Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel.
"Halo!" sapa Isabel di seberang sana.
"Isabel...," lirihku.
"Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon.
"Iya ini aku."
"Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?"
"Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku.
"Syukurlah kalo kamu udah kembali ke tubuh kamu." Isabel terdengar sangat bersyukur mengucapnya," gimana ceritanya kamu bisa kembali ke tubuh kamu?"
"Nanti aja, nanti aku pasti cerita."
"Yaudah, nanti aku main ke sana."
"Iya. Tolong bilang ke Mas Raka, aku nggak kabur, tapi pulang ke rumah tanpa pamit dan tolong bilangin ke dia, makasih udah jagain aku," pintaku pada Isabel.
"Iya."
Setelah itu kami menyudahi pembicaraan kami ditelepon. Aku pun kembali berpikir bagaimana caranya aku bisa sampai ke sini? Aku keluar dari kamar. Ingin menanyakan semuanya pada keluargaku. Rumahku begitu besar dan luas, dan terdiri dari dua lantai. Ku lihat ke seisi ruangan. Tak kutemukan kedua orang tuaku di sana.
Ya, aku dulu sengaja kabur dari rumah saat kedua orang tuaku hendak menjodohkanku dengan anak pengusaha teman papah. Saat itu aku sedang berpacaran dengan Mas Raka. Karena aku tidak mau dijodohkan, akhirnya aku kabur bersama Mas Raka dan kami pun menikah siri. Tapi seperti yang sudahku ceritakan, ternyata Mas Raka bukan orang baik, kami pun bercerai. Karena malu pulang ke sini, akhirnya aku membeli rumah di kawasan sentul.
Saat aku hendak turun ke lantai bawah, kulihat Mbok Sarinah datang sambil membawa buah buahan yang sudah diiris-irisnya di atas piring.
"Mbok?" sapaku padanya.
"Non mau ke mana? Ini buahnya sudah mbok bawain, katanya mau buah?"
Aku heran, kapan aku meminta buah? Apakah ini ulah Lastri? Tapi jika Lastri yang merasuki tubuhku, bagaimana dia bisa sampai ke sini?
"Papah sama mamah ke mana?" tanyaku balik pada mbok.
"Mereka lagi keluar, non. Ini buahnya gimana?"
"Bawa ke maja makan aja mbok sekalian ada yang mau aku tanyain sama mbok."
Mbok Sarinah mengangguk heran. Aku pun mengajak Mbok Sarinah ngoborol di meja makan untuk menanyakan bagaimana bisa aku sampai ke sana. Aku pun mencari alasan bagaimana caranya agar mbok Sarinah tidak heran dengan pertanyaanku.
"Mbok."
"Iya, Non."
"Aku semenjak koma jadi sering pelupa. Mbok bisa cerita lagi nggak gimana aku bisa ke sini?" Tanyaku berbohong sambil mencicipi buah yang sudah diiris mbok di atas piring.
Mbok Sarinah tampak heran, "pantesan non berubah ketika sudah pulang ke sini."
Aku kaget,"berubah?"
"Iya, non jadi galak dan kayak nggak kenal saya lagi," jawab mbok Sarinah.
Astaga, jangan-jangan memang Lastri yang merasuki tubuhku.
"Terus aku bisa ke sini gimana ceritanya?" tanyaku pada mbok lagi.
"Waktu, tuan dan nyonya mendapat telepon dari den Raka, katanya non koma. Tuan dan nyonya jenguk, setelah beberapa hari mereka sering di rumah sakit, eh pas jenguk ternyata non sudah sadar dan sehat. Yaudah, akhirya tuan dan nyonya membawa non kesini."
Aku pun terdiam. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mau pulang ke Sentul aku takut, khawatir Lastri dan selingkuhannya si Ilyas itu menjahati aku lagi. Apakah aku harus lapor polisi?
"Untung yang buat non koma udah ketangkep polisi," ucap mbok kemudian.
"Polisi?"
"Iya, tuan yang minta polisi untuk segera menangkap perampok yang bikin non koma."
Aku semakin kaget. Aku ingin menelpon Mas Bimo, apakah yang ditangkap polisi itu si Lastri sama Ilyas?
Tanpa pikir panjang, akhirnya aku pergi menuju telepon rumah. Aku pun menghubungi Mas Bimo.
"Halo!" jawab Mas Bimo.
"Mas, ini aku indah."
"Oh iya, kamu sudah sehat?" tanya Mas Bimo seperti tidak terjadi apa-apa.
Akhirnya aku bertanya tentang Lastri.
"Lastri gimana kabarnya?"
"Dia sehat, dia sering khawatir sama kamu. Oh ya, kamu di mana sekarang?"
Aku tercengang. Kalo Lastri sehat berati bukan dia yang ditangkap polisi. Lalu kenapa orang lain yang ditangkap?
"Aku di rumah orang tuaku, salam sama Lastri ya," pintaku.
Aku pun menyudahi telepon itu. Tak lama kemudian papah dan mamah datang. Kutanyakan pada papah soal perampok yang sudah ditangkap itu.
