共有

Bab 4

作者: Bagel
Hal pertama yang kulihat saat aku terbangun adalah langit-langit yang penuh noda air.

Udara terasa pekat dengan bau disinfektan yang menusuk.

Aku melirik jam di dinding.

Enam jam lagi sebelum aku mati.

"Clara? Clara, Sayang, kamu bisa dengar aku?"

Sebuah suara, begitu akrab namun terasa jauh menarikku kembali dari kegelapan.

Aku berusaha memutar kepala, dan pandanganku jatuh pada wajah yang tak pernah aku sangka bisa kulihat lagi.

Itu ibuku.

Wajahnya tampak lelah karena perjalanan, matanya merah berair saat ia menggenggam tanganku yang dingin seperti es.

Orang tuaku bercerai sejak aku kecil. Ibu adalah seorang ilmuwan brilian dan sebuah proyek super rahasia membawanya pergi untuk waktu yang terasa seperti selamanya.

Dia ingin membawaku bersamanya.

Tapi di hari ketika ia seharusnya pergi, ayah dan kakakku memelukku erat sambil menangis, memohon agar aku tidak ikut, bersikeras bahwa keluarga kami tidak akan bertahan tanpaku.

Hatiku hancur melihat mereka, jadi aku memilih untuk tinggal.

Sejak hari itu, kenangan tentang ibuku terasa seperti kehampaan yang menusuk di dadaku, sebuah kerinduan yang terus-menerus. Sangat menyakitkan.

Dialah satu-satunya orang di dunia yang pernah benar-benar mencintaiku.

Aku tahu seharusnya aku tidak menariknya keluar dari fase paling krusial dalam pekerjaannya, tapi aku sudah tidak punya siapa pun lagi.

"Astaga, Clara! Bagaimana kamu bisa membiarkan ini terjadi?"

Suara ibu bergetar, sarat dengan amarah yang panasnya seakan bisa membakar. "Bajingan itu, Zafran dan ayahmu serta kakakmu yang tolol! Bagaimana mereka bisa membiarkan ini menimpamu?"

"Bukankah kalian selalu pamer hidup sempurna di Instagram? Dan sekarang dokter bilang kamu sekarat? Apa-apaan ini?"

Aku mengerjap lemah, gelombang kesedihan dalam menyapu diriku. Dia benar. Aku bertahan demi mereka, dan mereka menyeretku langsung ke neraka.

Tenggorokanku terlalu perih untuk bersuara. Dengan sisa tenaga yang ada, aku hanya menggerakkan mata ke arah meja kecil di samping ranjang.

Ibu langsung mengerti. Dia membuka tas tanganku dan setelah mencari sebentar, lalu menemukan dokumen hukum itu.

Wajahnya membeku saat membaca lembar-lembar itu. Dengan hati-hati dia menyimpannya kembali, sementara kesedihan di matanya tampak seperti badai yang siap meledak.

Tiga jam tersisa.

Aku sudah menolak semua tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa.

Ibu mengangkat ponselku. Sebuah pesan baru dari Halida muncul di layar.

Dalam foto itu, Halida sedang bersandar manja di pelukan Zafran, sementara putriku, ayah, dan kakakku berdiri di samping mereka.

Itu potret keluarga profesional, dan semuanya tersenyum bahagia.

Di bawah foto itu ada deretan pesan:

[Menyerahlah, Clara. Semua yang kamu miliki sekarang sudah jadi milikku. Hak penerbitanmu, studiomu, suamimu, putrimu. Bahkan keluargamu. Aku juga punya laporan patologi milikmu. Wkwkwk. Sekarang kamu bisa mati dengan tenang! :)]

Membaca pesan itu, seluruh tubuh ibu mulai bergetar karena marah.

Ia menggigit bibirnya menahan tangis, genggamannya di tanganku menguat seakan hendak menuangkan seluruh hidupnya padaku.

Aku tertawa kering, getir, lalu terhenti di tenggorokan.

Aku hanya punya dua penyesalan dalam hidup, tidak ikut pergi bersama ibuku, dan memperkenalkan Halida pada keluargaku.

Aku pertama kali bertemu Halida di sebuah konferensi penulis muda. Dia baru saja ketahuan melakukan plagiarisme, dan semua orang mengucilkannya.

Saat dia melewati meja kami, aku mendengar seseorang berbisik, "Itu dia. Si tukang jiplak."

Seorang penulis lain terkekeh. "Tidak disangka dia masih berani muncul."

