Share

Bab 4. Teriakan Ayah

“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. 

“Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.

“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.

Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil.

"Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."

Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.

Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.

Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum menunjukkan sorot sinarnya. Hawa dingin masih sangat terasa, memasuki celah-celah jendela kaca mobil dan menelisik tubuh Jaka. Sesekali Jaka mencari kehangatan dengan meniup telapak tangannya secara bergantian.

Meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas, awan di atas sana masih mendung. Tampak jelas kabut-kabut tipis meski separuh langitnya tertutup gedung-gedung di kanan-kiri jalan.

"Perjalanan kira-kira berapa lama?"

Jaka membuka obrolan. Bowo yang sibuk menarik resleting jaket ke atas sempat menoleh sedikit sebelum menjawab, "Mungkin sekitar dua jam dari sini. Kurang lebih delapan puluh kilometer."

"Waduh, lumayan jauh juga berarti ya."

Bowo tersenyum kecil.

"Jangan salah! Katanya kita bakal dibayar sejuta dalam sekali berangkat. Banyak banget, kan?"

Jaka terbelalak. Sebelumnya dia tidak menyangka bahwa bekerja di perusahaannya Danu akan mendatangkan upah sekian banyaknya. Padahal Jaka rasa pekerjaan ini cukup mudah kalau saja dia bukan tipikal orang yang penakut.

Jaka menoleh sekilas ke arah Bowo sebelum mengambil belokan ke kanan setelah dirasa jalanan belakang sepi kendaraan.

"Seriusan, Mas? Wah, lama-lama saya bakalan kaya kalau kerja di sini. Istri saya nggak akan ngomel-ngomel lagi masalah beras dan keperluan yang lain."

Barangkali Jaka tidak akan ditagih uang kontrakan lagi lantaran telat bayar cicilan. Penjaga warung juga akan sedikit mereda karena Jaka tidak lagi berhutang makanan padanya. Kembali Jaka berbinar, membayangkan setumpuk uang merah yang akan diterima hari ini.

"Berarti Jaka ini udah punya istri? Anaknya udah  berapa?"

Jaka mengangguk. "Alhamdulillah istri saya sekarang lagi mengandung anak pertama saya, Mas. Udah delapan bulan, bentar lagi lahiran. Doakan semoga lancar ya."

"Oh, begitu. Pasti kamu berat ninggalin istrimu yang lagi hamil besar begini."

Jaka tersenyum simpul. Sejauh ini Roro tidak pernah mengeluh sakit atau kesulitan berjalan. Bahkan dia masih sempat berbelanja ke warung depan sendirian.

"Iya, Mas. Tapi Alhamdulillah dia sehat. Anak dalam kandungannya juga sehat," jawab Jaka.

Terlebih Roro adalah tipikal wanita yang tidak mau duduk tenang seharian. Dia adalah wanita yang selalu ingin beraktivitas untuk meredakan lelahnya.

Bowo meminta Jaka untuk mengambil jalan tol. Katanya agar segera sampai ke alamat tujuan. Jaka yang bagian menyetir hanya manggut-manggut. Sepertinya pengalaman Bowo ini memang tidak main-main.

Begitu sampai di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya, Jaka menghembus napas lega. Katanya tiga puluh menit lagi mereka akan sampai ke tempat tujuan. Hanya saja Bowo belum tahu di mana persisnya lokasi tujuan mereka. Makanya Bowo meminta Jaka untuk menyetir pelan-pelan saja.

Kemacetan mulai hadir. Meski mendung menyingkap panasnya Kota Surabaya, tetapi lampu merah sudah ramai. Sepuluh menit kemudian Jaka baru bisa keluar dari barisan kendaraan beroda empat yang malang-melintang di perempatan lampu merah.

"Mas Bowo, setelah ini kita—"

"Jaka, Ayah tak tega melihatmu bekerja jadi pengantar peti mati seperti ini. Andai Ayah tidak bangkrut waktu itu."

