Share

Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam
Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam
Penulis: Bagel

Bab 1

Penulis: Bagel
Tubuhku seperti hancur perlahan, rasa sakitnya ada di mana-mana sekaligus tak bisa kutunjuk.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil keluar sisa terakhir obat penghilang rasa sakit dari tas kecilku.

Tiga hari untuk hidup. Bagus. Harusnya cukup.

Pil itu larut di bawah lidahku, memberiku secuil kekuatan. Aku memanggil taksi menuju vila pinggir laut.

Begitu kudorong pintu dan masuk, aku tertegun. Halida sedang berbaring di sofa putih ruang tamu. Ayah duduk di sampingnya mengupas apel, sementara kakakku merapikan bantalnya.

Aku berdiri di ambang pintu, tiba-tiba sadar betapa asingnya posisiku di rumah ini.

Saat itu juga, ponselku berdering. Pusat donasi menelepon untuk mengonfirmasi pengaturan. Zafran yang mendengar ikut menoleh, keningnya berkerut.

"Donor organ? Untuk siapa?"

Aku memaksakan senyum lemah dan getir. "Untuk aku."

Kata-kata itu belum selesai keluar sepenuhnya, ketika tawa kering penuh ejekan memotong udara. Itu suara kakakku, Adrian.

"Clara, kamu sudah selesai berpura-pura jadi korban?"

"Kalau kamu mau terus berpura-pura begini, seharusnya kamu tidak usah pulang sama sekali."

Ayah menatapku dingin lalu melemparkan sapu ke kakiku.

"Jangan membongkar aib keluarga di depan orang lain," katanya tajam. "Entah dari mana sifat dengki ini muncul, sejak kecil kamu iri sama Halida. Dan sekarang? Masih tega melawan dia demi tempat di uji klinis yang bisa menyelamatkan nyawanya?"

"Kalau kamu masih punya tenaga untuk pura-pura sakit, berarti kamu juga punya tenaga untuk melakukan hal berguna. Sapu lantai sana."

"Apa dosaku hingga punya adik seperti kamu?" Kakakku mencibir sambil menunjukku. "Harusnya kamu pergi bersama Ibu dulu waktu ada kesempatan."

Halida sambil berpura-pura lemah, sempat melemparkan senyum mengejek penuh kemenangan tepat ketika ayah dan kakakku memalingkan muka.

Aku hanya menundukkan kepala tak mengatakan apa pun.

Aku sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. Dari ayah dan kakakku sejak kecil, dan kemudian dari Zafran.

Di mata mereka, akulah yang cemburu, akulah yang kejam.

Kali ini, Zafran bahkan sampai membawa Halida ke sini, ke vila pinggir laut tempat kisah cinta kami dulu dimulai.

Aku yang dulu pasti sudah menangis histeris. Aku akan berteriak, berusaha membuka topeng Halida di depan semua orang.

Meski sebenarnya tidak ada satu pun yang pernah percaya dengan kata-kataku.

Tapi sekarang, aku sudah tidak punya tenaga lagi. Lagi pula, bagi seorang wanita yang sekarat, semua itu sudah tidak ada artinya.

"Tapi karena kamu di sini, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan," kata ayahku.

Aku tersenyum getir. "Ayah, aku juga punya sesuatu untuk disampaikan."

"Halida mau hak penerbitanku, kan? Aku sudah pikirkan. Akan kuberi padanya."

Ayah dan kakakku menatapku kaget.

Tepat saat itu Zafran masuk, tertegun mendengar kata-kataku. "Clara, kamu serius? Kamu benar-benar setuju dengan ini?"

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

Aku bisa mengerti kenapa mereka begitu terkejut dan terus-menerus bertanya.

Halida sudah lama menginginkan hak penerbitanku. Ayah dan kakakku sudah mencoba segala cara, membujuk, mengancam, supaya aku menyerahkan bisnis yang susah payah kubangun.

Lebih tepatnya, mereka selalu berharap aku menyerahkan semua milikku kepada adik tersayangku, Halida, tanpa imbalan apa pun.

