Share

Jodoh Dikejar, Kau Kudapat
Jodoh Dikejar, Kau Kudapat
Author: Ayda Harada

Alasan Macam Apa Ini?

"Mama nggak setuju kamu nikah sama Gala!"

Blaaarrrr...

Kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong bagi Gendis. Bagaimana tidak, saat ia mengutarakan niatnya untuk menikah malah ditentang keras oleh mamanya, Fatmala. 

"Kenapa, Ma? Bukannya selama ini Mama juga suka-suka aja sama Mas Gala?" tanya Gendis dengan penasaran. 

Perempuan yang kerap dipanggil Fatma itu menghela napas panjang. Ia menatap putrinya dengan intens, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting dan mendalam. 

"Mama memang membiarkan kamu pacaran sama Gala, tapi bukan berarti Mama setuju kalau kamu sampai menikah sama dia," ucap Fatma lugas. 

Kening Gendis berkerut. Tentu saja ia masih tak paham dengan apa yang dibicarakan mamanya. Pasalnya, selama ini Fatma terlihat menyukai Gala dan membiarkan dirinya menjalin hubungan hingga berjalan tiga tahun lamanya. 

Lantas, mengapa mamanya tak memberi restu padanya dan Gala?

"Mama juga mengira kalau hubungan kamu juga nggak sampai sejauh ini, Dis." Ucapan Fatma mengembalikan Gendis dari pikirannya, perempuan berusia 25 tahun itu menatap mamanya lamat-lamat. Berharap akan mendapat kejelasan dari ibunya. 

Namun, sepuluh menit berlalu Gendis yang tak kunjung mendapat jawaban pun merasa risau. Kedua tangannya saling meremas, gesture yang kerap ia lakukan saat hatinya merasa tak tenang. 

"Mas Gala itu orangnya baik lho, Ma."

"Mama tau kalau Gala itu anaknya baik."

"Terus kenapa Mama nggak setuju kalau Gendis nikah sama Mas Gala?" cecar Gendis tak sabaran. 

"Gala itu lahirnya Selasa Wage sedangkan kamu Kamis Pon. Weton kalian itu nggak cocok kalau buat berumah tangga," tandas Fatma. 

Hati Gendis mencelos mendengar penjelasan Fatma. Apa kata mamanya tadi? 

Weton? 

Oh, Tuhan. Apa Gendis tak salah mendengar? Ini sudah tahun 2021, bukan? Lalu bukankah hal semacam itu hanya di zaman dulu? Rasanya terlalu primitif jika di tahun yang sudah serba canggih ini masih memikirkan hal semacam itu. 

"Astaga, Ma. Ini udah zaman modern lho, emang harus ya pakai 'hal' semacam itu?" tutur Gendis yang merasa ucapan Mamanya tak masuk akal. 

"Ini itu bukan perkara zaman modern atau bukan, Dis," sentak Fatma tegas hingga membuat Gendis sedikit terperanjat. Selama ini ia tak pernah mendengar Mamanya berkata tegas seperti tadi. 

Fatma adalah sosok perempuan yang lembut. Tak sekalipun Gendis mendengar sang mama marah ataupun mengomel. Namun, bukan berarti hal tersebut membuat anak-anak Fatma tak patuh terhadapnya. 

"Ini adalah tradisi turun temurun yang harus dijaga," imbuh Fatma lagi, "kalau Eyangmu masih ada, mereka pasti juga akan sependapat dengan Mama. 

"Kalau hal semacam itu dilanggar nanti nggak akan baik untuk kehidupan rumah tanggamu sama Gala dan Mama nggak mau hal itu sampai terjadi."

Gendis menggeleng pelan. Ia masih tak percaya akan 'hal' semacam itu. Bagi Gendis jika terjadi sesuatu yang buruk pada kehidupannya kelak, itu memang karena sudah digariskan oleh Tuhan. Bukan dari hal-hal yang diluar nalar manusia. 

"Tapi Gendis nggak mau pisah sama Mas Gala, Ma. Gendis cuma mau nikah sama Mas Gala," beritahu Gendis pada mamanya. Berharap mamanya bisa berubah pikiran. 

Sayangnya, semua itu tak dapat merubah pemikiran seorang Fatmala. Perempuan yang masih cantik di usianya yang sudah memasuki setengah abad itu tetap teguh dengan pendapatnya. 

"Sudahlah, Dis," tekan Fatma jengah, "Mama nggak mau debat sama kamu. Jadi, lebih baik kamu akhiri saja hubunganmu sama Gala. Masih banyak laki-laki yang bahkan bisa jauh lebih baik dari Gala.

"Gala pasti juga bakal ngerti tentang semua ini."

