Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.
“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.
Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?
Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.
“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.
Mamah dan Papah menangis mendengarnya.
&ldqu
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Aku terbangun sambil merengganggkan otot-ototku. Entah kenapa tubuhku terasa lemas sekali, tidak biasanya aku bagun-bangun begini. Saat aku menoleh ke samping, aku terkejut ketika mendapati seorang lelaki sedang tertidur di sebelahku dengan bertelanjang dada. Bagian bawahnya ditutupi selimut. OH MY GOD! Dia kan Bimo! Tetanggaku yang ganteng dan seksi itu? Kenapa aku tidur dengannya? Dia kan sudah punya istri? Aku pun membuka selimutku, ternyata aku tidak mengenakan sehelai benang pun. ASTAGAAA! Apa yang kulakukan dengannya? Saat aku mengitari sekeliling kamar, aku baru sadar kalau ini bukan kamarku. TIDAAAK! Kenapa aku bisa di sini? Kemana istrinya? Aku melihat ada pakaian perempuan yang berserak di atas lantai, segera aku turun dari atas kasur dengan hati-hati lalu buru-buru meraih pakaian di atas lantai dan buru-buru memakainya dengan hati-hati. Aku harus segera kabur dari sini sebelum istrinya melihatku di sini. Setelah aku selesai memakai pa
Ya, seperti yang aku ceritakan di awal, selanjutnya aku tiba-tiba terbangun dipelukan Mas Bimo, suami tampan dari istri tetanggaku itu. Aku terkejut dan langsung turun dari ranjang. Apa yang kulakukan dengannya? Kuitari pandanganku ke seisi kamar. Ini bukan kamarku. Tak sengaja kulihat wajahku di cermin yang ada di pojok kamar. Betapa kagetnya melihat wajahku berubah menjadi istri dari pria yang masih ngorok di ranjang itu. "Tidak," pikirku. Apakah jiwaku tertukar? Jika benar, di mana tubuhku sekarang? Apakah jiwa asli yang ada dalam tubuh ini telah bersemayam di tubuh asliku? Kenapa ini bisa terjadi? Aku pun langsung keluar dari kamar itu. Aku pun begegas menuju rumahku. Pintu rumah terkunci. Aku menggendor-gedor pintu rumahku sendiri berharap tubuhku ada di dalam sana. "Ada orang di dalam?!" teriakku. Tak lama kemudian Mas Bimo datang, masih menggunakan celana kolor dan bertelanjang dada. "Kamu ngapain ngedor rumah orang sih, Lastri?
Mas Bimo menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Kemudian dia kembali menciumku dengan beringas. Mas Bimo menarik kolornya ke ujung kakinya sambil menciumku hingga dia telanjang bulat. Saat Mas Bimo hendak meloroti pakaianku, aku langsung mendorong tubuh Mas Bimo. "Jangan, Mas?" pintaku dengan degup nafsu yang masih membuncah. Mas Bimo yang sedang duduk di hadapanku, di atas kasur, yang sudah telanjang bulat itu, hingga terlihat jelas sesuatu yang tak pantas aku lihat di tubuhnya. "Kenapa? Aku ini suamimu," ucap Mas Bimo seperti memohon. Bagaimana pun tubuh ini memang tubuh istri Mas Bimo. Sementara jiwanya adalah jiwaku. aku tidak boleh semena-mena terhadap tubuh ini. Meski tubuh ini adalah istri sahnya Mas Bimo, tapi jiwa aslinya sudah tidak ada. Apalagi aku tidak tahu bagaimana kondisi tubuh asliku saat ini. "Jangan sekarang!" pintaku sekali lagi pada Mas Bimo. Aku pun langsung beranjak dari sana dan keluar kamar menuju toilet untuk menj
"Kenapa, Lastri?!" teriak Mas Bimo sambil menggedor pintu kamar. Suara ketukan dalam lemari semakin kencang. Aku pun langsung membuka pintu kamar. Mas Bimo masuk dengan heran. "Kamu kenapa?" tanya Mas Bimo khawatir. "Ada suara aneh dalam lemari, Mas." jawabku dengan cemas. Mas Bimo heran lalu berjalan menuju lemari dan langsung membukanya. "Suara apa? Nggak ada apa-apa kok selain pakaian kita." ucap Mas Bimo dengan heran. Aku pun memeriksa isi lemari, memang tak ada apa-apa. Aku semakin heran. Apakah itu suara arwah Lastri yang kini mengawang? Ah, mungkin ini pikiranku saja yang terlalu banyak menonton film-film fantasy. "Kok, nggak ada? Tadi beneran ada suara loh, Mas." ucapku heran. Mas Bimo menghela napas. "Yaudah tidur saja. Kamu lagi kecapean aja itu," pinta Mas Bimo padaku. "Iya, Mas." jawabku. Mas Bimo pun berjalan keluar kamar. Aku yang masih ketakutan akhirnya memanggilnya. "Mas.
Ilyas masih memegangi kepalaku dan memaksa aku untuk melakukan hal yang terlaknak itu. "Buruan, sayang!" pinta Ilyas padaku,"udah nggak tahan, nih." Aku masih mengunci mulutku dan memejamkan mataku. Aku tak mau melakukan itu. Tak lama kemudian terdengar suara motor. Ilyas melepas tangannya dari kepalaku lalu berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Aku berdiri dengan heran, siapa yang datang itu? Ilyas buru-buru menarik celana jeansnya ke atas dan mengunci gespernya dengan panik. "Suami kamu pulang! Aku harus pergi dari sini," ucap Ilyas dengan panik. Aku lega. Sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi ternyata ada penyelamatnya. Ilyas pun buru-buru berjalan ke arah belakang. Mungkin dia akan keluar melalui pintu belakang. Terdengar suara ketukan pintu. "Lastri!" Itu suara Mas Bimo. Aku pun pergi ke belakang, memastikan Ilyas tidak ada lagi di sana. Ternyata Ilyas sudah pergi. Dia keluar dari pintu belakang. Aku p
Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana. "Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana. "Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran. "Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel. Isabel tampak shock. "Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung. Isabel tampak berpikir. "Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih." Aku menghela napas. "Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek. Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi. "Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi. Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langs
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u