Entin kembali melanjutkan kata-katanya padaku,“Kalian udah pacaran sejak SMA kelas satu. Bahkan sampe kuliah kalian masih bersama, tapi karena kedua orang tua kamu mau menjodohkan kamu dengan orang bandung, anak dari kenalan bapak kamu. Ilyas nyulik kamu pake motor, setelah itu ada kabar kamu masuk rumah sakit karena kecelakaan motor lalu menghilang. Ilyas nggak tanggung jawab, katanya bukan dia yang buat kamu koma. Polisi pun nggak dapet bukti apa-apa. Makanya jangan terima kalo dia ngubungin kamu lagi. Lebih baik kamu sama Rangga aja, dia baik, dia sering nanya-nanya tentang kamu ke aku,” ucap Entin menjelaskan segalanya padaku.
Aku benar-benar bingung, banyak sekali kenyataan yang aku temukan setelah aku sadar. Soal Ilyas pun aku tak ingat apa-apa. Ini aneh, sungguh aneh. Akhinrya aku berdoa, semoga Tuhan kembali memulihkan ingatanku hingga aku bisa hidup tenang dan menjalani semuanya dengan baik tanpa perlu bertanya-tanya lagi tentang diriku sendiri.“TerAku dan Rangga pun duduk di ruang tamu dengan canggung. Lelaki muda itu memang tampan. Kulitnya begitu putih layaknya warna kulit orang-orang Jepang. Wajahnya pun sangat tampan dengan pandangan mata sayu dengan bola mata begitu teduh. Dia pantas untuk menjadi seorang aktor. Rangga menatapku lekat-lekat, ”Kamu beneran nggak inget apa-apa lagi?” tanya Rangga padaku. Aku mengangguk. Bingung dan mengikuti alur hidup yang saat ini aku alami. “Aku sering menungguimu di rumah sakit. Tapi karena aku harus bantu papah ngurus bisnisnya di Bandung, jadi aku nggak bisa jagain kamu setiap hari,” ucap Rangga dengan sedih. Aku menatap wajah lelaki itu lekat-lekat. Dia tersenyum padaku. Lalu aku mendekat dan kedua tanganku kusentuhkan pada kedua pipinya. Dia tampak senang melihat aku melakukan itu. “Pandangi aku sepuasnya, Nayara. Aku tunanganmu, sebentar lagi kita akan menikah,” pinta Rangga padaku dengan tulus. “Apa kamu bene
Rangga mendekat lagi padaku. "Syukurlah..." Lalu dengan tanpa bicara, Rangga mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Lalu tanpa perlawanan kubiarkan bibirnya melumat bibirku. Wajahnya yang benar-benar tampan itu sudah menghipnotisku. Tak berapa lama kemudian kepalaku sakit lagi. Kali ini sakitnya sungguh tak tertahankan. Rangga melepas pelukannya lalu panik melihatku begitu. “Kamu kenapa, Naya?” tanya Rangga panik. “Kepalaku sakit, Rangga,” jawabku. “Kita pulang sekarang,” pinta Rangga dengan panik. Rangga langsung menggendongku dan membawaku ke mobilnya dengan panik. Aku masih berusaha melawan rasa sakit yang mendadak datang di kepalaku itu. Apa aku akan ingat semuanya? Entahlah. Lalu, saat tubuhku digotong Rangga menuju mobilnya, aku seperti kapas, tubuhku rasanya ringan sekali. Lalu lemas. Rangga menangis sesenggukan melihatku yang lemah di gendongannya. “Nayara! Kamu baik-baik aja, kan?
Malamnya, Mas Bimo datang ke rumah sakit tempat aku dirawat. Dia langsung memelukku dengan tangisan. “Terima kasih ya, Allah. Sekarang kamu sudah sadar,” isak Mas Bimo dengan haru. Isabel yang masih menungguku di sana langsung keluar dari kamar rawat inap itu. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku yang ingin tahu semua dari kacamatanya. “Aku nggak tahu, kamu tiba-tiba aja pingsan, lalu kata dokter kamu koma. Semua bingung kenapa kamu bisa seperti itu, saat dokter memeriksa semuanya, mereka bilang nggak ada cedera apapun di otakmu,” jawab Mas Bimo menjelaskan semuanya padaku. Aku diam. Mas Bimo kembali menatapku dengan lekat. “Saat kamu mau pingsan dulu, kamu ingin bilang sesuatu padaku. Kamu masih ingat?” tanya Mas Bimo penasaran. Ya, aku ingat itu. Aku ingin menceritakan akan semua yang sudah aku alami atas jiwaku ini. Tapi hari ini, saat aku terbangun dari koma ini, aku merasa masih bukan waktu ya
