"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo.
Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku.
Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas.
Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin.
Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri?
Mas Bimo tampak heran melihatku.
"Kamu kenapa sayang?"
"Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu.
"Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran.
Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan
Malamnya aku gelisah sendiri di kamar. Tubuhku yang dirasuki jiwa Lastri, mungkin sudah tidur juga. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya. Apa kah aku akan berada di tubuh ini selama-lamanya? Tidak, aku tidak mau itu. Aku tidur. Tengah malam itu aku terbangun saat mendengar suara derik pintu yang terbuka sedikit. Aku bangun dengan heran. Apa itu Mas Bimo? "Mas?" tanyaku memastikan. Tak berapa lama kemudian kulihat Ilyas masuk ke kamarku. Dia memakai topi, berjaket hitam dan menggunakan celana jeans belel. Di tangannya ada sebuah kayu balok yang tak begitu panjang. Aku terbelalak. Kenapa dia membawa kayuk balok itu ke sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke rumah ini? "Ilyas?" Ilyas menghampiriku dengan cepat dan langsung memukul kepalaku dengan kayu balok itu, tanpa sempat aku berteriak. Setelahnya aku pusing dan tidak sadarkan diri lagi. Aku tersadar di atas kasur tipis tanpa ranjang itu. Sakit dikepalaku masih terasa. Kupandangi sekitar, kini
Entah siapa yang menggedor-gedor itu. Sesaat kemudian Ilyas buru-buru memakai kolor dan menutup setengah telanjangku dengan selimut yang ada di sana. "Buka pintunya! Buka pintunya!" Suara itu terdengar jelas. Ilyas tampak panik, bingung dan gelisah. Sementara aku semakin lemas, pandangan mataku tiba-tiba buram, kepalaku terasa sakit sekali. Lalu setelahnya semuanya menjadi gelap. Mendadak aku tersadar sudah berada di dalam mobil bersama Mas Bimo. Aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Mobil itu dikemudikan oleh Mas Bimo dengan ngebut. Aku menoleh pada Mas Bimo. Dia tampak panik dan gelisah. Kenapa aku bisa bersamanya? Pikirku. Lastri? Iya, Lastri! Pikirku. Aku panik, Lastri dalam keadaan bahaya saat ini, aku harus memberitahukannya pada Mas Bimo. Tiba-tiba terlintas sebuah ingatan di kepalaku. "Mas! Tolong, Mas. Lastri dalam bahaya, Mas!" pintaku ditelepon pada Mas Bimo. "Bahanya gimana?" tanya Mas Bimo panik di
Kami berada di dalam mobil menuju Sentul, ke rumah kami masing-masing. Mas Bimo yang sedang menyetir, tampak bingung dan sedih. Aku tidak tahu dia meminjam mobil siapa, biasanya dia pakai motor. Apa ini mobil miliknya. "Makasih, kamu udah bantu saya," ucap Mas Bimo. Aku senang, bisa bicara dengannya saat aku memang berada di dalam tubuhku sesungguhnya. "Sama-sama," jawabku. Aku pun tidak tahu, apa pantas aku mengucap itu? Karena sesungguhnya si Lastri lah yang berusaha menyelamatkan aku. "Saya nggak percaya, ternyata kamu begitu deket sama istri saya, sampe kamu tahu siapa cowok itu dan rumahnya," ucap Mas Bimo. Oh ternyata alasannya itu si Lastri memberi tahu tempat tinggal Ilyas. "Saya sebenarnya sudah tahu, siapa cowok itu," ucap Mas Bimo lagi. Aku kaget. Dia sudah tahu? Tahu kalo Lastri selingkuh sama dia? Tanyaku dalam hati. "Maksdunya tahu gimana, Mas?" tanyaku penasaran. "Dia itu selingkuhannya Lastri." A
Pagi-pagi sekali aku terbangun dipelukan Mas Bimo. Kulihat Mas Bimo sedang memakai pakaian kerja di depan lemarinya. Aku bangkit, duduk di atas kasur dan melihatnya dengan senang. "Mau kerja, Mas?" tanyaku. "Iya," jawabnya sambil tersenyum padaku. "Mau langsung berangkat emang?" tanyaku. "Iya," "Kok nggak bangunin aku, aku kan bisa bikinin Mas sarapan dulu," ucapku sedikit kecewa. "Mas juga kesiangan," jawabnya. Setelah dia selesai memakai pakaiannya, Mas Bimo kembali membuka lemarinya. Sesuatu terjatuh dari lemarinya. Mas Bimo meraihnya lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari. Aku terkejut bukan main, benda itu seperti kalung yang tergantung di langit-langit rumahku yang hilang. Aku pun beranjak dari kasur dan mendekat ke Mas Bimo. "Tadi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Oh, nggak tau, kayak kalung, tapi aneh gitu," jawabnya dengan bingung. Aku kaget, jangan-jangan itu kalung yang sedang aku cari itu.
Sorenya kami pulang. Isabel langsung pergi dengan mobilnya setelah menurunkan aku di depan rumah. Saat aku memasuki rumah, kulihat Mas Bimo keluar dari rumah dan memanggilku. "Indah!" panggil Mas Bimo padaku. Aku pun menoleh padanya. "Iya, Mas." jawabku. "Ada yang mau saya omongin," ucapnya padaku. "Boleh. Mau dirumaku apa dirumah Mas aja?" tanyaku memastikan. "Di teras saya aja boleh?" "Boleh." Aku pun menghampirinya. Kami duduk di teras rumah Mas Bimo. "Emang ada apa, Mas?" tanyaku padanya. "Tadi Lastri nelepon saya," ucap Mas Bimo,"Katanya dia baik-baik aja, nggak usah cari dia dan dia nggak bakal pulang ke rumah lagi." Aku terkejut mendengarnya. "Kayaknya Lastri diancam sama si Ilyas itu, Mas." ucapku. Mas Bimo tampak heran melihatku berpikir seperti itu. "Maksudnya?" "Ya, bisa aja kan dia ngancem Lastri buat bilang begitu sama Mas," jawabku. Mas Bimo b
"Deket?" tanyaku dengan heran. "Saya suka kamu," ucapnya kemudian. Aku ternganga mendengar itu. Aku benar-benar tak berdaya ketika mendengar pengakuan itu darinya. Apalagi saat melihat tatapan matanya yang tampak tulus mengatakannya. Entah kenapa wajahnya terlihat semakin tampan di mataku. "Aku mau, Mas." jawabku tiba-tiba, tak memikirkannya terlebih dahulu. Aku sudah tak peduli lagi akan nasib Lastri saat ini. Aku sudah tak peduli lagi tentang apapun. Tentang diriku yang kemungkinan masih akan berpindah jiwa ke tubuh Lastri. Tapi saat mendengar dia sudah menceraikan Lastri tadi, aku merasa itu sudah menjadi keputusan yang benar. Setelah aku mengucap itu, Mas Bimo menarik tubuhku. Dia langsung menciumku di teras itu. Hujan masih deras. Aku pun membiarkan dia menciumku. Tak mengapa, toh aku sudah di dalam tubuhku sendiri, bukan tubuh di tubuh Lastri lagi. Beberapa saat kemudian, Mas Bimo berhenti menciumku. Aku pun masih berdiri d