Home / Lainnya / Jeruji Tanah Anarki / 9. Jika kau mati lima menit setelah ini

Share

9. Jika kau mati lima menit setelah ini

Author: Maula Faza
last update Huling Na-update: 2021-07-27 12:25:24

“Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”

Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.

“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”

Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.

Tas pemberian Daniel!

Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.

“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”

Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.

“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.

Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.

“Siapa?” Shaw bertanya.

Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempurna wajah dari atensi Shaw.

“Ruangan ini masih sama, tidak ada yang berubah,” kata sang sosok, pelan dan tenang. Simpul senyum terukir di balik topeng bersama tatapan kesedihan yang tersirat dari matanya.

Kening Shaw makin berkerut. Perkataan jubah hitam membingungkannya. Itu terdengar seperti sang sosok pernah berada di sana sebelumnya, jauh hari, mungkin di masa lalu sedangkan Shaw tidak menemukan itu di ingatannya.

“Apa maksud Anda?” Shaw menelengkan kepala.

Jubah hitam menjatuhkan tatap pada Shaw yang terlihat tenang. Alih-alih menjelaskan, ia malah melempar tanya.

“Apa yang kau sebenarnya coba lakukan?”

Yakin dan tidak yakin, Shaw mengerti maksud pertanyaan tersebut. Pasti tentang rencana pelarian. Kasak-kusuk itu mestilah sampai ke telinga sosok misterius di hadapannya jua.

“Tidak ada urusan untuk saya memberitahukannya.”

Benar, kan? Tidak ada yang perlu Shaw jelaskan. Tidak ada sesuatu yang penting baginya untuk dibagi dengan orang lain terkait itu, apalagi sang sosok yang tidak ia ketahui identitasnya.

Jubah Hitam maju beberapa langkah hingga jarak antara dirinya dengan Shaw terpaut tiga meter. Temaram lentera minyak tidak banyak membantu Shaw yang mencoba melihat mata di balik tudung hitam itu.

“Jika kau mati lima menit setelah ini, apa yang akan kau lakukan di waktu yang tersisa?” Jubah Hitam bertanya. Ini mungkin hanya praduga Shaw, tetapi ia merasa Jubah Hitam menjadi lebih serius.

Shaw mengerjap, terdiam tanpa melepas tatap, bingung harus menjawab apa. Tidak pernah ia memikirkan hal semacam itu.

Jubah Hitam tersenyum hangat di balik topeng. Masuk ke pendengarannya derap langkah mendekat di luar. Ia gerakkan tungkai mengikis jarak, mengulurkan tangan, mengusap kepala Shaw dengan sedikit menekan dan mengacak-acak rambut Shaw.

“Pikirkanlah itu,” ucap Jubah Hitam, kemudian bergeser ke samping, menaruh sebuah benda di atas meja.

“Shaw?” Seseorang memanggil dari luar, arah depan, beriring ketukan pintu.

Shaw menoleh sekilas ke samping, lalu bergegas ke depan, membuka pintu yang dikunci. Spencer dan Gracie selalu berpesan untuk mengunci pintu jika lembayung sudah terlihat.

Sekembalinya ke kamar, tidak didapati lagi sosok misterius berjubah hitam tadi. Hanya ada benda yang ditaruhnya di meja. Shaw mengambilnya, memperhatikan sejenak, lalu menyimpannya ke bagian lemari terdalam.

Pagi buta di depan kandang kuda mansion Hunt, Bailey sedang merapikan pakaian. Wilton bersamanya.

“Wilton, para prajurit belum berganti pos jaga, 'kan?”

Bailey mengusap kuda cokelat yang akan ia tunggangi. Wilton menutup pintu pagar kandang kuda dan menguncinya.

“Sudah, Tuan Muda.”

“Di mana pos jaga Bold?”

“Bold sedang libur. Biasanya dia menghabiskan waktu di asrama.”

“Begitu, ya. Baiklah, terima kasih! Aku pergi dulu, Wilton. Sampai jumpa!”

Bailey melajukan pelan kudanya, menghampiri Edvard yang sudah menunggu di pekarangan depan. Ketika sampai, ia melihat Edvard bercengkerama dengan Profesor Barid Baldric yang datang bersama asistennya, Ramas.

