Aku dan Isabel yang sedang bersembunyi di kamar tampak bingung mendengarkan teriakan Ilyas di luar sana.
"Sayang! Buka, sayang!" teriak Ilyas di luar sana.
"Dia mau ngapain sih?" tanya Isabel heran.
"Mau ngajak gituan, tadi aku sempet mau diperkosanya sampe dia udah buka celana," bisikku pada Isabel.
Isabel tampak shock.
"Sekarang kita gimana nih?" tanyaku khawatir pada Isabel dengan bingung.
Isabel tampak berpikir.
"Gimana ya? Aduh!" Isabel juga tampak bingung,"tapi ngomong-ngomong pas aku intip tadi dia cakep juga sih."
Aku menghela napas.
"Kok malah bahas dia cakep sih?" tanyaku sedikit ngambek.
Isabel tertawa. Aku manyun. Tak lama kemudian Isabel berpikir lagi.
"Kamu chat aja dianya pake nomor Lastri, bilang di rumah ada sodara suami kamu," ucap Isabel memberiku solusi.
Aku pun mengikuti saran Isabel. Aku langsung mencari nama Ilyas di kontak handphone, setelah menemukannya, aku langsung mengirim pesan pada Ilyas.
"Maaf, sayang. Di rumah lagi ada sodara Mas Bimo." Isi pesanku padanya
Tak lama kemudian, Ilyas membalas pesanku. Selanjutnya kami saling berkirim pesan.
"Serius?"
"Iya."
"Kenapa baru bilang? Terus tadi aku manggil kamu sayang, dia curiga nggak?"
"Udah aku jelasin, kalo kamu orang gila."
"Hah! Jahat kamu. Yaudah aku pergi deh."
"Iya. Kalo bisa jangan ke sini dulu sampe sodara Mas Bimo pergi."
"Iya. Kapan dia perginya?"
"Mungkin sebulanan mau tinggal di sini."
"Hah? Terus gimana nasib aku?"
"Nanti aku main ke tempat kamu."
"Yaudah, nanti aku share alamatnya."
Setelah itu Ilyas pergi dari depan rumahku. Aku dan Isabel mencoba mengintipnya dari balik tirai, kami lihat Ilyas memang sudah tidak ada lagi di depan rumahku. Kami lega.
"Tolong jagain tubuhku di rumah sakit ya, Bel." pintaku pada Isabel.
"Iya, tenang aja," ucap Isabel.
"Kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin aku."
"Iya."
Tak lama kemudian Isabel melihat ke foto Mas Bimo di dinding dengan terkejut.
"Astaga!" ucap Isabel terngaga.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Ini Mas Bimo kan?"
"Iya."
"Ganteng banget, manis. Kalo dia mau merkosa aku sih, aku bakal pasrah kalo dianya ganteng banget begini."
Aku menghela napas. Setelah itu Isabel pamit pulang karena mau kembali ke kantor. Sekarang aku lega. Lega terbebas dari lelaki berondong mesum itu. Ilyas pasti tak akan berani ke sini lagi karena sudah aku bohongi.
*
Malam itu, tak kudengar lagi suara aneh dalam lemari. Aku berbaring di atas kasur. Mas Bimo sedang menonton bola di ruangan keluarga. Ternyata sejak Mas Bimo menikah dengan Lastri, mereka belum dikaruniai anak juga.
Kudengar suara tv sudah tidak ada lagi di luar sana. Mungkin Mas Bimo sudah mematikannya. Apa Mas Bimo sudah mau tidur? Aku pun langsung berpura-pura memejamkan mata.
Tak lama kemudian, benar saja, Mas Bimo datang sambil menutup pintu kamar. Dia langsung berbaring di sebelahku. Aku sedikit membuka mata, mengamati gerak-geriknya, khawatir dia memperkosaku malam ini.
Mas Bimo tampak gelisah. Kemudian di duduk di sebelahku.
"Lastri?" panggil Mas Bimo dengan lembut.
Aku diam saja, pura-pura tertidur.
"Sayang," panggil Mas Bimo lagi dengan lembut.
Kenapa dia memanggilku? Mau memastikan aku sudah tidur apa belum? Mau mengajak aku begituan? Tidak, itu tak akan terjadi, pikirku.
Tak lama kemudian Mas Bimo menyingkap selimutku, kemudian memperhatikan tubuhku dari wajah sampai ke ujung kaki.
