Short
Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam

Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam

Oleh:  BagelTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
11Bab
79Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Hari ketika aku memutuskan untuk mendonorkan tubuhku untuk kajian ilmiah, keluargaku justru berkumpul mengelilingi adik angkatku, Halida, merayakan diterimanya dia dalam sebuah program perawatan eksperimental paling canggih. Seharusnya akulah yang menderita kanker otak. Tapi Halida menggunakan posisi suamiku, Zafran, di rumah sakit untuk menukar catatan medisnya yang sehat dengan diagnosis terminalku, merebut satu-satunya kesempatan yang kupunya untuk bertahan hidup. Dan bagian terburuknya, semua orang bersorak mendukungnya. Rasanya sakit sekali. Aku berusaha tetap kuat, sampai tanpa sengaja mendengar para perawat berbisik, "Bagus sekali Dokter Zafran bisa mengamankan tempat itu untuk Halida. Mereka bilang dia hanya punya tiga hari lagi." Jadi, dalam 72 jam terakhir hidupku, aku perlahan melepaskan segalanya. Ketika aku memberikan naskah asli novel-novelku yang sudah kutuang seluruh hati dan jiwaku kepada Halida, ayah dan saudaraku menatapku dengan senyum puas. Ketika Zafran memutuskan untuk memenuhi permintaan terakhir Halida dengan menikahinya, dia menyerahkan surat cerai padaku. Aku menandatanganinya tanpa ragu sedikit pun. Dia menghela napas dan memuji aku karena akhirnya bisa berpikir begitu rasional. Dan ketika akulah yang membujuk putri kami, Olivia untuk memanggil Halida Ibu, Olivia justru berseri-seri mengatakan bahwa ibu barunya adalah yang terbaik. "Jangan khawatir." Zafran menenangkanku. "Kami hanya menjaganya untuk sementara. Setelah dia tiada, semuanya akan kembali padamu." Aku memberikan pada Halida segalanya yang kupunya, persis seperti yang mereka mau. Lalu kenapa, ketika mereka akhirnya tahu semua ini hanyalah kebohongan kejam Halida, mereka datang padaku sambil menangis, berkata akulah yang mereka inginkan sejak awal?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Tubuhku seperti hancur perlahan, rasa sakitnya ada di mana-mana sekaligus tak bisa kutunjuk.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil keluar sisa terakhir obat penghilang rasa sakit dari tas kecilku.

Tiga hari untuk hidup. Bagus. Harusnya cukup.

Pil itu larut di bawah lidahku, memberiku secuil kekuatan. Aku memanggil taksi menuju vila pinggir laut.

Begitu kudorong pintu dan masuk, aku tertegun. Halida sedang berbaring di sofa putih ruang tamu. Ayah duduk di sampingnya mengupas apel, sementara kakakku merapikan bantalnya.

Aku berdiri di ambang pintu, tiba-tiba sadar betapa asingnya posisiku di rumah ini.

Saat itu juga, ponselku berdering. Pusat donasi menelepon untuk mengonfirmasi pengaturan. Zafran yang mendengar ikut menoleh, keningnya berkerut.

"Donor organ? Untuk siapa?"

Aku memaksakan senyum lemah dan getir. "Untuk aku."

Kata-kata itu belum selesai keluar sepenuhnya, ketika tawa kering penuh ejekan memotong udara. Itu suara kakakku, Adrian.

"Clara, kamu sudah selesai berpura-pura jadi korban?"

"Kalau kamu mau terus berpura-pura begini, seharusnya kamu tidak usah pulang sama sekali."

Ayah menatapku dingin lalu melemparkan sapu ke kakiku.

"Jangan membongkar aib keluarga di depan orang lain," katanya tajam. "Entah dari mana sifat dengki ini muncul, sejak kecil kamu iri sama Halida. Dan sekarang? Masih tega melawan dia demi tempat di uji klinis yang bisa menyelamatkan nyawanya?"

"Kalau kamu masih punya tenaga untuk pura-pura sakit, berarti kamu juga punya tenaga untuk melakukan hal berguna. Sapu lantai sana."

"Apa dosaku hingga punya adik seperti kamu?" Kakakku mencibir sambil menunjukku. "Harusnya kamu pergi bersama Ibu dulu waktu ada kesempatan."

Halida sambil berpura-pura lemah, sempat melemparkan senyum mengejek penuh kemenangan tepat ketika ayah dan kakakku memalingkan muka.

Aku hanya menundukkan kepala tak mengatakan apa pun.

Aku sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. Dari ayah dan kakakku sejak kecil, dan kemudian dari Zafran.

Di mata mereka, akulah yang cemburu, akulah yang kejam.

Kali ini, Zafran bahkan sampai membawa Halida ke sini, ke vila pinggir laut tempat kisah cinta kami dulu dimulai.

Aku yang dulu pasti sudah menangis histeris. Aku akan berteriak, berusaha membuka topeng Halida di depan semua orang.

Meski sebenarnya tidak ada satu pun yang pernah percaya dengan kata-kataku.

Tapi sekarang, aku sudah tidak punya tenaga lagi. Lagi pula, bagi seorang wanita yang sekarat, semua itu sudah tidak ada artinya.

"Tapi karena kamu di sini, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan," kata ayahku.