Belum sempat Bailey mendengari, obrolan ketiganya usai. Barid lekas mendekat. Di balik keramahan yang ditunjukkan Barid, Bailey menerka sang profesor datang untuk sesuatu.

“Tuan Muda, apa kita bisa berbincang sejenak?” Barid melontarkan tanya.

“Tentu,” sahut Bailey, turun dari kuda. “Kita bicara di dalam saja.”

Barid melirik Ramas sekejap sebelum mengikuti langkah Bailey. Ramas memberinya anggukan. Ia menunggu di luar bersama Edvard.

“Hari masih awal. Pastilah ada hal penting yang dibawa sampai-sampai bertandang sepagi ini,” pikir Bailey.

“Silakan duduk, Profesor.”

Bailey mendahului, duduk di kursi tunggal. Ia tatap lekat sang profesor dengan tanya.

“Begini ….” Barid membuka suara. “Kabar yang menyebar beberapa hari terakhir sudah sampai ke telinga saya. Jika Tuan Muda berkenan, maukah mengajak Shaw ke rumah saya kapan-kapan?”

Ada sesuatu yang menggelitik Barid perihal kabar itu dan ia ingin memastikannya sendiri. Namun, membahas hal tersebut di sekolah bisa mengundang hal yang tidak diinginkan. Untuk itulah ia datang ke mansion Hunt pagi sekali.

Seorang pelayan datang menyuguhkan hidangan, kembali ke belakang setelah Bailey mengucapkan terima kasih.

“Hum! Aku akan ajak Shaw ke rumah Profesor setelah menemui Bold.”

“Baik. Apa Tuan Hunt ada di rumah?”

“Ayah ada di ruang ….” Ucapan Bailey menggantung, terpotong oleh sahutan dari arah pintu.

“Aku di sini.”

Ascal muncul bersama asisten pribadinya, Bexter Larson, dari pintu depan. Ia duduk di seberang meja Barid dan melepas topi yang dikenakannya, menaruhnya di meja. Bexter berdiri di belakangnya.

Bailey seketika bungkam dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Argumennya dengan Ascal di meja makan saat sarapan kemarin lalu menjadi perbincangan terakhir mereka.

“Ada apa, Profesor?”

“Saya ingin membicarakan tentang Tomat Madu.”

Merespon tomat madu yang diucapkan, Ascal menatap Barid agak lama, lalu berpaling kepada Bailey.

“Bukankah kau akan ke rumah Shaw?”

Bailey mengangguk singkat, menoleh pada Barid. “Kutinggal Profesor dengan Ayah, ya ….”

Bailey langsung pergi tanpa berpamitan pada Ascal. Alis Barid terangkat, melirik Ascal. Ia tahu Bailey anak yang sopan dan pemandangan barusan terasa janggal untuknya. Namun, Ascal tidak bereaksi selain menatap punggung Bailey sebentar.

“Kita bicarakan di ruanganku saja.” Ascal berdiri. “Bexter, temani Ramas.”

Jalan menuju ruang kerja Ascal sepi. Jillian pun tidak terlihat.

Duduk di kursi kebesarannya, Ascal menaruh atensi penuh pada Barid.

“Apa yang ingin Paman sampaikan?”

Panggilan Ascal pada Barid jauh lebih akrab. Tentu akan membuat terkejut orang lain jika mendengarnya. Tidak banyak yang tahu bahwa Ascal dan Barid lebih dekat dan lebih akrab dari apa yang dikira kebanyakan orang.

“Neo bilang dia bertemu Keiki dan Keiki mengatakan pernah bertemu dengan Nakachi di Minangkabau delapan tahun lalu.” Barid menaruh kedua tangan di meja. Otaknya mencoba mengingat pesan yang dikirimkan Neo melalui surel.

“Keiki? Nakachi?” Ascal menatap bingung. Sedetik kemudian kedua matanya membulat. “Nakachi asisten Faryl?!”

Barid mengangguk.

“Benar. Nakachi asisten Faryl. Faryl suami Hima. Hima kakak angkat Maru.”

Ascal terdiam saat Barid menyebut nama Maru. Ada gejolak di dalam dirinya.

“Lalu Keiki?”

“Keiki adalah sepupu Nakachi. Keiki Takehiro.”

“Keiki Takehiro? Sepertinya tidak asing.” Ascal bersandar.

“Kalau kau ingat nahkoda muda yang melemparimu dengan ikan kerapu,” kata Barid sambil menahan tawa.