Tapi novel-novel itu adalah sesuatu yang sudah kucurahkan darah, keringat, dan air mata bersama ibuku, dan aku tidak pernah goyah, apa pun yang mereka katakan.

Sekarang semuanya tidak lagi penting.

Yang tersisa hanya rasa bersalah karena aku telah mengecewakan Ibu.

Melihat aku sungguh-sungguh, kerutan di kening Zafran mengendur. Dia melangkah mendekat lalu memelukku. "Luar biasa, Clara!"

"Terima kasih sudah melakukan ini untuk Halida."

"Meskipun dia masih dalam perawatan, aku tahu dia akan mengelolanya dengan baik."

Aku melepaskan diri dari pelukannya dan menyerahkan surat perjanjian pengalihan pada Halida.

Setelah Halida menandatanganinya, ayah dan kakakku berseri-seri, menggenggam tanganku dan terus memujiku sebagai anak yang baik.

Aku diliputi oleh rasa tak masuk akal.

Suamiku, ayahku, dan kakakku, orang-orang yang paling kucintai hanya mau tersenyum padaku ketika aku menyerahkan segalanya pada Halida.

Tapi aku juga penasaran. Nanti, ketika mereka akhirnya melihat siapa Halida sebenarnya, dan ketika mereka sadar akulah yang benar-benar sudah tiada... apakah mereka akan menyesal?

Obatnya sudah tidak mampu menahan sakit itu lagi, dan keringat dingin mulai membasahi dahiku.

Aku berbalik dan masuk ke kamar tidur.

Saat terbangun, putriku, Olivia sudah pulang dari sekolah. Dia duduk diam di samping ayahnya di ruang tamu.

Tubuhku yang sudah tinggal kulit dan tulang membuat langkahku tak bersuara di lantai. Mereka begitu asyik sampai tidak menyadari kehadiranku.

Zafran sedang melakukan panggilan video dengan Halida, menjelaskan beberapa tindakan pencegahan operasi dan detail medis terkait. Olivia mendengarkan dengan serius di sisinya, matanya fokus dan patuh.

"Sebelum operasi, jangan coba-coba makan tengah malam atau minum apa pun, ya? Kamu harus benar-benar kosong supaya operasinya berjalan maksimal. Kuharap kamu dalam kondisi terbaik."

Ironis sekali. Aku sudah hampir mati, dan baru sekarang aku melihat sisi suamiku yang sabar dan penuh perhatian pada seorang pasien.

Aku teringat dulu pernah sekali meminta dia berbagi pengetahuan medis profesional untuk sebuah detail di novel baruku.

Dan apa yang dia katakan waktu itu?

"Clara, novel cengeng yang kamu tulis itu tidak butuh akurasi ilmiah sampai segitunya." Dia bahkan tidak menoleh dari pekerjaannya.

Dia tidak pernah membaca satu kata pun dari tulisanku, selalu menyepelekannya sebagai hobi yang tidak berharga.

Awalnya, aku berusaha tidak terlalu memikirkannya. Aku bilang pada diriku sendiri, aku hanya perlu percaya pada karyaku.

Tapi kemudian tibalah hari ketika aku melihat Olivia berdiri di atas tumpukan bukuku yang sudah diterbitkan, berusaha meraih sebuah kotak musik di rak yang tinggi. "Aku mengambilnya untuk Tante Halida," katanya dengan polos.

Saat itu, rasa tidak berharganya begitu menghancurkan.

Aku sudah mencurahkan hati dan jiwaku untuk keluarga ini, tapi tidak mendapat secuil pun rasa hormat.

Dulu mungkin aku akan jadi histeris, tapi sekarang, aku hanya berjalan tenang melewati mereka dan duduk di sofa, merapikan berkas-berkas di tasku.

Melihat aku diam saja, Zafran berhenti bicara. Dia terhenti sejenak, lalu berjalan mendekat.

"Clara, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu hari ini."

