“Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”
Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.
Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.
“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama, setidaknya itu yang paling aman dari dicurigai.”
Kepala Shaw manggut-manggut.
“Tapi ... bagaimana kalau penjaga tidak mengizinkan dan kalau Kakek dan Nenek juga tidak mengizinkan? Paling parah, bagaimana kalau diizinkan, tapi dengan syarat tidak boleh sendiri?”
Shaw mengerutkan dahi, memajukan tubuh, dan menopang dagu.
“Oh!”
Ia menegakkan tubuh dan mengangkat jari telunjuk tangan kanan.
“Aku bisa minta Bold untuk menemani. Mereka pasti akan mengizinkan termasuk Kakek dan Nenek.”
Sekali lagi, kepala Shaw manggut-manggut.
“Otakku memang baik dan perhatian!”
Senyum lebar menyerupai seringai terlukis di wajah Shaw yang sudah terlihat lebih segar dibandingkan beberapa hari kemarin. Shaw menaik-turunkan alisnya, lalu mengedip-ngedipkan matanya jenaka.
Meja dan ranjang Shaw rapikan, disambung dengan membersihkan rumah. Barang perabotan yang tidak seberapa mewah itu ia lap. Lemari, meja, kursi tidak luput dari jangkauan tangannya. Sesudahnya, ia beranjak mengambil sapu, lalu kain pel, menjamah tiap sudut rumah.
“Kakek dan Nenek pasti akan senang! Ah, atau mereka justru akan marah? Tapi ini bagus untuk meregangkan tubuhku. Haaahh ....”
Kedua sudut bibir Shaw mengembang. Tangannya telentang. Ia hirup oksigen dalam-dalam seraya memejam.
Indah pemandangan halaman rumah yang bersih dengan rumpun tanaman pancarona. Segar ambu terhirup penciuman. Dipejamkan mata, menikmati semilir sejuk angin menyentuh kulit yang belum kering benar seusai membersihkan diri.
Raga sudah cukup dimanjakan. Sedikit memaksa berdamai dengan air akan membuatnya terbiasa meski itu artinya merelakan air mata meluruh berderai, berbaur dengan air.
Sejuk sungguh anginnya, menggugah batin Shaw akan rindu pada bukit timur. Sudah beberapa hari ini ia tidak ke sana. Teringat pula pada Bailey yang tidak terlihat lagi setelah makan malam tempo hari. Edvard datang sendirian sejak malam itu. Bagaimana keadaan Bailey? Apakah sesuatu terjadi padanya? Pikiran Shaw melanglang.
“Biar kutanyakan pada Dokter Ed sore nanti,” gumam Shaw, menatap lurus hamparan awan sewarna asap.
Tungkai berbalik, laju mengarah ke dalam. Pintu ditutup pelan, lalu suara berisik perabotan dapur memenuhi ruangan setelahnya.
“Shaw?”
Panggilan terdengar dari ruang tamu. Suara Spencer. Shaw menghentikan aksi cuci mencuci perabotan dan bergegas ke depan.
“Shaaw ....” Itu Gracie, mengedarkan pandang pada sekitar, heran, seakan-akan ia tengah berada di tempat asing.
“Kau ... yang melakukannya? Ini bersih dan rapi ... dan wangi! Di luar juga!” ujar Gracie. Senang dan takjub terpancar dari wajah dan suara, begitu juga Spencer. Namun, detik berikutnya berubah menjadi suasana mencekam.
“Kau, kan, seharusnya istirahat!?” Spencer menatap horor seperti hendak menguliti Shaw. Gracie sudah melipat tangan seraya memicing pada Shaw yang cengar-cengir.
“Tubuhku terasa kaku karena istirahat terus-menerus.” Shaw membela diri. Suaranya memelas, dibuat seputus asa yang ia bisa.
Biasanya cara itu ampuh. Dengan kondisi Shaw saat ini, harusnya itu lebih dari ampuh, kan?
“Karena itu, aku … aku membersihkan rumah dan halaman. Lihat!” Shaw meregangkan tubuh; melakukan beberapa gerakan pemanasan: mengayunkan tangan, berjalan bolak-balik, lari di tempat, juga melompat-lompat kecil. “Tubuhku terasa jauh lebih baik sekarang.”
“Tetap saja kau harus istirahat. Kau belum boleh terlalu lelah,” kata Spencer. Sorot matanya melunak.
Shaw menunjukkan deret giginya.
“Ehehehe ... aku tidak terlalu lelah, kok. Sekarang, ayo, makan!”
Shaw berjalan ke tengah Spencer dan Gracie, menarik tangan keduanya menuju dapur.
Begitu sampai di dapur, Spencer dan Gracie terdiam sesaat; terkesima oleh hidangan yang sudah ditata rapi dan tampak menggugah selera di atas meja makan. Keduanya serentak menoleh pada Shaw yang sudah menggeser kursi ke belakang.
“Ayo, makan!” seru Shaw bersemangat.
Masih terpukau, Spencer dan Gracie bergabung seusai mencuci tangan dan kaki.
“Katakan yang kau inginkan. Kau pasti menginginkan sesuatu, kan?” Spencer membidik tepat sasaran, melirik Shaw di sela-sela makannya.
“A ... ehehehe ....”
Deretan gigi rapi dan putih terpampang saat Shaw menunjukkan senyum lebar. Ketahuan sudah maksud terselubungnya.
