Share

Bukan Sebuah Solusi

"Ayo kita kawin lari aja, Mas!"

Gala menatap Gendis dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tak percaya akan kalimat yang keluar dari bibir tipis kekasihnya tersebut. Bagaimana mungkin seorang Gendis Ayu Paradista memiliki pemikiran yang ... konyol seperti itu? 

Perempuan itu baru saja menyelesaikan ceritanya mengenai apa yang membuat Fatma tak menyetujui jika ia menikahi anak perempuannya dan Gala juga tak menyangka jika Fatma masih menganut hal semacam itu. Namun, ia cukup menghargai Fatma dengan tak menganggap remeh petuah tersebut. 

Jika ditanya, Gala memang tak mau jika harus berpisah dengan Gendis. Perempuan itu sudah menjadi bagian dari separuh hidupnya. Akan seperti apa jika hari-harinya dilalui tanpa adanya ocehan Gendis, meski terkadang yah, ia cukup jengah sendiri. Tapi memikirkan menghabiskan waktu tanpa pujaan hatinya itu juga tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya. 

Merasa tak ada jawaban dari Gala, Gendis langsung meraih kedua tangan Gala dan menggenggamnya erat. 

"Kamu mau 'kan, Mas?"

Gala menggeleng pelan, "Nggak, Dis."

Jawaban yang diberikan Gala seolah menjadi tombak yang menancap di ulu hati Gendis. Bukan ini yang mau Gendis dengar. Sayangnya, keinginan Gala yang menyetujui usulnya hanya menjadi sebatas harapannya saja. 

"Kamu udah nggak cinta sama aku ya, Mas?"

"No," jawab Gala cepat, "Bukan kayak gitu, Sayang. Sampai kapanpun aku akan selalu cinta sama kamu, Dis. Cuma kamu perempuan yang aku cinta."

"Terus kenapa kamu nggak terima usul aku?" cecar Gendis menuntut, ia butuh kepastian tentunya, "Harusnya kalau cinta aku, kamu mau dong kawin lari sama aku."

"Dan bikin orang tuamu punya pandangan buruk sama aku?"

Bungkam. Gendis tak mampu menjawab pertanyaan yang Gala lontarkan balik untuknya. Jujur saja, ia tak berpikir sampai sejauh itu. Yang Gendis pikirkan adalah bagaimana dirinya dan Gala tetap bersama. 

Saat tahu jika Gendis mulai memikirkan ucapannya, Gala kembali membuka suara, "Aku sayang kamu, Dis. Banget malah. Tapi semua itu bukan solusi yang baik buat kita. 

"Yang ada malah menambah masalah buat kita. Orang tuamu pasti bakal mikir kalau aku bawa pengaruh buruk buat kamu."

Lagi, air mata Gendis mengalir tanpa bisa ia cegah. Entah apa yang membuat Gendis sampai tak memikirkan konsekuensi yang akan ia dapat jika melakukan hal nekat seperti apa yang terlintas di benaknya. 

Kedua tangan Gala menangkup pipi Gendis dan seketika menyebarkan kehangatan. Dengan lembut lelaki itu mengusap air mata Gendis. Hatinya terasa berdenyut melihat sangat pujaan hatinya menangis seperti itu. 

"Kita cari solusi sama-sama ya," ujar Gala pelan, "Anggap aja ini ujian cinta kita dari Tuhan. Aku yakin kalau kita bisa lewatin semua ini."

"Tapi kamu nggak bakal ninggalin aku, kan?"

"Cuma orang gila yang ninggalin perempuan secerewet kamu, Yang."

Gendis mendengkus pelan, namun tak urung senyum tipis terbit di wajah cantiknya. 

"Aku anggap itu pujian. Makasih, Sayang." Gendis meringis kecil, menampilkan deretan gigi putihnya.

Gala tergelak mendengar ucapan kekasihnya. Ia lantas memeluk tubuh ramping Gendis. Sejatinya ia tak benar-benar mengatai perempuan itu sebagai orang yang cerewet. Tapi, cerewet yang Gala maksud adalah dari segi perhatian Gendis yang selalu dicurahkan untuknya. 

Perempuan itu tak akan bosan memberondonginya dengan deretan pesan singkat yang sekedar mengingatkannya pada hal-hal kecil seperti makan, istirahat, dan tentu ibadahnya. Gendis layaknya alarm yang selalu mengingat Gala pada segala hal. 

"Udah baikan 'kan sekarang?"

Gendis menggeleng, "Belum."

"Apalagi sih yang bikin pacarku ini sedih?"