Zafran mengusap hidungnya, itu kebiasaannya kalau gugup. DIa ragu-ragu sebelum bicara.

"Ini tentang adikmu, Halida."

Jantungku langsung merosot, firasat buruk menusukku.

Dan detik berikutnya, kata-kata Zafran membuatku terpaku.

"Beberapa hari terakhir Halida sangat rapuh. Ayah dan kakakmu berpikir... yah, mereka berharap aku menikahinya. Untuk mewujudkan keinginannya jadi seorang pengantin sebelum ajal."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 11

    Setelah semuanya selesai, Zafran pulang dari kerja ke apartemen yang sepi dan terjatuh ke sofa kulit.Foto Clara terletak di atas meja kopi.Zafran menatap diam pada foto itu. Di dalam bingkai, dia tersenyum lembut, matanya jernih dan bersinar.Begitulah penampilannya saat pertama kali mereka bertemu.Tapi kini, rasanya seperti berada di kehidupan lain, seolah dia hanya pernah mengenal cintanya di kehidupan lain.Dia tidak pantas mendapatkan cinta seindah itu. Tidak di kehidupan ini.Zafran menutup matanya. Rasa sakit kehilangan Clara baru mulai merobek hatinya secara nyata.Kebenaran itu seperti pisau, mengiris jiwanya.Akhirnya dia memahami arti penyesalan.Pintu terbuka. Olivia masuk.Dia baru pulang dari sekolah dan langsung melihat foto Clara di meja.Air mata segera menggenang di matanya."Ayah, apakah Ibu benar-benar sudah meninggal?" Suara Olivia gemetar.Zafran menatap mata putrinya yang bengkak, hatinya terasa mencekat di dada."Olivia... ya. Ibu sudah pergi.""Tapi aku tidak

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 10

    Ayahnya Clara menatap bukti di atas meja, tangannya gemetar.Teks hitam putih itu tampak kabur di matanya, setiap kata seperti tikaman baru rasa bersalah.Halida telah merencanakan setiap langkah, dan setiap air mata hanyalah akting.Dan dia, sang ayah secara pribadi mendorong putrinya sendiri ke jurang.Dia bahkan tidak hadir di saat-saat terakhir Clara.Sial! Semua ini sialan!Ketenangannya hancur. Ia melonjak berdiri, tapi segera ambruk kembali ke kursinya.Dia menutup wajahnya, bahunya bergetar hebat saat mengeluarkan isakan tersedak, seputus asa seperti anak yang kehilangan segalanya.Zafran menatap kosong wasiat di tangannya.Tidak ada sebutan dirinya maupun putri mereka, Olivia.Hanya tertulis bahwa semua aset Clara akan disumbangkan untuk amal.Jelas Clara tidak pernah memaafkannya.Seberapa putus asanya dia di akhir, sampai tidak menyebut dirinya maupun Olivia?Halida berdiri terpaku, tubuhnya dingin seperti es, jantungnya berdetak kencang di dada.Tamatlah semua.Setiap keboh

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 9

    Selama tiga hari yang sunyi, Zafran mengurung diri di ruang kerjanya, membaca ulang laporan medis Clara berulang kali.Olivia mondar-mandir di depan pintu, ingin mengetuk tapi terlalu takut.Dia memang masih muda, tapi bisa merasakan suasana rumah sudah berubah.Dan dia tahu perubahan itu ada hubungannya dengan ibunya.Tapi Olivia menolak mempercayainya. Lukisannya yang memenangkan penghargaan masih ada di atas meja, menunggu pujian dari ibunya...Olivia memeluk lutut duduk di lantai depan pintu. Air mata menggenang di matanya, tapi dia tak berani membiarkannya jatuh.Yang bisa dia lakukan hanya mendengarkan suara-suara Zafran menghancurkan barang di dalam.Saat Zafran merobek laporan terakhir menjadi potongan-potongan, bel pintu berbunyi. Seorang wanita dalam setelan rapi berdiri di depan pintu.Dia mengintip lewat lubang intip, berniat mengabaikannya, tapi bel itu terus berbunyi tak kenal henti.Dengan kesal, Zafran membuka pintu. Wanita itu berwajah serius, membawa sebuah tas kerja.

