Share

Putus?

"Kamu apa kabar, Gal?"

Gala mengangguk pelan sambil menjawab dengan santun, "Baik, Tante."

Sikap Fatma masih ramah seperti biasa terhadap Gala karena bagaimanapun perempuan paruh baya itu hanya mempermasalahkan wetonnya bukan orangnya. 

"Bagus kalau kayak gitu. Kerjaan baik juga, kan?" tanya Fatma lagi. Ia berusaha untuk mencairkan suasana meski tetap saja terasa mencekam bagi Gala dan Gendis.

Sepasang sejoli itu sudah menebak maksud Fatma yang ingin bertemu dan berbicara dengan mereka. Namun, sebisa mungkin Gala juga mencoba untuk tetap tenang. Toh, ia juga tak melakukan kesalahan. Jadi untuk apa harus merasa takut.

"Alhamdulillah, lancar, Tan," balas Gala, "Sekarang lagi ngurus proyek di Surabaya."

Gendis yang duduk di sebelah Gala semakin merapatkan tubuhnya pada lelaki itu. Hal itu membuat Gala melirik sekilas pada perempuan yang menggigit bibir bawahnya sendiri. Gala yang cukup peka terhadap Gendis segera meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya.

Perbuatan Gala yang seperti itu tak luput dari pengamatan Fatma hingga membuat perempuan itu berdeham pelan. Namun, kedua orang di depannya tak cukup menganggapnya sebagai peringatan. Mereka tetap saja menunjukan kemesraan itu di depan Fatma meski yah... hal itu tak bisa disebut dengan kemesraan yang sebenarnya.

"Kamu pasti udah tahu kenapa Tante pengin kamu dateng ke rumah, kan, Gal?"

Gala menegakkan posisi duduknya namun tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Gendis. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam seolah pasokan oksigen di paru-parunya telah habis.

"Gendis pasti udah cerita sama kamu tadi," imbuh Fatma saat tak kunung mendapat jawaban dari Gala meski ia tak mempermasalahkan jika Gala tak menjawab sekalipun. Fatma memaklumi.

"Benar, Tante. Gendis sudah bercerita sedikit tadi. Tapi, Gala nggak mau mengira-ira maksud Tante meminta untuk datang ke sini." Gala menjawab dengan lugas, tak ada ketakutan dari nada bicaranya. 

Tak bisa dipungkiri jika Fatma sempat terkesima dengan jawaban Gala. Fatma akui jika Gala memiliki attitude yang baik ditengah zaman dan pergaulan di luar sana. Tak jarang jika ia pun pernah bertemu atau sekedar melihat pemuda yang tak memiliki adab sopan santun pada orang yang lebih tua.

Bahkan di zaman sekarang tak sedikit dari anak yang berlaku tak baik dengan orang tua mereka sendiri. Hal yang tentunya membuat hati merasa miris. Fatma sempat khawatir jika pergaulan di luar sana akan mempengaruhi anak-anaknya.

"Baik kalau begitu." Fatma menghela napas tak kentara, "Seperti yang sudah Gendis ceritakan sama kamu kalau Tante nggak bisa menyetujui hubungan kalian sampai ke jenjang pernikahan," beritahu Fatma tegas.

Suasana ruang tamu yang menjadi dingin seolah menjadi 'pendukung' pembicaraan saat ini. Bahkan Gendis sempat mengeratkan genggaman tangannya. Ucapan mamanya semakin membuat hati Gendis meradang. Ia takut jika mamanya semakin memaksakan kehendaknya.

Berbeda dengan Gendis, Gala masih tetap menunjukan sisi tenangnya. Lelaki itu seolah tak gentar dengan aura Fatma yang bisa dibilang cukup mengintimidasi mengingat perempuan yang ia gadang-gadang menjadi calon mertuanya itu sempat menjabat sebagai ketua assosiasi perempuan. 

"Maaf, kalau Gala lancang, Tante. Tapi, apa alasan seperti yang Tante berikan itu sudah terbukti valid?" tanya Gala hingga membuat Gendis menoleh cepat dan membuat tulang lehernya berderak.

Gendis tentu saja terkejut ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Gala. Pasalnya, itu sama saja dengan mengundang argumen yang nantinya akan merujuk pada ketidaksukaan Fatma pada lelaki itu.

"Mas?" bisik Gendis dengan nada penuh peringatan.