Aku tersenyum getir. "Ayah, aku juga punya sesuatu untuk disampaikan."

"Halida mau hak penerbitanku, kan? Aku sudah pikirkan. Akan kuberi padanya."

Ayah dan kakakku menatapku kaget.

Tepat saat itu Zafran masuk, tertegun mendengar kata-kataku. "Clara, kamu serius? Kamu benar-benar setuju dengan ini?"

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

Aku bisa mengerti kenapa mereka begitu terkejut dan terus-menerus bertanya.

Halida sudah lama menginginkan hak penerbitanku. Ayah dan kakakku sudah mencoba segala cara, membujuk, mengancam, supaya aku menyerahkan bisnis yang susah payah kubangun.

Lebih tepatnya, mereka selalu berharap aku menyerahkan semua milikku kepada adik tersayangku, Halida, tanpa imbalan apa pun.

Tapi novel-novel itu adalah sesuatu yang sudah kucurahkan darah, keringat, dan air mata bersama ibuku, dan aku tidak pernah goyah, apa pun yang mereka katakan.

Sekarang semuanya tidak lagi penting.

Yang tersisa hanya rasa bersalah karena aku telah mengecewakan Ibu.

Melihat aku sungguh-sungguh, kerutan di kening Zafran mengendur. Dia melangkah mendekat lalu memelukku. "Luar biasa, Clara!"

"Terima kasih sudah melakukan ini untuk Halida."

"Meskipun dia masih dalam perawatan, aku tahu dia akan mengelolanya dengan baik."

Aku melepaskan diri dari pelukannya dan menyerahkan surat perjanjian pengalihan pada Halida.

Setelah Halida menandatanganinya, ayah dan kakakku berseri-seri, menggenggam tanganku dan terus memujiku sebagai anak yang baik.

Aku diliputi oleh rasa tak masuk akal.

Suamiku, ayahku, dan kakakku, orang-orang yang paling kucintai hanya mau tersenyum padaku ketika aku menyerahkan segalanya pada Halida.

Tapi aku juga penasaran. Nanti, ketika mereka akhirnya melihat siapa Halida sebenarnya, dan ketika mereka sadar akulah yang benar-benar sudah tiada... apakah mereka akan menyesal?

Obatnya sudah tidak mampu menahan sakit itu lagi, dan keringat dingin mulai membasahi dahiku.

Aku berbalik dan masuk ke kamar tidur.

Saat terbangun, putriku, Olivia sudah pulang dari sekolah. Dia duduk diam di samping ayahnya di ruang tamu.

Tubuhku yang sudah tinggal kulit dan tulang membuat langkahku tak bersuara di lantai. Mereka begitu asyik sampai tidak menyadari kehadiranku.

Zafran sedang melakukan panggilan video dengan Halida, menjelaskan beberapa tindakan pencegahan operasi dan detail medis terkait. Olivia mendengarkan dengan serius di sisinya, matanya fokus dan patuh.

"Sebelum operasi, jangan coba-coba makan tengah malam atau minum apa pun, ya? Kamu harus benar-benar kosong supaya operasinya berjalan maksimal. Kuharap kamu dalam kondisi terbaik."

Ironis sekali. Aku sudah hampir mati, dan baru sekarang aku melihat sisi suamiku yang sabar dan penuh perhatian pada seorang pasien.

Aku teringat dulu pernah sekali meminta dia berbagi pengetahuan medis profesional untuk sebuah detail di novel baruku.

Dan apa yang dia katakan waktu itu?

"Clara, novel cengeng yang kamu tulis itu tidak butuh akurasi ilmiah sampai segitunya." Dia bahkan tidak menoleh dari pekerjaannya.

Dia tidak pernah membaca satu kata pun dari tulisanku, selalu menyepelekannya sebagai hobi yang tidak berharga.

Awalnya, aku berusaha tidak terlalu memikirkannya. Aku bilang pada diriku sendiri, aku hanya perlu percaya pada karyaku.

Tapi kemudian tibalah hari ketika aku melihat Olivia berdiri di atas tumpukan bukuku yang sudah diterbitkan, berusaha meraih sebuah kotak musik di rak yang tinggi. "Aku mengambilnya untuk Tante Halida," katanya dengan polos.

Saat itu, rasa tidak berharganya begitu menghancurkan.

Aku sudah mencurahkan hati dan jiwaku untuk keluarga ini, tapi tidak mendapat secuil pun rasa hormat.

Dulu mungkin aku akan jadi histeris, tapi sekarang, aku hanya berjalan tenang melewati mereka dan duduk di sofa, merapikan berkas-berkas di tasku.

Melihat aku diam saja, Zafran berhenti bicara. Dia terhenti sejenak, lalu berjalan mendekat.

"Clara, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu hari ini."

Zafran mengusap hidungnya, itu kebiasaannya kalau gugup. DIa ragu-ragu sebelum bicara.

"Ini tentang adikmu, Halida."

Jantungku langsung merosot, firasat buruk menusukku.

Dan detik berikutnya, kata-kata Zafran membuatku terpaku.

"Beberapa hari terakhir Halida sangat rapuh. Ayah dan kakakmu berpikir... yah, mereka berharap aku menikahinya. Untuk mewujudkan keinginannya jadi seorang pengantin sebelum ajal."

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
11 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status