Tak lama kemudian, kulihat beberapa penulis senior menghadangnya di dekat meja kopi. "Jadi, kali ini kamu mau menjiplak karya siapa untuk mahakaryamu berikutnya?" Salah satunya menyindir.

Saat itu, aku sudah mulai mendapat perhatian karena novel debutku, jadi ketika aku ikut campur, orang-orang langsung diam. "Cukup," kataku, suaraku lebih tajam dari yang kupikirkan.

"Apa pun salahnya, kalian tetap tidak berhak berlaku seperti kawanan serigala yang mengincar mangsa."

Aku membelikannya kopi setelah itu, dan dia pun menangis, mengaku kalau dia melakukannya hanya karena keluarganya bangkrut dan dia benar-benar butuh uang dari lomba itu.

Aku bisa merasakannya. Aku pun mulai membantunya dengan uang, dan setelah membaca beberapa karya aslinya, aku melihat secercah bakat.

Bukan jenius, tapi juga bukan sampah. Aku memberinya catatan, mengenalkannya pada agensiku.

Sejak saat itu, aku adalah satu-satunya temannya.

Aku mengenalkannya pada keluargaku. Aku mengundangnya makan malam di rumah.

Dia selalu terlihat begitu pemalu dan manis, terus berbisik, "Terima kasih, Clara."

Aku merasa bangga setiap kali ada orang memuji sejauh mana dia sudah berkembang.

Lalu, perlahan, ada sesuatu yang mulai terasa... tidak beres.

Teman-temanku mulai menjauh dariku, tiba-tiba memperlakukan Halida seperti sahabat baru mereka.

Anak-anak lelaki yang dulu naksir padaku mendadak berubah dingin, sibuk memuja Halida.

Bahkan ayah dan kakakku semakin sering mengundangnya ke rumah, sampai akhirnya memberinya kamar sendiri di rumah kami.

Dan aku begitu bodoh karena mengira itu hal yang baik.

Aku pikir Halida akhirnya benar-benar jadi bagian dari hidupku, bahwa kami bisa menjadi seperti saudara sungguhan.

Sampai hari itu, ketika aku mendengarnya berbicara di telepon dengan tawa sinis yang menusuk telinga.

"Kamu sama sekali tidak tahu..." Dia terkekeh. "Clara yang bodoh itu benar-benar percaya aku berterima kasih padanya."

"Dia sok menasihatiku tentang menemukan gayaku sendiri, seolah-olah ceritanya yang remeh itu bisa disebut karya seni tingkat tinggi."

"Tunggu saja. Aku tidak hanya akan jadi penulis yang lebih baik darinya. Aku akan merebut agennya, penerbitnya, para penggemarnya, semuanya. Aku akan mengambil hidupnya dan menjalaninya lebih baik daripada dia."

Aku berdiri membeku di luar pintunya, merasakan dingin merayap di tulang belakangku.

Saat itu aku mengerti. Persahabatan yang dengan hati-hati kubangun, kebaikan yang kubanggakan, semua hanyalah lelucon baginya.

Aku pikir aku bisa mengusir Halida.

Aku pikir aku bisa membuat keluargaku dan Zafran melihat siapa dia sebenarnya.

Tapi aku terlalu naif.

Aku meremehkan kelicikan Halida. Aku sama sekali tidak menyadari betapa dalamnya Zafran, ayahku, kakakku, bahkan putriku, Olivia, telah terperangkap oleh pesonanya.

Aku benar-benar kalah.

Sembilan menit sebelum aku mati.

Kesadaranku merosot, pandanganku berangsur kabur di sekelilingku.

Tapi aku masih bisa melihat layar ponselku di tangan Ibu. Pesan-pesan baru dari Ayah terus bermunculan. Jelas dia sama sekali tidak tahu kalau Ibu ada di sini, atau kalau aku sedang sekarat.

[Clara, kami mengecat ulang kamarmu jadi pink. Itu warna favorit Halida! Lalu, Halida ingin ganti ke keyboard yang lebih nyaman untuk mengetik, jadi kami berikan punyamu. Toh kamu sudah tidak memakainya lagi, kan?]

Bahkan di ranjang kematianku, yang ayah dan kakakku pikirkan hanyalah membuat Halida bahagia.

Bagi mereka, aku bukan lagi seorang anak perempuan atau seorang saudara.

