“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh.
“Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.
“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.
Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil.
"Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."
Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.
Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.
Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum menunjukkan sorot sinarnya. Hawa dingin masih sangat terasa, memasuki celah-celah jendela kaca mobil dan menelisik tubuh Jaka. Sesekali Jaka mencari kehangatan dengan meniup telapak tangannya secara bergantian.
Meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas, awan di atas sana masih mendung. Tampak jelas kabut-kabut tipis meski separuh langitnya tertutup gedung-gedung di kanan-kiri jalan.
"Perjalanan kira-kira berapa lama?"
Jaka membuka obrolan. Bowo yang sibuk menarik resleting jaket ke atas sempat menoleh sedikit sebelum menjawab, "Mungkin sekitar dua jam dari sini. Kurang lebih delapan puluh kilometer."
"Waduh, lumayan jauh juga berarti ya."
Bowo tersenyum kecil.
"Jangan salah! Katanya kita bakal dibayar sejuta dalam sekali berangkat. Banyak banget, kan?"
Jaka terbelalak. Sebelumnya dia tidak menyangka bahwa bekerja di perusahaannya Danu akan mendatangkan upah sekian banyaknya. Padahal Jaka rasa pekerjaan ini cukup mudah kalau saja dia bukan tipikal orang yang penakut.
Jaka menoleh sekilas ke arah Bowo sebelum mengambil belokan ke kanan setelah dirasa jalanan belakang sepi kendaraan.
"Seriusan, Mas? Wah, lama-lama saya bakalan kaya kalau kerja di sini. Istri saya nggak akan ngomel-ngomel lagi masalah beras dan keperluan yang lain."
Barangkali Jaka tidak akan ditagih uang kontrakan lagi lantaran telat bayar cicilan. Penjaga warung juga akan sedikit mereda karena Jaka tidak lagi berhutang makanan padanya. Kembali Jaka berbinar, membayangkan setumpuk uang merah yang akan diterima hari ini.
"Berarti Jaka ini udah punya istri? Anaknya udah berapa?"
Jaka mengangguk. "Alhamdulillah istri saya sekarang lagi mengandung anak pertama saya, Mas. Udah delapan bulan, bentar lagi lahiran. Doakan semoga lancar ya."
"Oh, begitu. Pasti kamu berat ninggalin istrimu yang lagi hamil besar begini."
Jaka tersenyum simpul. Sejauh ini Roro tidak pernah mengeluh sakit atau kesulitan berjalan. Bahkan dia masih sempat berbelanja ke warung depan sendirian.
"Iya, Mas. Tapi Alhamdulillah dia sehat. Anak dalam kandungannya juga sehat," jawab Jaka.
Terlebih Roro adalah tipikal wanita yang tidak mau duduk tenang seharian. Dia adalah wanita yang selalu ingin beraktivitas untuk meredakan lelahnya.
Bowo meminta Jaka untuk mengambil jalan tol. Katanya agar segera sampai ke alamat tujuan. Jaka yang bagian menyetir hanya manggut-manggut. Sepertinya pengalaman Bowo ini memang tidak main-main.
Begitu sampai di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya, Jaka menghembus napas lega. Katanya tiga puluh menit lagi mereka akan sampai ke tempat tujuan. Hanya saja Bowo belum tahu di mana persisnya lokasi tujuan mereka. Makanya Bowo meminta Jaka untuk menyetir pelan-pelan saja.
Kemacetan mulai hadir. Meski mendung menyingkap panasnya Kota Surabaya, tetapi lampu merah sudah ramai. Sepuluh menit kemudian Jaka baru bisa keluar dari barisan kendaraan beroda empat yang malang-melintang di perempatan lampu merah.
"Mas Bowo, setelah ini kita—"
"Jaka, Ayah tak tega melihatmu bekerja jadi pengantar peti mati seperti ini. Andai Ayah tidak bangkrut waktu itu."
Jaka mengatupkan kedua bibirnya kembali. Ucapan yang ditujukan pada Bowo itu urung diungkap. Debaran jantungnya kembali mencuat. Jaka gelagapan. “Ayah!” bisiknya berusaha agar Bowo tak mendengar perkataannya.
Ya, suara Ayah di belakang sana menyapa pendengarannya! Jaka hafal betul suara berat itu. Dari kaca spion di depannya, Jaka mampu melihat sosok Ayah duduk di kursi belakang.
"Kebangkrutan Ayah ini sebuah kesengajaan oleh seorang saudara Ayah, Jaka. Bahkan kematian Ayah pun bukan tanpa alasan. Ada seseorang yang memang tidak pernah suka kalau Ayah berhasil."
Pikiran Jaka semakin tak karuan. Siluet tubuh Ayah begitu jelas. Pergerakan mulutnya pun terlihat begitu khas. Batin Jaka bergemuruh. Lagi-lagi dia menemukan hal mistis dari peti mati yang diangkutnya.
Di samping rasa takut itu, Jaka ingin bertanya. Siapa gerangan yang tega-teganya membunuh Ayah? Akan tetapi, suara Jaka tertahan. Bibirnya hanya mampu bergetar.