"Waktu itu," ucap papah,"polisi bilang ada lima perampok yang masuk ke rumah kamu. Ada warga, tukang bakso lewat melihat. Mereka membawa barang-barang isi rumah. Tukang bakso itu lapor polisi karena melihat kamu cedera dalam keadaan pingsan. Dibawalah kamu ke rumah sakit."
Papah menghela napas sejenak.
"Kamu beneran sering lupa sekarang? Kita ke dokter ya?" pinta papah khawatir.
"Iya, Indah. Harus diperiksa ke dokter, kalo tidak bisa bahaya," sergah mamah.
"Aku nggak apa-apa kok," ucapku.
Lalu bagaimana dengan Lasrtri dan Ilyas. Apa saat aku pingsan si Ilyas yang membawa Lastri pergi, kemudian perampok datang mencederaiku hingga aku koma? Kalau benar begitu, kenapa Ilyas ketakutan dan mengajak Lastri pergi? Apa karena mereka tidak tahu kalau rumahku dimasuki perampok? pikiranku tiba-tiba ditumbuhi banyak pertanyaan.
"Yaudah, kamu tinggalin rumah itu, jual saja dan pindah ke sini saja," pinta papah.
Aku diam saja.
"Dan kamu berenti saja ditempat kerja kamu kemarin, bantu papah di perusahaan papah aja," pinta mamah.
Dan aku mengangguk. Itu karena aku trauma tinggal di Sentul. Aku tak mau lagi berurusan dengan Lastri dan selingkuhannya. Sementara Mas Bimo? Ah sudah lah, dia sudah punya istri.
*
Malamnya, setelah Isabel pulang dari rumah dan bercerita banyak soal aku yang bisa kembali ke tubuhku ini. Aku tiba-tiba teringat Mas Bimo. Aku tiba-tiba merindukannya. Sedang apa dia sekarang? Apakah sedang bermesraan dengan Lastri? Aku berusaha untuk melupakannya saat ini, tapi kenapa aku tidak bisa? Bagaimana pun, kebersamaanku bersamanya telah membuatku nyaman di dekat Mas Bimo. Aku tahu aku salah, tapi keadaan yang menciptakan rasaku padanya.
Kuraih handphoneku yang kudapat dari Isabel bersama tasku. Isabel mendapatkannya dari Mas Raka. Rupanya Mas Raka yang menjaga benda-benda penting milikku. Aku pun mencoba menghubungi Mas Bimo, tapi sesaat kemudian aku mengurungkannya. Ini salah, aku tak boleh menghubunginya lagi. Aku tak boleh lagi berurusan dengannya. Meski aku mencintainya, dia sudah punya Istri. Aku tak boleh merusak rumah tangganya. Dan Soal Ilyas selingkuhan istrinya, biar Mas Bimo sendiri yang tahu.
Gelap.
Tiba-tiba saja aku sedang digendong oleh Mas Bimo menuju sebuah kamar. Aku kaget. Kenapa tiba-tiba begini? Saat itu kulihat Mas Bimo sedang memakai pakaian pengantin. Dan kuperhatikan diriku. Aku juga sedang memakai pakaian pengantin. Tidak! Mengapa mendadak begini? Kuperhatikan wajah tampan Mas Bimo memandangiku dengan senang. Aku benar-benar tak berdaya melihatnya. Anehnya aku diam saja di gendengannya. Meski aku tak tahu kenapa aku di sini dan kenapa kami sudah memakai pakaian pengantin.
Kami pun tiba di sebuah kamar yang sudah dihiasi dengan bebebungaan. Mas Bimo akhirnya menidurkanku di atas kasur dengan pelan. Dia mencium keningku. Aku memejamkan mata. Lalu perlahan kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Tidak, jika ini mimpi, kenapa aku sangat merasakan bibir hangatnya itu. Setelah itu Mas Bimo melepas pakaiannya dan perlahan melepas apa yang kupakai satu persatu.
Lalu seketika Mas Bimo kembali menyentuhkan bibirnya ke bibirku. Dan tanpa kusadari, aku merasakan sakit yang luar biasa di bagian yang paling penting dari tubuhku. Mas Bimo berhasil merajaiaku. Tidak! ini tidak boleh terjadi.
"Berhenti, Mas... tolong jangan lakukan itu," pintaku padanya.