Apa yang akan Mas Bimo lakukan? Jantungku kembali berdegub. Apakah aku harus bertindak sekarang? Tidak, tunggu dulu, kalo sampe Mas Bimo memperkosaku, aku baru akan bertindak.
Mas Bimo memandangiku dengan penuh hawa nafsu. Kasihan sekali dia. Mungkin dia sudah tidak tahan lagi untuk menahannya. Tidak adakah tempat pelampiasannya di luar sana? Aku rasa tidak ada.
Setelahnya kulihat Mas Bimo melepas kaos yang pakainya hingga ia bertelanjang dada, lalu melepas kolornya, hingga dia telanjang bulat. Tak berapa lama kemudian dia melakukan hal yang tak pantas di dekatku, hal yang tak seharusnya kulihat dari mataku yang mencoba mengintipnya demi berjaga-jaga dia tidak memperkosaku. Dia bersetubuh dengan tangannya sendiri. Astaga.
Setalah itu Mas Bimo mematikan lampu, memakaikan aku selimut dan tertidur. Malam itu aku tahu, Mas Bimo adalah sosok yang tak pernah ingkar janji. Dia menepati janjinya pada tubuh ini untuk tidak menyentuhnya lagi. Dia bahkan melampiaskan birahinya dengan dirinya sendiri.
*
Pagi harinya, kami sarapan berdua dengan Mas Bimo. Hari ini Mas Bimo kubuatkan mie goreng dengan telor ceplok. Mas Bimo tampak diam saja, sementara aku tampak salah tingkah karena diam-diam menyaksikan kegilaannya semalam.
"Gimana di tempat kerja, baik-baik aja kan?" yanyaku padanya mencoba untuk mencairkan suasana.
"Baik-baik aja, kok." jawabnya datar.
Ada apa dengannya? Apa masih menahan kesal karena aku tidak memperbolehkannya untuk menyentuh tubuhku? Salah sendiri, semalam sudah kubiarkan malah dianggurin, pikirku. Aku pun kembali diam.
Setelah sarapannya sudah dihabiskannya, Mas Bimo mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan uang lima ratus ribu di dalamnya dan memberikannya padaku.
"Aku lihat isi kulkas udah mau abis. Ini buat kamu belanja," ucap Mas Bimo.
Aku menerimanya karena aku harus menjadi Lastri, aku tak mau Mas Bimo curiga.
"Makasih, nanti aku belanja," ucapku.
Mas Bimo meminum teh manisnya lalu bangkit.
"Aku berangkat dulu ya."
"Iya, hati-hati," ucapku.
Mas Bimo sudah berangkat kerja. Isabel meneleponku.
"Kenapa, Bel?" tanyaku pada Isabel di seberang sana.
"Kamu masih Indah kan?" tanya Isabel di seberang sana untuk memastikan.
"Masih, Bel. Emang kenapa?" tanyaku penasaran.
"Gawat! Indah kabur dari rumah sakit. Kata Mas Raka dia menghilang dari rumah sakit."
"Hah?" Aku sangat terkejut mendengarnya,"berarti yang ada ditubuhku sekarang itu si Lastri istrinya Mas Bimo?"
"Aku nggak tau. Coba kamu cek di rumah kamu. Dia pulang ke sana apa nggak?" pinta Isabel padaku.
Aku pun langsung keluar dari rumah Mas Bimo dan langsung menuju rumahku. Rumah itu masih terkunci. Dan ketika aku gedor-gedor, tak ada satupun yang menyahut dari dalam. Kemana larinya tubuhku?
Tiba-tiba aku teringat Ilyas, apakah dia pergi ke rumah Ilyas? Aku pun segera menelepon Ilyas, tapi nomornya tak diangkat-angkat. Kemana tubuhku perginya? Tak lama kemudian tubuhku terasa lemas, kepalaku sakit sekali. Setelahnya aku amruk dan tak sadarkan diri. Aku pingsan.
Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang besar dan luas. Aku tau betul ini di mana? Ini rumah kedua orangtuaku di kawasa Pondok Indah Jakarta Selatan. Tapi bagimana bisa aku pulang ke sini? Sementara aku masih di tubuh Lastri. Apa aku sudah berada di tubuhku sendiri? Aku pun beranjak menuju cermin. Aku ingin melihat rupaku kini. Apakah aku masih di tubuh Lastri? Atau aku sudah kembali ke tubuhku sendiri? Saat tiba di sana, aku terbelalak senang. Benar saja aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Aku senang bukan main. Akhirnya aku bergegas berjalan menuju telepon rumah di atas meja belajarku dulu, lalu segera menghubungi Isabel. "Halo!" sapa Isabel di seberang sana. "Isabel...," lirihku. "Indah?" tanya Isabel dengan terkejut. Dia memang sudah hafal suaraku di telepon. "Iya ini aku." "Kamu sudah kembali ke tubuh kamu?" "Iya, sekarang aku ada di rumah orang tua aku di pondok Indah," jawabku. "Syukurlah kalo kamu u
"Kamu istriku, tolong diam," pinta Mas Bimo. Mas Bimo tidak mendengarku. Dia mengunci tubuhku dari atasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah akan apa yang dilakukannya padaku. Setelahnya tanpa ampun dia melampiaskan birahinya padaku hingga puas. Tak lama kemudian kepalaku terasa sakit lalu terbangun di dalam pelukan Mas Bimo. Tubuhku sedang telanjang bulat, Mas Bimo pun begitu. Kami sepertinya baru saja melakukan hubungan intim. Aku bangkit dari atas kasur. Mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku bangkit dari atas kasur lalu bercemin. Hah? Kenapa jiwaku berada di tubuh Lastri lagi. Berarti apa yang aku rasakan semalam adalah mimpi? Dan ketika aku tidur jiwaku kembali lagi ke tubuh Lastri? Mas Bimo tampak heran melihatku. "Kamu kenapa sayang?" "Aku nggak mimpi kan?" tanyaku pada Mas Bimo yang masih tanpa busana di atas kasur itu. "Mimpi apa sih sayang?" ucap Mas Bimo heran. Mas Bimo beranjak
Setelah hampir satu jam perjalanan, kami pun tiba di depan rumah Pak Mahmud. Rumahnya terletak di daerah Depok. Setelah kami bergegas turun dari mobil Isabel, kami pun disambut dengan baik oleh Pak Mahmud. Pak Mahmud seperi heran melihatku. "Ada apa repot-repot kemari? Apa rumahnya ada masalah?" tanya Pak Mahmud pada Isabel. Isabel melihat ke arahku dengan bingung. Dia seperti memintaku untuk menjelaskan semuanya pada Pak Mahmud. "Oh ya, mbak Indahnya kemana? Tumben nih, Mbak Lastri ke sini?" tanya Pak Mahmud lagi. Aku pun memberi kode pada Isabel untuk menjelaskannya pada Pak Mahmud. Tampaknya Isabel mengerti. "Kami ada masalah, Pak." ucap Isabel, "mbak Indah mengalami hal aneh di rumah itu." Pak Mahmud terkejut, "Hal aneh apa?" "Mbak Indah bertukar jiwa dengan tetangganya, Pak." ucap Isabel menjelaskannya pada Pak Mahmud. Pak Mahmud tampak tak percaya. "Sekarang," lanjut Isabel,"Mbak Indah lagi ada di dalam tu
"Emang kalungnya kenapa?" tanya Lastri tampak bingung. Aku melihat ke Lastri. "Itu kalung untuk menyelamatkan kita. Kalung itu bisa ngembaliin jiwa kita ke tubuh kita masing-masing," jelasku pada Lastri. Lastri tampak senang mendengarnya. "Yah, kemana dong kalungnya? Aku beneran nggak tau?" jawab Lastri yang mendadak ikut-ikutan panik. Aku pun terduduk lesu. "Kita cari sampe ketemu. Siapa tau masih ada di sini," pinta Isabel pada kami. Kami pun mencari-cari kalung itu di semua ruangan di dalam rumahku. Lastri pun ikut sibuk mencarinya. Aku tak mau terjebak dalam tubuh ini selamanya. Dan aku tak mau tubuhku dimiliki oleh Lastri selamanya. Kami duduk bertiga dengan bingung di ruang tengah rumahku itu. Kami sudah mencari kalung itu kemana-mana, tapi kami tidak menemukannya. "Gimana, nih?" tanya Lastri dengan panik. "Aku nggak tau," jawabku bingung. Isabel tampak berpikir. "Coba aku tan
