Share

Bab 6 : Kabar Buruk Itu Membuat Aku Takut

Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana.

"Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana.

"Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran.

"Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel.

Isabel tampak shock.

"Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung.

Isabel tampak berpikir.

"Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih."

Aku menghela napas.

"Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek.

Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi.

"Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi.

Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langsung mengirim pesan pada Ilyas.

"Maaf, sayang. Di rumah lagi ada sodara Mas Bimo." Isi pesanku padanya

Tak lama kemudian, Ilyas membalas pesanku. Selanjutnya kami saling berkirim pesan.

"Serius?"

"Iya."

"Kenapa baru bilang? Terus tadi aku manggil kamu sayang, dia curiga nggak?"

"Udah aku jelasin, kalo kamu orang gila."

"Hah! Jahat kamu. Yaudah aku pergi deh."

"Iya. Kalo bisa jangan ke sini dulu sampe sodara Mas Bimo pergi."

"Iya. Kapan dia perginya?"

"Mungkin sebulanan mau tinggal di sini."

"Hah? Terus gimana nasib aku?"

"Nanti aku main ke tempat kamu."

"Yaudah, nanti aku share alamatnya."

Setelah itu Ilyas pergi dari depan rumahku. Aku dan Isabel mencoba mengintipnya dari balik tirai, kami lihat Ilyas memang sudah tidak ada lagi di depan rumahku. Kami lega.

"Tolong jagain tubuhku di rumah sakit ya, Bel." pintaku pada Isabel.

"Iya, tenang aja," ucap Isabel.

"Kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin aku."

"Iya."

Tak lama kemudian Isabel melihat ke foto Mas Bimo di dinding dengan terkejut.

"Astaga!" ucap Isabel terngaga.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Ini Mas Bimo kan?"

"Iya."

"Ganteng banget, manis. Kalo dia mau merkosa aku sih, aku bakal pasrah kalo dianya ganteng banget begini."

Aku menghela napas. Setelah itu Isabel pamit pulang karena mau kembali ke kantor. Sekarang aku lega. Lega terbebas dari lelaki berondong mesum itu. Ilyas pasti tak akan berani ke sini lagi karena sudah aku bohongi.

*

Malam itu, tak kudengar lagi suara aneh dalam lemari. Aku berbaring di atas kasur. Mas Bimo sedang menonton bola di ruangan keluarga. Ternyata sejak Mas Bimo menikah dengan Lastri, mereka belum dikaruniai anak juga.

Kudengar suara tv sudah tidak ada lagi di luar sana. Mungkin Mas Bimo sudah mematikannya. Apa Mas Bimo sudah mau tidur? Aku pun langsung berpura-pura memejamkan mata.

Tak lama kemudian, benar saja, Mas Bimo datang sambil menutup pintu kamar. Dia langsung berbaring di sebelahku. Aku sedikit membuka mata, mengamati gerak-geriknya, khawatir dia memperkosaku malam ini.

Mas Bimo tampak gelisah. Kemudian di duduk di sebelahku.

"Lastri?" panggil Mas Bimo dengan lembut.

Aku diam saja, pura-pura tertidur.

"Sayang," panggil Mas Bimo lagi dengan lembut.

Kenapa dia memanggilku? Mau memastikan aku sudah tidur apa belum? Mau mengajak aku begituan? Tidak, itu tak akan terjadi, pikirku.

Tak lama kemudian Mas Bimo menyingkap selimutku, kemudian memperhatikan tubuhku dari wajah sampai ke ujung kaki.

Apa yang akan Mas Bimo lakukan? Jantungku kembali berdegub. Apakah aku harus bertindak sekarang? Tidak, tunggu dulu, kalo sampe Mas Bimo memperkosaku, aku baru akan bertindak.

Mas Bimo memandangiku dengan penuh hawa nafsu.  Kasihan sekali dia. Mungkin dia sudah tidak tahan lagi untuk menahannya. Tidak adakah tempat pelampiasannya di luar sana? Aku rasa tidak ada.

Setelahnya kulihat Mas Bimo melepas kaos yang pakainya hingga ia bertelanjang dada, lalu melepas kolornya, hingga dia telanjang bulat. Tak berapa lama kemudian dia melakukan hal yang tak pantas di dekatku, hal yang tak seharusnya kulihat dari mataku yang mencoba mengintipnya demi berjaga-jaga dia tidak memperkosaku. Dia bersetubuh dengan tangannya sendiri. Astaga.

Setalah itu Mas Bimo mematikan lampu, memakaikan aku selimut dan tertidur. Malam itu aku tahu, Mas Bimo adalah sosok yang tak pernah ingkar janji. Dia menepati janjinya pada tubuh ini untuk tidak menyentuhnya lagi. Dia bahkan melampiaskan birahinya dengan dirinya sendiri. 

*

Pagi harinya, kami sarapan berdua dengan Mas Bimo. Hari ini Mas Bimo kubuatkan mie goreng dengan telor ceplok. Mas Bimo tampak diam saja, sementara aku tampak salah tingkah karena diam-diam menyaksikan kegilaannya semalam.

"Gimana di tempat kerja, baik-baik aja kan?" yanyaku padanya mencoba untuk mencairkan suasana.

"Baik-baik aja, kok." jawabnya datar.

Ada apa dengannya? Apa masih menahan kesal karena aku tidak memperbolehkannya untuk menyentuh tubuhku? Salah sendiri, semalam sudah kubiarkan malah dianggurin, pikirku. Aku pun kembali diam.

Setelah sarapannya sudah dihabiskannya, Mas Bimo mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan uang lima ratus ribu di dalamnya dan memberikannya padaku.

"Aku lihat isi kulkas udah mau abis. Ini buat kamu belanja," ucap Mas Bimo.

Aku menerimanya karena aku harus menjadi Lastri, aku tak mau Mas Bimo curiga.

"Makasih, nanti aku belanja," ucapku.

Mas Bimo meminum teh manisnya lalu bangkit.

"Aku berangkat dulu ya."

"Iya, hati-hati," ucapku.

Mas Bimo sudah berangkat kerja. Isabel meneleponku.

"Kenapa, Bel?" tanyaku pada Isabel di seberang sana.

"Kamu masih Indah kan?" tanya Isabel di seberang sana untuk memastikan.

"Masih, Bel. Emang kenapa?" tanyaku penasaran.

"Gawat! Indah kabur dari rumah sakit. Kata Mas Raka dia menghilang dari rumah sakit."

"Hah?" Aku sangat terkejut mendengarnya,"berarti yang ada ditubuhku sekarang itu si Lastri istrinya Mas Bimo?"

"Aku nggak tau. Coba kamu cek di rumah kamu. Dia pulang ke sana apa nggak?" pinta Isabel padaku.

Aku pun langsung keluar dari rumah Mas Bimo dan langsung menuju rumahku. Rumah itu masih terkunci. Dan ketika aku gedor-gedor, tak ada satupun yang menyahut dari dalam. Kemana larinya tubuhku?

Tiba-tiba aku teringat Ilyas, apakah dia pergi ke rumah Ilyas? Aku pun segera menelepon Ilyas, tapi nomornya tak diangkat-angkat. Kemana tubuhku perginya? Tak lama kemudian tubuhku terasa lemas, kepalaku sakit sekali. Setelahnya aku amruk dan tak sadarkan diri. Aku pingsan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
vote buat karyamu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status