Bukannya menjawab, Gala hanya menampilkan senyum tipisnya. Pun dengan usapan jari jempolnya di punggung tangan Gendis tuk sekedar menenangkan gadis pujaannya. 

Gala memang seperti itu. Tipikal laki-laki yang memiliki pysical lounge hampir 80%. Ia lebih suka memberi action daripada kata-kata gombalan. Tetapi hal semacam itulah yang Gendis jadikan branding dengan laki-laki lain di luar sana.

Fatma menarik sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan. Dalam hati, ia mengacungi jemopol atas keberanian Gala.

"Tante cukup bangga dengan keberanian kamu, Gala," puji Fatma tulus, "Tapi ini adalah tradisi dari zaman dulu. Bahkan hal semacam ini sudah ada di zaman Eyangnya Gendis masih muda dulu.

"Kalau orang tua zaman dulu nggak memperbolehan alasan seperti ini untuk pernikahan, bukankah berarti dulunya juga pernah kejadian yang tidak diinginkan?"

Hening.

Tak ada yang bersuara setelah Fatma menjelaskan secara rinci perihal pendapatnya. Entah apa yang Gala dan Gendis pikirkan saat ini. Namun, sudut hati Gala masih saja terasa mengganjal.

"Tante tahu kamu orangnya cerdas untuk sekedar mengartikan maksud dari pembicaraan ini, Gala," tandas Fatma menjadi orang pertama yang membuka suara ditengah keheningan.

Jika diibaratkan sebuah cerita pembicaraan ini sedang berjalan di puncak konflik. Tentunya, Gendis yang sudah paham segera menyela ucapan sang mama setelah sejak tadi hanya diam.

"Ma...!"

"Gala cukup menghargai tradisi yang Tante berlakukan, tapi mengapa nggak sejak dari awal Tante mengatakan hal semacam ini? Tentunya sebelum perasaan saya ke Gendis semakin dalam," tutur Gala lembut.

Tak ada kemarahan yang Gala tunjukan. Kecewa? Tentunya ada. Sayangnya, ia cukup pandai untuk menutupinya dari Fatma maupun Gendis.

Ucapan Gala layaknya air es yang menyiram hati Gendis. Mata perempuan itu sudah berkaca-kaca saat ini. Hatinya merasa berdenyut, bukan karena harus dipisahkan dengan lelaki tersebut. Melainkan dari merasakan dalam dan kuatnya perasaan Gala untuknya.

"Maaf kalau hal ini melukai hati kamu, Gala. Tante pikir hubungan kalian juga nggak akan sampai pada tahap ini."

Gala tersenyum tipis meski hatinya sedikit teriris, "Maksud Tante saya cuma main-main sama Gendis gitu?" tanya Gala memperjelas, "Satu hal yang perlu Tante tahu kalau saya serius sama anak Tante. Saya nggak pernah sekalipun memiliki niat untuk mempermainkan Gendis.

"Jika hal itu terjadi, itu sama halnya dengan saya menyakiti hati mama dan adik saya yang juga seorang perempuan."

"Tante tahu kamu laki-laki baik, Gala. Ini bukan karena Tante nggak suka sama kamu. Tapi, Tante juga nggak bisa melanggar tradisi yang sudah Tante anut sejak dulu," ucap Fatma.

 "Tante harap kamu bisa legowo dengan keputusan Tante yang meminta untuk mengakhiri hubungan kalian."

"Gendis nggak mau putus sama Mas Gala, Ma!" sentak Gendis keras. Perempuan itu tak peduli jika dicap sebagai anak kurang ajar.

"Mama lakuin ini buat kebahagian kamu, Dis!" tegas Fatma.

"Tapi kebahagiaan Gendis itu cuma sama Mas Gala, Ma. Gendis-"

"Sayang, udah ya," sela Gala, "Jangan bicara kayak itu sama mama kamu. Nggak baik."

Gendis menggeleng pelan, air matanya kembali mencuat keluar, "Tapi aku nggak mau putus sama kamu, Mas."

"Yang putus itu hanya hubungan percintaan kita, bukan pertemanan kita. Kita masih bisa ketemu bahkan jalan bareng meski hanya dengan status teman."

Ucapan Gala menjadi penanda jika lelaki itu menerima keputusan yang Fatma buat. Namun, apakah ucapan itu sudahkah layak dijadikan sebagai pemutus hubungan gendis dan Gala?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status