Hari ini tidak ada yang terjadi di sekolah. Biasanya Joy akan menciptakan sebuah masalah dengan mengganggu Zain misalnya. Akan tetapi kali ini justru cewek itu melewati Zain begitu saja.
Prita yakin, Joy merencanakan sesuatu yang besar. Karena tidak mungkin Joy akan diam atau cewek itu sudah merasa menang karena telah membuat nama Prita jadi jelek di depan Delon sehingga Delon jadi membenci Prita dan tidak menyetujui hubungannya dengan Zain.
Saat sudah sampai di halaman rumah, Prita melihat mobil mewah milik Zeno. Ya, pria itu sudah lama tidak mengunjungi Prita.Prita berjalan memasuki rumah. Ia menelisik setiap sudut ruangan. Akan tetapi, keberadaan Zeno justru tidak ada di mana pun. Alhasil Prita memilih untuk beristirahat di kamarnya.
Perlahan Prita mulai menaiki anak tangga menuju kamarnya. Saat sudah sampai pintunya sedikit terbuka.
Ketika hendak masuk, Prita tidak sengaja menemukan Zeno di kamarnya sedang mencari sesuatu di dalam lemari
Prita pulang dengan perasaan gamang, sebab Delon tetap bersikeras akan menjodohkan Zain dengan Joy setelah dirinya lulus dari SMA. Tinggal menghitung Minggu kelas 12 akan melaksanakan ujian akhir, yang artinya sebentar lagi Joy akan bertunangan dengan Zain.Di sepanjang jalan Prita tetap terdiam dengan pikirannya. Ia tak menggubris Zeno yang entah berbicara apa. Saat ini Prita tak bisa menangkap suara di sekelilingnya.Prita menghela napas, ia akan menghubungi Zain di ponselnya. Prita mengetik sebuah pesan pada anak itu.[Zai, gue ada sesuatu yang harus dibicarakan.]Setelah beberapa saat akhirnya Zain membalasnya.[Ketemu di tempat biasa, nanti malam gue kabari lagi,] balas Zain.Prita mengembuskan napas dan menutup ponselnya."Kenapa si, Zai?"Zain mendelik."Gue gak apa-apa, Kak.""Udahlah gak usah terlalu dipikirkan. Masa depan lo masih panjang gak mungkin juga lo bakal langsung nikah sama si Joy," ucap
"Zain tunggu!" teriak Prita, karena Zain terus saja berjalan menjauhi dari Prita. Seharusnya Zain tidak perlu sejarah itu, sebab cowok itu belum sepenuhnya mau mendengarkan penjelasan dari Prita."Zai, lo harus percaya!" teriak Prita untuk yang kesekian kalinya. Ia tidak menyerahkan mengejar langkah Zain sampai akhirnya ia berhasil menghafal pria itu."Gue harus percaya sama lo? Gak!" gertak Zain. Kini wajahnya berdalih ke arah lain. Rasanya tidak sudi harus melihat Prita. Ia benar-benar kesal pada gadis itu, karena sellau menjelek-jelekkan Zeno di depannya. Tentu saja Zain tidak percaya, karena menurutnya dirinyalah yang lebih mengenal siapa Zeno. Prita hanya orang baru yang kebetulan menjadi dekat dengan Zeno. Tidak sepantasnya Prita berkata seperti tadi."Tapi Zai, Zeno itu benar-benar—"Zain mengangkat tangannya di depan Prita agar cewek itu segera berhenti berbicara. Jujur saja Zain sudah muak mendengarnya."Stop! Sekali lagi lo je
Ketika semuanya sedang sibuk berbincang-bincang di ruang tamu. Zain kecil lebih memilih menyendiri di halaman belakang, sibuk dengan pikirannya sendiri.Setelah mendiang ibunya meninggal, Zain memang lebih sering menghabiskan waktu seorang diri. Rasanya ia sudah tidak punya kepercayaan pada siapa pun.Zain melihat layang-layang di atas natabasala sana. Layang-layang itu terbang tinggi. Namun setelah beberapa saat terputus membuatnya jatuh secara perlahan-lahan.Zain menyunggingkan senyuman nya, begitulah hidup, akan ada kalanya di atas—merasa bahagia—berdamai dengan segala keadaan. Dan ada kalanya berada di bawah—dijatuhkan—di tampar oleh kenyataan yang ada.Saat Zain benar-benar terfokus memandang ke depan, seseorang dari belakang secara tiba-tiba membekap mulut Zain dengan tangannya."Hmphh!" ronta Zain.Tubuh Zain langsung dipangku dengan cepat. Zain di masukan ke dalam mobil si pelaku penculikan itu.
