-benar rumah Irawan?" tanya Jaka pada Rani yang menatap tajam ke arah pintu."Memangnya sejak tadi kamu pikir ini rumah siapa?" ketus Rani pada Jaka yang dia anggap begitu lambat memahami masalah yang sedang mereka hadapi. "Aku sudah bilang kan kalau itu sesajen milik orang jahat yang selalu berlaga seperti orang yang tersakiti. Dia itu penyebab kematianku, ayahmu dan kerabat kita yang lain!" jelas Rani dengan penuh penekanan."Dia sejahat itu!" Jaka meremas jemarinya, menatap ke arah pintu dan mulai melangkah.Rasanya ingin sekali
"Ada apa lagi?" tanya Jaka dengan senyum tipis berharap bisa lepas dari dugaan yang sedang ada di kepala sepupunya."Kamu orang yang menghancurkan ruang sesajenku, kan?" tanya Irawan sambil melangkah mendekati Jaka yang masih saja memutar matanya mencari jalan keluar."Apa? Aku cuma datang untuk antar peti saja, kok. Ini sudah selesai jadi aku bisa pulang sekarang," tutur Jaka."Hahahaha! Pintar sekali kamu menyembunyikan kebohonganmu, Jaka!"Jaka menyipitkan matanya kemudian memutar padangannya ke arah sesosok tubuh kaku yang berada di ruang tamu tempatnya kini berada. Sesekali matanya menajam ke sosok itu untuk tau siapa lagi yang meninggal di keluarga aneh ini. "Siapa dia?" tanya Jaka sambil menunjuk arah sorot matanya. Pertanyaan singkat itu membuat Irawan terlihat goyah dengan pertanyaannya. Matanya berputar ke sekeliling ruangan seakan kini dialah yang sedang disidang oleh Jaka. "Mhhh!" Tenggorokan Irawan terasa kering seperti sedang dicekik oleh dua tangan Jaka yang terlihat m
"Apa?" tanya Bowo tapi Jaka tidak menjawab.Wajahnya datar lalu bangkit dari tempatnya terduduk kemudian berdiri dengan tegap. Dia memutar badannya ke arah mobil diikuti Bowo yang masih tidak mengerti maksud dari perkataan temannya ini.Jaka masih saja terdiam saat mobil yang mereka kendarai bergerak meninggalkan rumah Irawan. Sesekali Jaka terlihat tersenyum lalu kembali datar seakan tidak mau Bowo tau isi kepalanya.Lama saling diam, Bowo jadi penasaran juga. Dia lalu menyenggol bahu Jaka dengan ujung telunjuknya lalu melirik tajam ke arah pria yang sedang menyetir itu. "Kamu mikirin apa? Masa aku nggak boleh tau,""Itu," jawab Jaka singkat."Ahh! Kenapa sih harus misterius gitu. Aku tuh nggak ngerti maksud Mas,"Hahahaha!Jaka menertawakan wajah Bowo yang begitu bingung dengan perkataannya lalu menggangguk sebelum akhirnya memutar stir mobil ke lajur kiri tanda mereka sudah hampir tiba di tujuan. "Nanti aku cerita di rumah. Pokoknya kamu tenang aja,"Bowo kembali duduk dengan bersa
"Roro?" Jaka kaget bukan kepalang ketika menyadari suara itu benar berasal dari istrinya yang sedang hamil tua. Roro berjalan sambil memegangi punggungnya yang semakin pegal dengan bobot calon bayinya yang semakin besar lalu berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan kekagetan di wajah suaminya.Wanita hamil itu lalu melangkah perlahan menuju kamar lalu menutup pintu perlahan tanpa mengucapkan sepatah katapun."Dia pulang?" tanya Jaka masih tidak percaya jika Roro tiba di rumahnya."Iya, Mas. Istrimu pulang," jelas sambil menelan salivanya."Aduh, gimana istrimu ini, Ka. Sudah bagus dia tinggal di kampung ayahnya. Kenapa pake pulang?" Gunawan menghela nafasnya lalu menunggu sampai Jaka memutar badannya menuju kamar barulah Gunawan mengikuti langkah putranya."Tapi aku bilang apa sama dia?" tanya Jaka masih tidak tau apa yang harus dia lakukan."Suruh dia pulang ke kampung ayahnya," tutur Gunawan dengan wajah yang tidak kalah cemas dengan wajah putranya."Tapi..." Tangan Jaka me
"Kenapa diam?!" teriak Roro seakan sudah tau isi kepala suaminya. "Kamu masih berurusan dengan pria jahat itu, kan? Jawab?!" desak Roro semakin menyeramkan.Jaka yang dasarnya pria penakut itu langsung terdiam menyadari jika wanita hamil yang berdiri di depannya ini sudah tau apa yang dia perbuat selama dia tidak di rumah. Roro langsung berdiri dan bertolak pinggang di depan Jaka dengan mulut yang terus berucap dengan deras seperti hujan badai yang entah kapan redanya.Melihat putranya diomeli istri, Gunawan iba juga pada Jaka. Di benak Gunawan, susah payah dia mendidik putranya tapi malah dapat omelan dari istri untuk hal yang dia perintahkan. Tangannya sesekali mengepal seakan siap untuk meremas bibir Roro yang begitu lancang memarahi Jaka tapi dia tau kemarahannya tidak akan berguna di saat ini. Gunawanpun hanya bisa diam sambil menunggu kapan kiranya Roro akan berhenti bicara sampai akhirnya...."Kamu ini suamiku bukan, sih? Kalau suamiku, nurutlah sama kata-kata istri! Paham!" te
"Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Gunawan melihat kegalauan di wajah putra tunggalnya yang semakin tebal."Entahlah." Helaan nafas keluar dari hidung Jaka dan kepalanya miring ke kiri mencoba untuk lebih rilex sesaat. "Huftt!" Nafasnya terdengar berat dan Gunawan tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Jaka yang masih tidak tau apa yang harus dia lakukan sekarang.Saat mata Jaka menyipit tiba-tiba suara motor Bowo terdengar mendekat. Meski masih jauh, Jaka bisa mengenali suara mesin butut itu sebagai motor milik kernet yang selama ini bekerja bersamanya di pabrik peti mati."Mas!" teriak Bowo lalu melangkah masuk ke dalam ruangan yang lampunya belum sempat dinyalakan oleh empunya rumah."Apa," jawab Jaka yang malas berdiri meski tangan Bowo begitu kuat menariknya."Kita harus ke puskesmas," jelas Bowo masih menarik tangan suami Roro itu. "Hah!" Jaka berdiri lalu menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?"Bowo tidak menjawab. Dia hanya menarik tangan Jaka kuat agar mau beranja
"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari."Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu."Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh saba