Malamnya aku gelisah sendiri di kamar. Tubuhku yang dirasuki jiwa Lastri, mungkin sudah tidur juga. Aku tak tahu bagaimana selanjutnya. Apa kah aku akan berada di tubuh ini selama-lamanya? Tidak, aku tidak mau itu. Aku tidur. Tengah malam itu aku terbangun saat mendengar suara derik pintu yang terbuka sedikit. Aku bangun dengan heran. Apa itu Mas Bimo? "Mas?" tanyaku memastikan. Tak berapa lama kemudian kulihat Ilyas masuk ke kamarku. Dia memakai topi, berjaket hitam dan menggunakan celana jeans belel. Di tangannya ada sebuah kayu balok yang tak begitu panjang. Aku terbelalak. Kenapa dia membawa kayuk balok itu ke sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke rumah ini? "Ilyas?" Ilyas menghampiriku dengan cepat dan langsung memukul kepalaku dengan kayu balok itu, tanpa sempat aku berteriak. Setelahnya aku pusing dan tidak sadarkan diri lagi. Aku tersadar di atas kasur tipis tanpa ranjang itu. Sakit dikepalaku masih terasa. Kupandangi sekitar, kini
Entah siapa yang menggedor-gedor itu. Sesaat kemudian Ilyas buru-buru memakai kolor dan menutup setengah telanjangku dengan selimut yang ada di sana. "Buka pintunya! Buka pintunya!" Suara itu terdengar jelas. Ilyas tampak panik, bingung dan gelisah. Sementara aku semakin lemas, pandangan mataku tiba-tiba buram, kepalaku terasa sakit sekali. Lalu setelahnya semuanya menjadi gelap. Mendadak aku tersadar sudah berada di dalam mobil bersama Mas Bimo. Aku sudah berada di dalam tubuhku sendiri. Mobil itu dikemudikan oleh Mas Bimo dengan ngebut. Aku menoleh pada Mas Bimo. Dia tampak panik dan gelisah. Kenapa aku bisa bersamanya? Pikirku. Lastri? Iya, Lastri! Pikirku. Aku panik, Lastri dalam keadaan bahaya saat ini, aku harus memberitahukannya pada Mas Bimo. Tiba-tiba terlintas sebuah ingatan di kepalaku. "Mas! Tolong, Mas. Lastri dalam bahaya, Mas!" pintaku ditelepon pada Mas Bimo. "Bahanya gimana?" tanya Mas Bimo panik di
Kami berada di dalam mobil menuju Sentul, ke rumah kami masing-masing. Mas Bimo yang sedang menyetir, tampak bingung dan sedih. Aku tidak tahu dia meminjam mobil siapa, biasanya dia pakai motor. Apa ini mobil miliknya. "Makasih, kamu udah bantu saya," ucap Mas Bimo. Aku senang, bisa bicara dengannya saat aku memang berada di dalam tubuhku sesungguhnya. "Sama-sama," jawabku. Aku pun tidak tahu, apa pantas aku mengucap itu? Karena sesungguhnya si Lastri lah yang berusaha menyelamatkan aku. "Saya nggak percaya, ternyata kamu begitu deket sama istri saya, sampe kamu tahu siapa cowok itu dan rumahnya," ucap Mas Bimo. Oh ternyata alasannya itu si Lastri memberi tahu tempat tinggal Ilyas. "Saya sebenarnya sudah tahu, siapa cowok itu," ucap Mas Bimo lagi. Aku kaget. Dia sudah tahu? Tahu kalo Lastri selingkuh sama dia? Tanyaku dalam hati. "Maksdunya tahu gimana, Mas?" tanyaku penasaran. "Dia itu selingkuhannya Lastri." A
Pagi-pagi sekali aku terbangun dipelukan Mas Bimo. Kulihat Mas Bimo sedang memakai pakaian kerja di depan lemarinya. Aku bangkit, duduk di atas kasur dan melihatnya dengan senang. "Mau kerja, Mas?" tanyaku. "Iya," jawabnya sambil tersenyum padaku. "Mau langsung berangkat emang?" tanyaku. "Iya," "Kok nggak bangunin aku, aku kan bisa bikinin Mas sarapan dulu," ucapku sedikit kecewa. "Mas juga kesiangan," jawabnya. Setelah dia selesai memakai pakaiannya, Mas Bimo kembali membuka lemarinya. Sesuatu terjatuh dari lemarinya. Mas Bimo meraihnya lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari. Aku terkejut bukan main, benda itu seperti kalung yang tergantung di langit-langit rumahku yang hilang. Aku pun beranjak dari kasur dan mendekat ke Mas Bimo. "Tadi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Oh, nggak tau, kayak kalung, tapi aneh gitu," jawabnya dengan bingung. Aku kaget, jangan-jangan itu kalung yang sedang aku cari itu.