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 8

    Zafran berdiri terpaku, tubuhnya seolah membeku tak bisa bergerak.Akta kematian?Zafran langsung meraih kerah seragam Martin."Kamu yakin tidak salah? Apa maksudmu, akta kematian?"Martin tampak terkejut."Tidak ada kesalahan. Semua dokumennya ada di sini.""Zafran, kematian istrimu sudah didaftarkan di Pulau Cendrawasih empat hari lalu. Prosesnya sudah selesai.""Dan istrimu punya pengacara. Dialah yang mengurus semua berkasnya."Istrinya yang baru saja berdiri di depannya beberapa hari lalu, sekarang... dinyatakan sudah mati?Kaki Zafran kehilangan tenaga, ia terjatuh di kursi yang keras dan dingin.Butuh waktu lama bagi ayah Clara untuk mencerna kata-kata itu.Jadi ponsel Clara bukan sekadar dimatikan. Dia benar-benar... sudah pergi?Adrian mencengkeram lengan Martin."Pak polisi, apakah adikku dibunuh? Apa kalian sudah menangkap pelakunya?"Martin menggeleng."Laporan menyebutkan penyebabnya kanker otak stadium akhir. Pengacaranya tidak banyak bicara, hanya mengatakan kalau dia ak

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 7

    Ayah Clara duduk terkulai di sofa kulit, matanya menatap kosong ke depan.Putranya, Adrian harus memanggil namanya beberapa kali sampai dia kembali ke kenyataan."Ayah lagi mikirin apa?" Suara Adrian terdengar berat oleh kelelahan.Ayahnya tersentak. "Ada kabar dari Clara?"Adrian menggeleng. "Masih tidak aktif. Sudah empat hari.""Ini bukan seperti sifatnya."Jari-jari ayahnya mengetuk gelisah di sandaran sofa.Hari ketika Clara menandatangani surat pemindahan dan menyiapkan kamar Olivia, dia langsung menghilang.Tidak ada salam perpisahan, tidak ada penjelasan.Dia begitu saja lenyap.Clara yang dulu tidak akan pernah melakukan itu. Dia mungkin marah, mungkin mendiamkan mereka, tapi dia tidak akan pernah benar-benar menghilang.Kecuali... sesuatu telah terjadi padanya.Ayahnya tiba-tiba duduk tegak. "Sudah berapa lama tepatnya Clara pergi?"Adrian mengusap pelipisnya. "Empat hari. Empat hari penuh."Rasa cemas yang mencekik makin kuat di dada ayahnya.Keesokan paginya, sang ayah lang

  • Jika Hidupmu Tinggal 72 Jam   Bab 6

    Wajahnya dipenuhi amarah saat dia mencoba menelepon Clara.Ponselnya berdering terus, tapi tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, panggilan itu masuk ke pesan suara."Sialan, sialan!" teriak Halida, kehilangan kendali tepat di trotoar itu.Dia selalu menganggap Clara lemah dan gampang dipermainkan, tak pernah terbayang kalau wanita itu akan mengkhianatinya di saat yang paling kritis.Apa yang harus dia lakukan? Kalau dia tidak bisa mendapatkan uang itu...Semua bukti kejahatannya akan terbongkar. Saat itu terjadi, semuanya sudah terlambat.Topeng sempurna yang sudah bertahun-tahun dia bangun demi ayah Clara, kakaknya, dan Zafran akan hancur berantakan.Setelah menenangkan diri, dia memesan taksi ke rumah sakit.Dia harus hadir untuk apa yang disebutnya sebagai putaran terakhir kemoterapi.Tak lama kemudian, ayah dan kakak Clara, Adrian, masuk ke ruang rumah sakit.Halida pura-pura tak terjadi apa-apa, menyambut mereka dengan senyum."Papa, Adrian, akhirnya kalian datang!""Halida? Kenapa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status