Kami pun masuk ke dalam. Aku duduk di sebelah Isabel dengan gugup. Isabel langsung bertanya pada intinya ke lelaki itu. Lelaki yang bernama Ihram itu pun menatap wajahku dengan heran. “Saya pernah mendengar soal ilmu pertukaran jiwa itu. Dan tidak sembarang orang yang bisa menguasainya. Banyak sekali tantangan-tantangan yang harus dihadapi jika mau mendapatkan ilmu itu. Tapi ilmu itu sudah tidak ada lagi yang menggunakannya, itu limu zaman dahulu.” Ucap Ihram pada kami. “Apakah ada cara agar aku nggak bertukar Jiwa lagi?” tanyaku. “Ada, tapi itu sulit,” jawab Ihram pada kami. “Caranya apa?” tanya Isabel heran. “Kamu harus mencari orang yang menguasai ilmu itu, dia bisa menyembuhkanmu dari orang dzolim yang sudah membuatmu bertukar jiwa begini,” jawabnya. Aku dan Isabel saling pandang. Kami tahu itu sulit untuk dilakukan. Aku hanya tahu, si kakek yang menjadi tempat Ilyas bertanyalah, orang satu-satunya yang aku
Aku membuka mata. Kulihat seorang pria berusia beranjak dewasa sedang menangis memegangi tanganku. “Nayara?” panggilnya lirih dan tampak senang melihatku. Astaga. Apakah aku ditubuh kekasihnya Ilyas? Lalu siapa lelaki di hadapanku ini. Aku buru-buru melepas tanganku. Lelaki itu tampak heran. “Kamu hilang ingatan lagi?” tanyanya khawatir. Hilang ingatan? Apakah selama aku tidak sadarkan diri selama ini merasuki tubuh ini karena tubuh Lastri sudah meninggal? Tidak. “Kamu siapa?” tanyaku. Lelaki tampan mirip orang jepang itu tampak heran. “Aku Rangga, tunanganmu.” Jawab lelaki itu. Aku mencoba berdiri namun tubuhku terasa sangat lemas. “Berbaringlah dulu, Nayara. Kamu belum pulih betul,” pinta Rangga. Seketika kulihat sepasang orang tua datang dengan tangis melihatku. “Nayara! Kamu sudah sadar?” tanya perempuan tua itu sambil menangis. Aku diam saja, aku tak tahu siapa mereka.
Setelah itu Rangga pamit padaku dan kedua orang tua untuk kembali ke Bandung. Sementara aku masih gelisah, mencari cara agar aku bisa menguhubungi Isabel, namun sampai hari sudah pagi pun, aku masih belum bisa menghubungi sahabatku itu. Saat sarapan, bapak Nayaranya menyetel televisi, membuka berita pagi. Aku terkejut saat ada berita mengenai seorang perempuan kantoran yang meninggal karena dibunuh oleh pemuda yang tidak dikenal. Pembunuhnya masih sedang diburu polisi. Saat aku tahu namanya Isabel dan foto perempuan itu memang foto Isabel. Aku menganga saking terkejutnya. “Ya tuhan,” liriku. Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku tak percaya sahabat akrabku itu telah tiada di sana. Bapak dan ibu itu mendekatiku dengan heran. “Kamu kenapa, Nay?” tanya ibu itu. “Aku harus ke Jakarta, bu,” jawabku. “Kenapa?” tanya bapak itu dengan heran. Aku pun bangkit dari meja makan lalu pergi dari sana. Bapak dan ibu Nayara mengejarku dengan heran
“Kamu? Kenapa kamu tega membunuh sahabatku?” tanyaku tak percaya. “Itu karena gue nggak mau dia negbongkar pertukuran jiwa kita. Cewek itu ternyata udah tahu banyak soal ini,” jawab tubuhku dengan tegas. “Kenapa kamu jadi jahat begini? Kamu tidak rindu dengan kedua orang tuamu sama tunanganmu?” tanyaku. Tubuhku yang dirasuki Nayara tertawa lagi. “Dia bukan orang tua kandung gue. Gue dipungut dari panti asuhan karena kedua orang tua itu nggak punya anak juga setelah lama menikah,” jawabnya. “Rangga?” tanyaku kemudian. “Gue nggak suka sama dia. Orang tua gue yang suka sama dia,” jawab tubuhku yang dirasuki Nayara itu. “Tolong, biarkan aku masuk dan menjelaskan semuanya pada keluargu,” ucapku memohon. “Kamu mau mati juga kayak Isabel, Lastri, Ilyas dan dukun tua itu?” ancam tubuhku yang dirasuki Nayara itu. Aku terkejut lagi. “Kamu yang bunuh Lastri?” tanyaku dengan mata meng
Setelah aku sampai di kantor Mas Bimo, kejadian sama terulang saat aku berada di kantor papah. Satpam menanyaiku dengan detail. Akhirnya aku diperbolehkan masuk. Kutemui resepsionis dan mengaku padanya kalau aku saudari Mas Bimo. Resepsionis itu langsung menghubungi Mas Bimo dan aku diperboleh pergi ke ruangannya. Aku tenang. Aku harus menceritakan semuanya pada Mas Bimo. Iya, ini sudah waktunya. Pikirku. Sekretaris Mas Bimo menemani aku menuju ruangan Mas Bimo. Mas Bimo heran padaku.“Kamu siapa?” tanya dengan heran. “Aku Indah, Mas.” jawabku sambil meneteskan air mata. Mas Bimo tampak kaget dan tak percaya melihatnya. “Jangan ngada-ngada kamu,” ucap Mas Bimo tegas padaku. “Aku serius, Mas. Selama ini aku sering bertukar jiwa dengan perempuan lain. Dulu aku sering bertukar jiwa dengan Lastri dan sekarang aku bertukar jiwa dengan perempuan yang aku rasuki ini,” ucapku menjelaskan padanya. Mas Bimo tertawa.