Ascal melebarkan mata.

“Oh, Hiro? Si sipit berambut jambul itu?” tanya Ascal memastikan.

Barid mengangguk.

“Aku tidak akan melupakan anak itu dan perbuatannya. Bisa-bisanya dia membuatku pulang dengan badan bau anyir ikan,” lanjut Ascal dengan nada kesal.

Barid melepaskan tawa.

“Lantas?” Raut muka Ascal kembali serius.

Puas tertawa, Barid menjawab, “Di sana, Nakachi bercerita pada Keiki kalau dia pernah bertemu Hao Yi dan Maru di Bandung dua tahun sebelumnya dan saat itu Hao Yi memberitahu bahwa dia dan Maru tinggal di Argapura.”

“Lalu?” Jelas sekali Ascal tidak sabar mendengar lanjutannya.

“Saat Neo melakukan penelusuran, dia mendapati Hao Yi dan Maru sudah pindah.” Barid menarik napas. “Hanya itu saja.”

“Itu sudah sangat lama.” Ascal beranjak, berjalan ke lemari kaca tempat buku-bukunya tersimpan. Ruang kerjanya adalah ruangan kedap suara. Namun, itu tidak begitu berarti bagi Ascal yang pendengarannya terlampau tajam.

Ascal berbalik, menatap Barid hangat. “Terima kasih, Paman.”

Derit kursi terdengar. Barid menghampiri Ascal, menepuk pundaknya.

“Ada banyak orang yang membutuhkanmu. Percayalah ... keyakinan Hao Yi dan Maru bukanlah omong kosong. Tegarkan pundakmu, Ascal. Kau pasti akan menang. Kau harus percaya itu, As. Kau pasti bisa!”

Ascal bergeming.

“Dan jangan abaikan keluargamu!” kata Barid lagi. Kakinya berderap. Beberapa langkah dari pintu, ia berhenti dan berbalik. “Kau tahu bagaimana perasaan Jill dan kau pernah menjadi seorang anak kecil, bukan?”

Tidak ada sahutan. Ascal membisu. Ia antar Barid keluar sampai menghilang di balik gerbang.

Kembali ke ruang kerja, Ascal hampiri lemari buku. Termenung ia menatap deretan buku yang rapi. Segar dalam ingatan tentang bagaimana dulu rak itu seringkali berantakan karena ulahnya.

Tiap malam, Ascal di masa lalu akan datang untuk mencari satu buku, membacanya sampai habis malam itu juga. Besoknya, ia akan menceritakan apa yang ia baca pada seorang gadis berambut hitam panjang nan lurus, berkulit sewarna batu pualam, dimpel menghias kedua pipinya. Wajahnya terlihat sangat manis dan menggemaskan saat tersenyum menurut Ascal. Salah satu pemandangan terfavorit Ascal.

Sebuah burung merpati putih datang mengetuk jendela kecil di samping atas lemari. Ascal membuka jendelanya, menangkap sang burung. Terlihat sebuah bambu kecil terikat di kakinya. Ascal melepaskan ikatan itu, kemudian melepaskan burung yang langsung terbang ke luar. Jendela ia tutup dan kunci.

Di dalam bambu terdapat sebuah gulungan kertas. Saat gulungan kertas dibuka, terpampang satu baris kalimat yang ditulis dengan aksara sandi. Ascal meremas kertas itu, mengambil korek api, membakar kertasnya sampai tidak bersisa.

“Makin menjadi saja mereka,” gumam Ascal lirih. Memerah wajahnya. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jeruji Tanah Anarki   103. Hutan seribu warna

    “Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P

  • Jeruji Tanah Anarki   102. Markas naga hibrid

    Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d

  • Jeruji Tanah Anarki   101. Monokrom

    Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan

  • Jeruji Tanah Anarki   100. Ancaman Jillian

    Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto

  • Jeruji Tanah Anarki   99. Jawaban Bailey

    Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.

  • Jeruji Tanah Anarki   98. Pertanyaan Otto dan Milo

    “Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca

  • Jeruji Tanah Anarki   97. Temui aku di perpustakaan

    “Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela

  • Jeruji Tanah Anarki   96. Keluarga yang sempurna

    “Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara

  • Jeruji Tanah Anarki   95. Kaca keyakinan

    “Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status