NZeno tersentak dan langsung menutup teleponnya. Ia memeriksa sumber suara yang membuat dirinya kaget.Setelah diperiksa tidak ada siapa pun di sana. Akan tetapi ada vas bunga yang telah menjadi pecahan kaca berserakan di lantai.Tak berapa lama seekor kucing berlarian di sekitar ruang tamu.Melihat kucing itu, Zeno jadi bernapas lega."Huft! Gue pikir siapa!" Zeno mengusap dadanya.Ia masuk ke dalam rumah dan duduk kembali dengan sepupunya itu. Zeno melihat Zain sedang asik menonton tivi, itu artinya yang tadi benar-benar kucing."Siapa yang tadi nelepon?" tanya Prita. Untung saja Prita diselamatkan oleh kedatangan seekor kucing di rumah ini. Jadi Zeno tidak akan curiga pada Prita bahwa dirinya sempat menguping saat Zano menerima telepon.Zeno mengalihkan pandangannya ke arah Prita. "Si Pink. Biasalah nanyain gue," jawab Zeno santai.Prita hanya ber oh ria. Ia pura-pura percaya saja. Padahal Prita yakin orang yang ada di
i malam gelap gulita jendela di kamar Prita tiba-tiba terbuka. Terdengar suara angin kencang—menyibak tirai berwarna putih keseluruhan.Prita dalam sekejap langsung terbangun dan menyadari bahwa jendela kamarnya sedang terbuka.Netra Prita beralih pada Jang Beker di sampingnya."Jam dua," kata Prita. Ia beranjak untuk menutup tirai serta jendela kamarnya yang terbuka oleh angin.Pada saat menutup jendela, Prita seperti melihat seseorang di bawah sana."Siapa di bawah?" Suara Prita memanggil orang itu.Set!Pintu kamar Prita tiba-tiba terbuka. Gadis itu secara spontan menoleh ke belakang."Siapa?"Prita berjalan keluar untuk menerima."Kak Zeno?""Bi Yem?"Prita celingak-celinguk, tetapi tidak ada satu batang hidung pun yang nongol.Lagi-lagi Prita dibuat kaget dengan sesosok bayangan hitam yang melintas ke arah dapur."Kak Zeno jangan bercanda!" panggil Prita seraya turun me
Zain sedang memandang ke depan, menyembunyikan wajahnya yang terlihat merah padam. Sebenarnya ia bosan dengan segala hal yang membuat dirinya merasa tidak berguna. Tidak layak untuk hidup di dunia berlama-lama.Prita berjalan sedikit demi sedikit ke arah Zain."Mau masa lalu lo kayak gimana pun, lo gak berhak dicap sebagai manusia rendahan Zai. Semua orang punya kedudukannya di mata Tuhan."Prita berdiri di samping Zain. Pria itu masing enggan menunjukkan wajahnya pada Prita."Gue juga gak minta dilahirkan menjadi anak haram! Gue juga gak minta buat dijadikan pewaris!" sengit Zain berbicara melawan arus angin di hadapannya.Prita menunduk lalu mendongak lagi. Inilah Zain, pria itu sebenarnya telah lama hidup dengan sebuah tekanan.Yang kelihatannya bahagia ternyata tidak selamanya bahagia. Tidak selamanya yang manusia lihat beranggapan 'iya'."Lo tahu siapa yang nyebarin ini?" tanya Prita."Siapa lagi kalo buk
Anak-anak Parpati berkumpul di ruangan di mana Tuan Varos di rawat.Joan sang cucu duduk di sebelah Tuan Varos. Memegang tangan beliau dengan penuh kelembutan.Secara gontai Tuan Varos membuka kelopak matanya."Kakek sudah sadar?" Sebuah senyum terukir dari sudut bibir Joan kala melihat Tuan Varos siuman."Kek, ini Joan? Gimana keadaan kakek? Apa yang kakek rasakan?" tanya Joan beranak-pinak."Aku baik-baik saja cucuku." Bibir Tuan Varos bergetar lirih."Mereka teman-temanku, apa kakek ingat?" tanya Joan untuk sekedar memastikan ingatan beliau, sebab Tuan Varos sudah beranjak usia, bisa saja pikun."Aku ingat, aku masih sadar belum mati." Tuan Varos tertawa."Ada yang kurang satu," kata Tuan Varos melihat teman-teman Joan yang sedang berdiri berjejeran."Di mana Zain?" Akhirnya Tuan Varos meningkat nama itu. Tentu saja karena dulu mereka sangat dekat, sering main catur bersama.Mereka saling memandang satu sama la
"Saya tidak akan membiarkan kamu berhubungan dengan anak itu lagi!" Ketus Delon pada sang putra yang terbilang selalu membangkang."Kau tahu, tadi sore pacarmu mendatangi rumah saya dan membuat keributan di sana. Dia itu anak yang tidak tahu sopan santun, Zai. Tidak jelas bebet dan bobotnya!" sarkasnya membuat kening Prita jadi berkerut.Prita tahu pria di depannya ini sangat membenci dirinya dan Resti, sebab sejak kejadian itu Delon jadi berubah sikapnya.Prita juga tidak minta untuk disukai. Akan tetapi, seharusnya Delon tidak sebegitu marahnya. Karena orang yang Delon benci sedang ada di depannya. Prita mendengar sendiri dan menerima cacian itu langsung di hadapannya."Dia datang ke sana? Untuk apa?" imbuh Prita menyahuti. Zain tidak mengabari Prita jika dia telah membuat keributan di sana. Entah kenapa, dia ia dan Zain benar-benar sudah bertukar hidup."Anak itu memang tidak pernah di ajarkan tata Krama—""Pah, ada apa?