“Aku ingin keluar desa untuk mencari panasea,” jawab Shaw pelan. Seketika, Spencer dan Gracie menghentikan makan dan menatap Shaw. Menyadari itu, Shaw buru-buru menambahkan, “A … aku akan minta Bold untuk menemaniku! Aku tidak akan pergi sendiri. Kakek dan Nenek tenang saja.”
Senyuman cerah dengan sorot memohon ditampilkan sebagai pelengkap. Kalau ini gagal, Shaw harus segera memikirkan cara lain.
“Kau tahu panasea itu tidak pasti tempatnya, 'kan?” Spencer bertanya, melanjutkan makan.
Shaw mengangguk.
“Ya sudah. Kakek izinkan kalau Bold bersedia menemani.”
Air muka Shaw makin cerah.
Panasea memang terdapat cukup banyak di Zanwan. Namun, tempatnya tidak tentu. Selain karena ukuran yang biasanya tidak begitu besar sehingga harus jeli melihat, pun karena penduduk lain biasa mencarinya juga. Mayoritas penduduk Zanwan masih menggunakan obat herbal.
Sore menjelang, Shaw duduk di pelataran rumah. Sepoi-sepoi angin menemaninya.
“Biasanya Dokter Ed akan datang di waktu-waktu ini,” gumam Shaw, menatap lurus pekarangan. “Nah, itu dia! Oh, ada Bailey juga!”
Seperti biasa, Edvard datang dengan kuda hitamnya. Bailey ikut serta setelah beberapa hari absen.
“Selamat datang,” sambut Shaw, berdiri dan membuka pintu.
“Kau terlihat lebih segar, Shaw!” Edvard semringah.
Shaw tersenyum lebar. “Aku merasa sangat baik dan sangat semangat!”
Sembari berjalan, Bailey berdeham, melempar tatap selidik.
“Tumben sekali.”
“Apa?” Shaw bertanya dengan ekspresi jutek. “Ayo, masuklah. Kebetulan sekali kau ikut.”
Kebetulan? Bailey bingung.
“Huh?”
Shaw membawa Bailey dan Edvard ke dapur.
“Jadi, aku berencana untuk mengajak Bold, memintanya menemaniku dalam perjalanan nanti. Menurutmu Bold akan setuju tidak?”
Bailey mengambil tempat di tepian ranjang, bertatap muka dengan Shaw.
“Bold? Perjalanan? Ke mana kau akan pergi? Tujuannya?”
Edvard mendengarkan sembari mengobati punggung Shaw. Keningnya berkerut mendengar penuturan anak itu, tetapi ia bungkam, memilih mendengarkan keseluruhan terlebih dahulu dan menunggu waktu yang pas untuk menimpali.
Rumah lebih hening karena Spencer dan Gracie langsung pergi lagi setelah makan siang tadi. Mereka pergi ke ladang.
“Ya. Bold. Aku berencana pergi ke luar desa, mencari panasea,” jelas Shaw.
Bailey membeliak. Mulutnya terbuka, lalu mengatup lagi.
“Bold bukan orang yang mudah diajak pergi. Diajak berbincang santai pun susah. Itu yang kudengar. Namun, masalah utamanya adalah ... kau yakin? Kau belum sembuh benar, loh ....”
“Hum, aku yakin! Lagipula persediaan panasea di rumah sudah hampir habis. Jadi, memang sudah waktunya untuk mencari lagi.”
“Bagaimana menurut Dokter?” Bailey memiringkan kepala sedikit, melirik Edvard.
“Beberapa bilurnya sudah mulai mengering, tetapi tidak dengan lainnya. Kemungkinan akan melembab dan berkeringat, ditambah efek obat, bisa menimbulkan bakteri jika tertutup pakaian terlalu lama, terinfeksi jika terbuka dan terlalu banyak terkena udara bebas.” Edvard memperhatikan lebih jeli dan menyadari kalau luka Shaw membaik lebih cepat dari perkiraannya.
“Kau dengar itu?” Bailey kembali menatap Shaw.
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya.”
Shaw tidak ingin menyerah. Jika ditunda lebih lama, kemungkinan untuk orang lain menemukan tas Daniel akan lebih besar. Bisa juga turun hujan yang membuat tas dan seisinya basah, bahkan rusak. Shaw merasa tidak boleh membiarkan semua kemungkinan itu terjadi.
Bailey menghela napas kasar. Ia tahu, mendebat Shaw tidak akan membuahkan hasil yang berarti.
“Baiklah. Nanti besok kutemani menemui Bold. Mumpung sekolah libur,” kata Bailey.
Shaw mengangguk antusias.
“Bold. Sepertinya aku pernah dengar nama itu?” Edvard membatin. Sampai berpamitan, ia terus terpikirkan nama Bold. “Sudahlah, nanti juga aku akan mengetahuinya.”
Edvard melepaskan tali kekang kuda dan menungganginya. Bailey menyusul naik di belakang.
“Hati-hati di jalan!” Shaw berseru. Lambaian tangannya mengiringi kepergian Edvard dan Bailey.
“Bold, ya. Pertemananmu luas juga,” gumam seseorang berpakaian tertutup jubah hitam. Tudung menyembunyikan wajahnya disertai sebuah topeng hitam polos. Ia turun dari dahan salah satu pohon di depan samping rumah Spencer setelah Shaw menutup pintu, lalu bergerak cepat ke samping rumah.
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.