Hanya penghalang bagi kebahagiaan Halida, sebuah sumber yang bisa dikuras habis untuk keuntungan dirinya.

Barulah saat itu aku benar-benar mengerti betapa bodohnya aku.

Aku menyerahkan satu-satunya orang di dunia yang benar-benar mencintaiku, hanya demi keluarga yang sudah busuk sampai ke akarnya.

Samar-samar aku mendengar suara ibuku di telinga, menjerit memanggil namaku. Dia selalu begitu kuat, tapi sekarang dia terisak seperti anak kecil.

Tidak ada gunanya. Kata-kata itu hanya terdengar seperti kebisingan. Aku tidak bisa menangkap artinya.

Beberapa tahun terakhir ini... aku sudah begitu, begitu lelah.

Tapi menggenggam tangan Ibu di detik-detik terakhirku... setidaknya aku masih punya ibuku.

Akhirnya... aku bisa beristirahat dengan tenang...

[26 Januari]

[Sertifikat kematian diterbitkan: Klinik Bainbridge Island.]

[Nama: Clara Kusuma]

[Usia: 29 tahun]

Kali ini, aku akhirnya hanya menjadi putri ibuku, bukan istri atau ibu dari siapapun.

Aku menciptakan kisah dengan akhir yang bahagia untuk tokoh-tokohku, sesuatu yang tak pernah kualami dalam hidupku sendiri.

Tapi pada akhirnya, sama seperti mereka, aku menemukan kebebasanku.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 11

    Setelah semuanya selesai, Zafran pulang dari kerja ke apartemen yang sepi dan terjatuh ke sofa kulit.Foto Clara terletak di atas meja kopi.Zafran menatap diam pada foto itu. Di dalam bingkai, dia tersenyum lembut, matanya jernih dan bersinar.Begitulah penampilannya saat pertama kali mereka bertemu.Tapi kini, rasanya seperti berada di kehidupan lain, seolah dia hanya pernah mengenal cintanya di kehidupan lain.Dia tidak pantas mendapatkan cinta seindah itu. Tidak di kehidupan ini.Zafran menutup matanya. Rasa sakit kehilangan Clara baru mulai merobek hatinya secara nyata.Kebenaran itu seperti pisau, mengiris jiwanya.Akhirnya dia memahami arti penyesalan.Pintu terbuka. Olivia masuk.Dia baru pulang dari sekolah dan langsung melihat foto Clara di meja.Air mata segera menggenang di matanya."Ayah, apakah Ibu benar-benar sudah meninggal?" Suara Olivia gemetar.Zafran menatap mata putrinya yang bengkak, hatinya terasa mencekat di dada."Olivia... ya. Ibu sudah pergi.""Tapi aku tidak

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 10

    Ayahnya Clara menatap bukti di atas meja, tangannya gemetar.Teks hitam putih itu tampak kabur di matanya, setiap kata seperti tikaman baru rasa bersalah.Halida telah merencanakan setiap langkah, dan setiap air mata hanyalah akting.Dan dia, sang ayah secara pribadi mendorong putrinya sendiri ke jurang.Dia bahkan tidak hadir di saat-saat terakhir Clara.Sial! Semua ini sialan!Ketenangannya hancur. Ia melonjak berdiri, tapi segera ambruk kembali ke kursinya.Dia menutup wajahnya, bahunya bergetar hebat saat mengeluarkan isakan tersedak, seputus asa seperti anak yang kehilangan segalanya.Zafran menatap kosong wasiat di tangannya.Tidak ada sebutan dirinya maupun putri mereka, Olivia.Hanya tertulis bahwa semua aset Clara akan disumbangkan untuk amal.Jelas Clara tidak pernah memaafkannya.Seberapa putus asanya dia di akhir, sampai tidak menyebut dirinya maupun Olivia?Halida berdiri terpaku, tubuhnya dingin seperti es, jantungnya berdetak kencang di dada.Tamatlah semua.Setiap keboh

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 9

    Selama tiga hari yang sunyi, Zafran mengurung diri di ruang kerjanya, membaca ulang laporan medis Clara berulang kali.Olivia mondar-mandir di depan pintu, ingin mengetuk tapi terlalu takut.Dia memang masih muda, tapi bisa merasakan suasana rumah sudah berubah.Dan dia tahu perubahan itu ada hubungannya dengan ibunya.Tapi Olivia menolak mempercayainya. Lukisannya yang memenangkan penghargaan masih ada di atas meja, menunggu pujian dari ibunya...Olivia memeluk lutut duduk di lantai depan pintu. Air mata menggenang di matanya, tapi dia tak berani membiarkannya jatuh.Yang bisa dia lakukan hanya mendengarkan suara-suara Zafran menghancurkan barang di dalam.Saat Zafran merobek laporan terakhir menjadi potongan-potongan, bel pintu berbunyi. Seorang wanita dalam setelan rapi berdiri di depan pintu.Dia mengintip lewat lubang intip, berniat mengabaikannya, tapi bel itu terus berbunyi tak kenal henti.Dengan kesal, Zafran membuka pintu. Wanita itu berwajah serius, membawa sebuah tas kerja.