Jaka mengatupkan kedua bibirnya kembali. Ucapan yang ditujukan pada Bowo itu urung diungkap. Debaran jantungnya kembali mencuat. Jaka gelagapan. “Ayah!” bisiknya berusaha agar Bowo tak mendengar perkataannya.

Ya, suara Ayah di belakang sana menyapa pendengarannya! Jaka hafal betul suara berat itu. Dari kaca spion di depannya, Jaka mampu melihat sosok Ayah duduk di kursi belakang.

"Kebangkrutan Ayah ini sebuah kesengajaan oleh seorang saudara Ayah, Jaka. Bahkan kematian Ayah pun bukan tanpa alasan. Ada seseorang yang memang tidak pernah suka kalau Ayah berhasil."

Pikiran Jaka semakin tak karuan. Siluet tubuh Ayah begitu jelas. Pergerakan mulutnya pun terlihat begitu khas. Batin Jaka bergemuruh. Lagi-lagi dia menemukan hal mistis dari peti mati yang diangkutnya.

Di samping rasa takut itu, Jaka ingin bertanya. Siapa gerangan yang tega-teganya membunuh Ayah? Akan tetapi, suara Jaka tertahan. Bibirnya hanya mampu bergetar.

"Tapi Ayah tidak mau berprasangka buruk pada siapapun. Terlebih pada saudara Ayah sendiri. Jadi cari tahulah sendiri. Cari tahulah siapa yang membunuh Ayah hingga membuatmu jatuh miskin seperti ini."

Lalu seolah-olah sosok itu mengerti suara hati Jaka. Ujaran panjang itu terdengar. Jaka mendesis. Dia membulatkan tekad. Sumpah mati dia akan akan menemukan pelaku pembunuhan Ayah!.

Meski kejadian kemarin begitu lekat di ingatannya, sabtu ini Jaka kembali mendapatkan tugas dari Danu. Kali ini jaga harus mengangkut peti matinya sendirian setelah kemarin ditemani oleh Bowo. 

Perkataan dari sosok Ayah kemarin siang masih menghantui pikirannya. Bahkan semalaman dia tidak bisa tidur nyenyak. Pengakuan tentang pembunuhan dan kebangkrutan semua perusahaan Ayah terus berputar di kepalanya.

Deretan nama saudara Ayah dan hampir semua karyawan yang Jaka kenal memenuhi otaknya. Berkali-kali Jaka menggeleng. Tidak mungkin saudara kandung Ayah melakukan perbuatan jahat semacam itu. Mereka semua orang baik.

Jaka memasukkan peti mati ke dalam mobil dengan perasaan kalut dan pikiran yang sama sekali tidak bisa fokus. Kalau saja kemarin tidak ada Bowo, Jaka akan memaksa sosok Ayah untuk berbicara lebih banyak.

Selain ingin mengungkapkan siapa gerangan yang membunuh Ayah, Jaka juga sangat rindu. Wajah tegas dengan senyum sendu siang itu sama sekali tidak bisa menyingkir dari ingatan Jaka. Dirinya tampak sehat seperti masa-masa dulu.

"Jaka, ini alamat lengkapnya. Kepala keluarga berkabar kalau prosesi pemakaman harus segera dilakukan. Jadi tolong petinya segera diantarkan ya."

Jaka tersadar dari lamunan karena Danu datang membawa selembar kertas sembari berpesan panjang padanya. Pria yang begitu ramah itu menyerahkan tulisan berisi alamat rumah dengan senyum simpul. Jaka mengangguk.

"Baik, Pak Danu. Sebentar lagi saya akan mengantar petinya."

Jaka lihat sebentar kertas itu. Alamat rumah yang tidak jauh dari perusahaannya bekerja tertulis rapi lengkap dengan nomor rumahnya. Semakin lama Jaka mengamati, semakin yakin pula bahwa alamat itu tidak asing baginya.

Ya! Ini adalah rumah dari kerabat Ibu, yaitu Rani.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status