"Tapi, Ma...." Ucapan Gendis tertelan kembali sebab Fatma sudah lebih dulu meninggalkan ruang tengah dan menghilang dibalik pintu kamarnya. 

Gendis terduduk lesu di sofa. Matanya terasa panas. Pun dengan kepalanya yang seketika terasa pening. 

Haruskah ia akhiri hubungannya dengan Gala? 

Sanggupkah Gendis jika berpisah dengan laki-laki yang sudah menjadi raja di hatinya selama tiga tahun ini? 

Tak sanggup menahan gejolak di hatinya seorang diri, Gendis berlari menuju kamar tuk mengambil kunci mobilnya. Tanpa berpamitan dengan orang-orang di rumahnya Gendis melajukan mobilnya dengan kecepatan standar menuju suatu tempat. 

Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak menambah kecepatan mobilnya. Meski sekarang pikirannya tengah berkecamuk tapi Gendis masih bisa berpikir dengan jernih. Nalarnya bisa bekerja dengan baik untuk tak membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain. 

Setelah hampir 20 menit mengendarai mobilnya, Gendis tiba di tempat tujuannya. Gedung menjulang tinggi yang sudah familiar dengannya. Manggala Corporation. 

Setelah memarkirkan mobilnya dengan baik, Gendis meraih clutch dan keluar dari mobilnya. Saat memasuki gedung itu Gendis sudah dihadapkan dengan sapaan yang kerap yang terima seperti biasa. Dengan senyum mengembang Gendis mencoba membalas sapaan orang-orang tersebut. 

Tak ada yang tahu jika senyum Gendis adalah palsu. Perempuan itu sebisa mungkin menyembunyikan kegundahan hatinya. Ia tak mau menunjukkan sedihnya pada orang lain. 

Gendis masuk ke dalam lift yang kebetulan pintunya terbuka. Mencoba sabar, perempuan yang hari ini terlihat cantik dengan dress sabrina berwarna peach itu menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. 

Ting... 

Tanpa menunggu lama lagi, Gendis keluar dari lift saat benda berbentuk kubus itu berhasil membawanya ke lantai tujuannya. Perempuan itu segera berjalan menuju ruangan dimana ia bisa mencurahkan segala keluh kesahnya. 

Gendis yang sudah lupa adab bertamu pun langsung membuka pintu ruangan itu hingga membuat dua orang laki-laki yang ada di dalamnya terkejut. 

"Lho, Sayang, kok nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?" 

Gendis yang tak tahan pun berlari kecil dan menghambur ke pelukan Gala. Hingga tak berapa lama tangisnya pun pecah begitu saja dan tentunya membuat Gala menjadi bingung. 

Sadar akan hal tersebut, Gala memberi isyarat pada Angga–asisten pribadinya untuk keluar dari ruangannya. 

"Ssttt, kamu kenapa sih? Kok dateng-dateng langsung nangis?" tanya Gala dengan lembut. Lelaki itu mengusap punggung Gendis perlahan. Ia tak peduli jika kemejanya bisa basah akibat terkena air mata kekasihnya tersebut. 

"Aku sayang banget sama kamu, Mas."

Gala tersenyum tipis, ia menunduk tuk kemudian mencium puncak kepala Gendis dalam. Aroma strawberry dari rambut Gendis pun tercium oleh indra penciuman Gala. Aroma yang selalu menjadi favorit Gala. 

"Aku juga sayang banget sama kamu," ujar Gala tulus. Lelaki itu membiarkan Gendis menenangkan dirinya terlebih dulu. Meski sebenarnya, ia cukup penasaran dengan apa yang membuat pujaan hatinya menangis seperti ini. 

Hanya pada Manggala Yudha–kerap dipanggil Gala itu Gendis menunjukkan perasaan sedihnya. Perempuan itu tak peduli bagaimana raut jeleknya saat menangis terlihat oleh Gala. Ya, hanya pada lelaki itu Gendis membagi semuanya. 

Rasa sukanya, cemasnya, marahnya, pun dengan sedihnya. 

"Sekarang bisa ceritain ke aku kenapa kamu nangis kayak gini?" tagih Gala sambil mengusap jejak air mata di wajah cantik Gendis. 

Bukannya langsung menjawab, Gendis kembali memeluk tubuh tegap Gala. Bahkan kali ini lebih erat seakan-akan ia memang tak bisa kehilangan lelaki itu. Saat dirasa hatinya kuat untuk bercerita Gendis membuka suaranya. Memberi jawaban yang membuat Gala diserang rasa penasaran. 

Jawaban yang membuat jantung Gala sempat berhenti untuk beberapa saat. 

"Mama nggak setuju kalau kita nikah, Mas."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status