"Cacing di perutku udah berontak dari tadi makanya aku belum baikan sekarang?" jawab Gendis lugas. 

Gala mendesah pelan, "Astaga, jangan bilang kalau kamu lewatin sarapan hari ini?"

"Aku nggak nafsu makan, Mas."

"Itu bukan alasan, Sayang!" tandas Gala tegas, "kamu selalu ingetin aku buat makan tepat waktu tapi kamu sendiri malah abai. Aku nggak suka ya kalau kamu kayak gitu. Kalau sakit siapa yang repot coba?"

Gendis meringis kecil, "Iya, Sayang. Maaf ya. Lain kali nggak aku ulangi lagi pokoknya."

"Janji?"

"Janji, Mas Gala-ku sayang."

"Good."

***

"Mau nambah nggak, Yang?"

Gendis menyeruput es jeruk miliknya sebelum menjawab, "Perutku bakal overload kalau nambah lagi, Mas. Porsi makanku udah banyak lho tadi."

Gala mengangguk kecil. Ia kembali meneruskan mannya yang belum selesai. Meski fokus dengan makanannya tapi mata Gala tak luput dari gerak-gerik perempuan di depannya. 

Lelaki itu tahu akan apa yang membuat Gendis melihat ke beberapa arah. Memang dasarnya ia cukup peka jika sudah menyangkut soal Gendis. Sehingga Gala pun berdiri dari kursinya dan menuju counter gelato. 

"Panna cotta and dark chocolate."

Gendis yang tak sadar jika Gala sempat meninggalkan meja makan pun menoleh dan terkejut saat di depannya sudah tersaji gelato kesukaannya. 

"Eh—ini...?"

"Aku perhatiin dari tadi kamu lihatin anak-anak makan gelato terus. Jadi, ya udah aku pesenin aja," ujar Gala lugas. 

Pipi Gendis bersemu merah menahan malu. Ia malu karena ketahuan memperhatikan anak kecil yang tengah menikmati gelato mereka. Gendis tak menyangka jika Gala begitu peka terhadapnya. 

"Kamu perhatian banget sih, Mas. Kalau aku makin cinta gimana sama kamu?"

"Bagus dong, jadi aku nggak perlu takut kamu diambil cowok lain," balas Gala penuh keyakinan. 

Tangan Gala bergerak menyendok gelato dan menyodorkan pada Gendis yang diterima dengan senang hati. Meski sedikit malu sebab banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka. Tapi, kali ini Gendis mencoba untuk acuh. Ia hanya ingin menikmati waktunya bersama Gala. 

Sampai akhirnya dering ponsel milik Gendis menjadi penengah kemesraan diantara mereka. Perempuan itu meraih clutch dan mengambil ponselnya yang meronta sejak tadi. Sejenak Gendis menghela napas saat mengetahui nama siapa yang tertera di layar ponselnya. 

"Siapa?"

"Mama," jawab Gendis lirih. 

Senyum tipis terkembang di wajah tampan Gala. Lelaki itu memberi usapan ringan di punggung tangan Gendis yang ada di atas meja. 

"Ya, udah. Angkat aja nggak apa-apa."

"Tapi—"

"Mama pasti bingung nyariin kamu, Yang," sela Gala cepat. Bukan tanpa alasan ia mengatakan hal demikian sebab ia yakin jika Gendis tak memberitahu jika dirinya akan pergi. Gala cukup paham dengan perangai perempuan itu jika sedang berselisih paham dengan anggota keluarganya. 

Bukannya langsung menuruti perkataan Gala, Gendis malah memasang wajah memelas. Berharap agar Gala 'membebaskannya' kali ini. Perempuan itu hanya tak mau kembali berdebat dengan sang mama. 

Namun, harapannya tak terkabul dengan sebagaimana yang ia harapkan. Lewat tatapan tajam dari Gala sudah membuat Gendis tak bisa berbuat apa-apa selain ... menerima panggilan Fatma. 

"Halo."

"Kamu dimana sih, Dis?"

Gendis memejamkan mata sambil menarik napas dalam, "Gendis lagi makan siang sama Mas Gala, Ma."

"Habis ini kamu pulang! Ajak Gala sekalian, ada yang mau Mama bicarakan."

Gendis baru saja membuka mulutnya tuk bertanya namun Fatma sudah lebih dulu mematikan sambungan teleponnya. Lagi, untuk kesekian kalinya Gendis hanya mampu menghela napas. Dalam hatinya ia bertanya hal apakah yang ingin Fatma bicarakan padanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status