"Tapi Ayah tidak mau berprasangka buruk pada siapapun. Terlebih pada saudara Ayah sendiri. Jadi cari tahulah sendiri. Cari tahulah siapa yang membunuh Ayah hingga membuatmu jatuh miskin seperti ini."
Lalu seolah-olah sosok itu mengerti suara hati Jaka. Ujaran panjang itu terdengar. Jaka mendesis. Dia membulatkan tekad. Sumpah mati dia akan akan menemukan pelaku pembunuhan Ayah!.
Meski kejadian kemarin begitu lekat di ingatannya, sabtu ini Jaka kembali mendapatkan tugas dari Danu. Kali ini jaga harus mengangkut peti matinya sendirian setelah kemarin ditemani oleh Bowo.
Perkataan dari sosok Ayah kemarin siang masih menghantui pikirannya. Bahkan semalaman dia tidak bisa tidur nyenyak. Pengakuan tentang pembunuhan dan kebangkrutan semua perusahaan Ayah terus berputar di kepalanya.
Deretan nama saudara Ayah dan hampir semua karyawan yang Jaka kenal memenuhi otaknya. Berkali-kali Jaka menggeleng. Tidak mungkin saudara kandung Ayah melakukan perbuatan jahat semacam itu. Mereka semua orang baik.
Jaka memasukkan peti mati ke dalam mobil dengan perasaan kalut dan pikiran yang sama sekali tidak bisa fokus. Kalau saja kemarin tidak ada Bowo, Jaka akan memaksa sosok Ayah untuk berbicara lebih banyak.
Selain ingin mengungkapkan siapa gerangan yang membunuh Ayah, Jaka juga sangat rindu. Wajah tegas dengan senyum sendu siang itu sama sekali tidak bisa menyingkir dari ingatan Jaka. Dirinya tampak sehat seperti masa-masa dulu.
"Jaka, ini alamat lengkapnya. Kepala keluarga berkabar kalau prosesi pemakaman harus segera dilakukan. Jadi tolong petinya segera diantarkan ya."
Jaka tersadar dari lamunan karena Danu datang membawa selembar kertas sembari berpesan panjang padanya. Pria yang begitu ramah itu menyerahkan tulisan berisi alamat rumah dengan senyum simpul. Jaka mengangguk.
"Baik, Pak Danu. Sebentar lagi saya akan mengantar petinya."
Jaka lihat sebentar kertas itu. Alamat rumah yang tidak jauh dari perusahaannya bekerja tertulis rapi lengkap dengan nomor rumahnya. Semakin lama Jaka mengamati, semakin yakin pula bahwa alamat itu tidak asing baginya.
Ya! Ini adalah rumah dari kerabat Ibu, yaitu Rani.
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
"Irawan datang dengan marah tengah malam itu, lalu menghardik ayahku seakan dialah yang membuat polisi itu jadi seperti ini," lanjut Puri terisak."Seperti ini?" kening Jaka seketika mengerut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,""Mas, baiknya ngobrol di dalam aja, nggak enak dilihat pelayat," tutur seorang petugas penjaga rumah yang mendekat ke arah putri Dumadi itu. Wajahnya begitu iba melihat Puri yang kembali kehilangan orang tuanya dalam waktu yang berdekatan."Ya, masuk, yuk," ajak Puri kemudian menarik tangan Jaka.Jaka yang tidak mau menolak segera mengikuti langkah Puri dan tentunya mengajak Bowo, kernetnya karena tidak mau Roro, istrinya akan menganggap dia main mata pada gadis cantik ini.Bowo ikut saja, dia tau Jaka tidak mungkin masuk sendirian mengingat mereka datang memang untuk tugas yang sama.Setelah masuk ke ruangan lain di sudut rumah, Puri kemudian meminta pelayan menyajikan kopi dan rokok untuk tamunya dan tidak lama kemudian semua tersedia yang berarti itu saatny
"Mas, dari pada gitu, mending ayo kita ke rumah sakit," ajak Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang begitu tegang mendengar kabar dari Wati. "Ya, itu lebih baik. Putriku udah di sana. Semoga nggak ada apa-apa sama dia," sahut Wati yang memang belum tau keadaan Roro setelah kejadian yang dia sendiri masih bingung untuk menceritakanya. "Ok, kalau gitu ayo," Jaka melangkah duluan menuju mobil sambil menarik tangan kernetnya. Dia lalu menuju rumah sakit dengan laju mobil yang cepat karena Bowo tau hati Jaka begitu kesal bercampur bingung saat ini. Mobil yang dikendarai Bowo akhirnya tiba di halaman rumah sakit di kota kecil itu lalu dengan sigap mengantarkan Jaka menuju pintu ruang UGD yang kebetulan penjaganya dia kenal. Setelah bertanya, mereka di arahkan menuju ruang perawatan dimana Roro nampak terpejam dengan wajah yang masih pucat. "Kenapa dia?" tanya Jaka sebelum mendekati istrinya. "Sepertinya dia sedang tidur," tebak Bowo sambil menatap wajah Roro. "Tapi sepertinya bayinya masi