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 8

    Zafran berdiri terpaku, tubuhnya seolah membeku tak bisa bergerak.Akta kematian?Zafran langsung meraih kerah seragam Martin."Kamu yakin tidak salah? Apa maksudmu, akta kematian?"Martin tampak terkejut."Tidak ada kesalahan. Semua dokumennya ada di sini.""Zafran, kematian istrimu sudah didaftarkan di Pulau Cendrawasih empat hari lalu. Prosesnya sudah selesai.""Dan istrimu punya pengacara. Dialah yang mengurus semua berkasnya."Istrinya yang baru saja berdiri di depannya beberapa hari lalu, sekarang... dinyatakan sudah mati?Kaki Zafran kehilangan tenaga, ia terjatuh di kursi yang keras dan dingin.Butuh waktu lama bagi ayah Clara untuk mencerna kata-kata itu.Jadi ponsel Clara bukan sekadar dimatikan. Dia benar-benar... sudah pergi?Adrian mencengkeram lengan Martin."Pak polisi, apakah adikku dibunuh? Apa kalian sudah menangkap pelakunya?"Martin menggeleng."Laporan menyebutkan penyebabnya kanker otak stadium akhir. Pengacaranya tidak banyak bicara, hanya mengatakan kalau dia ak

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 7

    Ayah Clara duduk terkulai di sofa kulit, matanya menatap kosong ke depan.Putranya, Adrian harus memanggil namanya beberapa kali sampai dia kembali ke kenyataan."Ayah lagi mikirin apa?" Suara Adrian terdengar berat oleh kelelahan.Ayahnya tersentak. "Ada kabar dari Clara?"Adrian menggeleng. "Masih tidak aktif. Sudah empat hari.""Ini bukan seperti sifatnya."Jari-jari ayahnya mengetuk gelisah di sandaran sofa.Hari ketika Clara menandatangani surat pemindahan dan menyiapkan kamar Olivia, dia langsung menghilang.Tidak ada salam perpisahan, tidak ada penjelasan.Dia begitu saja lenyap.Clara yang dulu tidak akan pernah melakukan itu. Dia mungkin marah, mungkin mendiamkan mereka, tapi dia tidak akan pernah benar-benar menghilang.Kecuali... sesuatu telah terjadi padanya.Ayahnya tiba-tiba duduk tegak. "Sudah berapa lama tepatnya Clara pergi?"Adrian mengusap pelipisnya. "Empat hari. Empat hari penuh."Rasa cemas yang mencekik makin kuat di dada ayahnya.Keesokan paginya, sang ayah lang

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 6

    Wajahnya dipenuhi amarah saat dia mencoba menelepon Clara.Ponselnya berdering terus, tapi tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, panggilan itu masuk ke pesan suara."Sialan, sialan!" teriak Halida, kehilangan kendali tepat di trotoar itu.Dia selalu menganggap Clara lemah dan gampang dipermainkan, tak pernah terbayang kalau wanita itu akan mengkhianatinya di saat yang paling kritis.Apa yang harus dia lakukan? Kalau dia tidak bisa mendapatkan uang itu...Semua bukti kejahatannya akan terbongkar. Saat itu terjadi, semuanya sudah terlambat.Topeng sempurna yang sudah bertahun-tahun dia bangun demi ayah Clara, kakaknya, dan Zafran akan hancur berantakan.Setelah menenangkan diri, dia memesan taksi ke rumah sakit.Dia harus hadir untuk apa yang disebutnya sebagai putaran terakhir kemoterapi.Tak lama kemudian, ayah dan kakak Clara, Adrian, masuk ke ruang rumah sakit.Halida pura-pura tak terjadi apa-apa, menyambut mereka dengan senyum."Papa, Adrian, akhirnya kalian datang!""Halida? Kenapa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status