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan
Malamnya aku gelisah sendiri di kamar. Tubuhku yang dirasuki jiwa Lastri, mungkin sudah tidur juga. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya. Apa kah aku akan berada di tubuh ini selama-lamanya? Tidak, aku tidak mau itu. Aku tidur. Tengah malam itu aku terbangun saat mendengar suara derik pintu yang terbuka sedikit. Aku bangun dengan heran. Apa itu Mas Bimo? "Mas?" tanyaku memastikan. Tak berapa lama kemudian kulihat Ilyas masuk ke kamarku. Dia memakai topi, berjaket hitam dan menggunakan celana jeans belel. Di tangannya ada sebuah kayu balok yang tak begitu panjang. Aku terbelalak. Kenapa dia membawa kayuk balok itu ke sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke rumah ini? "Ilyas?" Ilyas menghampiriku dengan cepat dan langsung memukul kepalaku dengan kayu balok itu, tanpa sempat aku berteriak. Setelahnya aku pusing dan tidak sadarkan diri lagi. Aku tersadar di atas kasur tipis tanpa ranjang itu. Sakit dikepalaku masih terasa. Kupandangi sekitar, kini
Entah siapa yang menggedor-gedor itu. Sesaat kemudian Ilyas buru-buru memakai kolor dan menutup setengah telanjangku dengan selimut yang ada di sana. "Buka pintunya! Buka pintunya!" Suara itu terdengar jelas. Ilyas tampak panik, bingung dan gelisah. Sementara aku semakin lemas, pandangan mataku tiba-tiba buram, kepalaku terasa sakit sekali. Lalu setelahnya semuanya menjadi gelap. Mendadak aku tersadar sudah berada di dalam mobil bersama Mas Bimo. Aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Mobil itu dikemudikan oleh Mas Bimo dengan ngebut. Aku menoleh pada Mas Bimo. Dia tampak panik dan gelisah. Kenapa aku bisa bersamanya? Pikirku. Lastri? Iya, Lastri! Pikirku. Aku panik, Lastri dalam keadaan bahaya saat ini, aku harus memberitahukannya pada Mas Bimo. Tiba-tiba terlintas sebuah ingatan di kepalaku. "Mas! Tolong, Mas. Lastri dalam bahaya, Mas!" pintaku ditelepon pada Mas Bimo. "Bahanya gimana?" tanya Mas Bimo panik di
Kami berada di dalam mobil menuju Sentul, ke rumah kami masing-masing. Mas Bimo yang sedang menyetir, tampak bingung dan sedih. Aku tidak tahu dia meminjam mobil siapa, biasanya dia pakai motor. Apa ini mobil miliknya. "Makasih, kamu udah bantu saya," ucap Mas Bimo. Aku senang, bisa bicara dengannya saat aku memang berada di dalam tubuhku sesungguhnya. "Sama-sama," jawabku. Aku pun tidak tahu, apa pantas aku mengucap itu? Karena sesungguhnya si Lastri lah yang berusaha menyelamatkan aku. "Saya nggak percaya, ternyata kamu begitu deket sama istri saya, sampe kamu tahu siapa cowok itu dan rumahnya," ucap Mas Bimo. Oh ternyata alasannya itu si Lastri memberi tahu tempat tinggal Ilyas. "Saya sebenarnya sudah tahu, siapa cowok itu," ucap Mas Bimo lagi. Aku kaget. Dia sudah tahu? Tahu kalo Lastri selingkuh sama dia? Tanyaku dalam hati. "Maksdunya tahu gimana, Mas?" tanyaku penasaran. "Dia itu selingkuhannya Lastri." A
Pagi-pagi sekali aku terbangun dipelukan Mas Bimo. Kulihat Mas Bimo sedang memakai pakaian kerja di depan lemarinya. Aku bangkit, duduk di atas kasur dan melihatnya dengan senang. "Mau kerja, Mas?" tanyaku. "Iya," jawabnya sambil tersenyum padaku. "Mau langsung berangkat emang?" tanyaku. "Iya," "Kok nggak bangunin aku, aku kan bisa bikinin Mas sarapan dulu," ucapku sedikit kecewa. "Mas juga kesiangan," jawabnya. Setelah dia selesai memakai pakaiannya, Mas Bimo kembali membuka lemarinya. Sesuatu terjatuh dari lemarinya. Mas Bimo meraihnya lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari. Aku terkejut bukan main, benda itu seperti kalung yang tergantung di langit-langit rumahku yang hilang. Aku pun beranjak dari kasur dan mendekat ke Mas Bimo. "Tadi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Oh, nggak tau, kayak kalung, tapi aneh gitu," jawabnya dengan bingung. Aku kaget, jangan-jangan itu kalung yang sedang aku cari itu.
Sorenya kami pulang. Isabel langsung pergi dengan mobilnya setelah menurunkan aku di depan rumah. Saat aku memasuki rumah, kulihat Mas Bimo keluar dari rumah dan memanggilku. "Indah!" panggil Mas Bimo padaku. Aku pun menoleh padanya. "Iya, Mas." jawabku. "Ada yang mau saya omongin," ucapnya padaku. "Boleh. Mau dirumaku apa dirumah Mas aja?" tanyaku memastikan. "Di teras saya aja boleh?" "Boleh." Aku pun menghampirinya. Kami duduk di teras rumah Mas Bimo. "Emang ada apa, Mas?" tanyaku padanya. "Tadi Lastri nelepon saya," ucap Mas Bimo,"Katanya dia baik-baik aja, nggak usah cari dia dan dia nggak bakal pulang ke rumah lagi." Aku terkejut mendengarnya. "Kayaknya Lastri diancam sama si Ilyas itu, Mas." ucapku. Mas Bimo tampak heran melihatku berpikir seperti itu. "Maksudnya?" "Ya, bisa aja kan dia ngancem Lastri buat bilang begitu sama Mas," jawabku. Mas Bimo b