"Mama nggak setuju kamu nikah sama Gala!"
Blaaarrrr...
Kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong bagi Gendis. Bagaimana tidak, saat ia mengutarakan niatnya untuk menikah malah ditentang keras oleh mamanya, Fatmala.
"Kenapa, Ma? Bukannya selama ini Mama juga suka-suka aja sama Mas Gala?" tanya Gendis dengan penasaran.
Perempuan yang kerap dipanggil Fatma itu menghela napas panjang. Ia menatap putrinya dengan intens, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting dan mendalam.
"Mama memang membiarkan kamu pacaran sama Gala, tapi bukan berarti Mama setuju kalau kamu sampai menikah sama dia," ucap Fatma lugas.
Kening Gendis berkerut. Tentu saja ia masih tak paham dengan apa yang dibicarakan mamanya. Pasalnya, selama ini Fatma terlihat menyukai Gala dan membiarkan dirinya menjalin hubungan hingga berjalan tiga tahun lamanya.
Lantas, mengapa mamanya tak memberi restu padanya dan Gala?
"Mama juga mengira kalau hubungan kamu juga nggak sampai sejauh ini, Dis." Ucapan Fatma mengembalikan Gendis dari pikirannya, perempuan berusia 25 tahun itu menatap mamanya lamat-lamat. Berharap akan mendapat kejelasan dari ibunya.
Namun, sepuluh menit berlalu Gendis yang tak kunjung mendapat jawaban pun merasa risau. Kedua tangannya saling meremas, gesture yang kerap ia lakukan saat hatinya merasa tak tenang.
"Mas Gala itu orangnya baik lho, Ma."
"Mama tau kalau Gala itu anaknya baik."
"Terus kenapa Mama nggak setuju kalau Gendis nikah sama Mas Gala?" cecar Gendis tak sabaran.
"Gala itu lahirnya Selasa Wage sedangkan kamu Kamis Pon. Weton kalian itu nggak cocok kalau buat berumah tangga," tandas Fatma.
Hati Gendis mencelos mendengar penjelasan Fatma. Apa kata mamanya tadi?
Weton?
Oh, Tuhan. Apa Gendis tak salah mendengar? Ini sudah tahun 2021, bukan? Lalu bukankah hal semacam itu hanya di zaman dulu? Rasanya terlalu primitif jika di tahun yang sudah serba canggih ini masih memikirkan hal semacam itu.
"Astaga, Ma. Ini udah zaman modern lho, emang harus ya pakai 'hal' semacam itu?" tutur Gendis yang merasa ucapan Mamanya tak masuk akal.
"Ini itu bukan perkara zaman modern atau bukan, Dis," sentak Fatma tegas hingga membuat Gendis sedikit terperanjat. Selama ini ia tak pernah mendengar Mamanya berkata tegas seperti tadi.
Fatma adalah sosok perempuan yang lembut. Tak sekalipun Gendis mendengar sang mama marah ataupun mengomel. Namun, bukan berarti hal tersebut membuat anak-anak Fatma tak patuh terhadapnya.
"Ini adalah tradisi turun temurun yang harus dijaga," imbuh Fatma lagi, "kalau Eyangmu masih ada, mereka pasti juga akan sependapat dengan Mama.
"Kalau hal semacam itu dilanggar nanti nggak akan baik untuk kehidupan rumah tanggamu sama Gala dan Mama nggak mau hal itu sampai terjadi."
Gendis menggeleng pelan. Ia masih tak percaya akan 'hal' semacam itu. Bagi Gendis jika terjadi sesuatu yang buruk pada kehidupannya kelak, itu memang karena sudah digariskan oleh Tuhan. Bukan dari hal-hal yang diluar nalar manusia.
"Tapi Gendis nggak mau pisah sama Mas Gala, Ma. Gendis cuma mau nikah sama Mas Gala," beritahu Gendis pada mamanya. Berharap mamanya bisa berubah pikiran.
Sayangnya, semua itu tak dapat merubah pemikiran seorang Fatmala. Perempuan yang masih cantik di usianya yang sudah memasuki setengah abad itu tetap teguh dengan pendapatnya.
"Sudahlah, Dis," tekan Fatma jengah, "Mama nggak mau debat sama kamu. Jadi, lebih baik kamu akhiri saja hubunganmu sama Gala. Masih banyak laki-laki yang bahkan bisa jauh lebih baik dari Gala.
"Gala pasti juga bakal ngerti tentang semua ini."
"Tapi, Ma...." Ucapan Gendis tertelan kembali sebab Fatma sudah lebih dulu meninggalkan ruang tengah dan menghilang dibalik pintu kamarnya.
Gendis terduduk lesu di sofa. Matanya terasa panas. Pun dengan kepalanya yang seketika terasa pening.
Haruskah ia akhiri hubungannya dengan Gala?
Sanggupkah Gendis jika berpisah dengan laki-laki yang sudah menjadi raja di hatinya selama tiga tahun ini?
Tak sanggup menahan gejolak di hatinya seorang diri, Gendis berlari menuju kamar tuk mengambil kunci mobilnya. Tanpa berpamitan dengan orang-orang di rumahnya Gendis melajukan mobilnya dengan kecepatan standar menuju suatu tempat.
Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak menambah kecepatan mobilnya. Meski sekarang pikirannya tengah berkecamuk tapi Gendis masih bisa berpikir dengan jernih. Nalarnya bisa bekerja dengan baik untuk tak membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain.
Setelah hampir 20 menit mengendarai mobilnya, Gendis tiba di tempat tujuannya. Gedung menjulang tinggi yang sudah familiar dengannya. Manggala Corporation.
Setelah memarkirkan mobilnya dengan baik, Gendis meraih clutch dan keluar dari mobilnya. Saat memasuki gedung itu Gendis sudah dihadapkan dengan sapaan yang kerap yang terima seperti biasa. Dengan senyum mengembang Gendis mencoba membalas sapaan orang-orang tersebut.
Tak ada yang tahu jika senyum Gendis adalah palsu. Perempuan itu sebisa mungkin menyembunyikan kegundahan hatinya. Ia tak mau menunjukkan sedihnya pada orang lain.
Gendis masuk ke dalam lift yang kebetulan pintunya terbuka. Mencoba sabar, perempuan yang hari ini terlihat cantik dengan dress sabrina berwarna peach itu menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan.
Ting...
Tanpa menunggu lama lagi, Gendis keluar dari lift saat benda berbentuk kubus itu berhasil membawanya ke lantai tujuannya. Perempuan itu segera berjalan menuju ruangan dimana ia bisa mencurahkan segala keluh kesahnya.
Gendis yang sudah lupa adab bertamu pun langsung membuka pintu ruangan itu hingga membuat dua orang laki-laki yang ada di dalamnya terkejut.
"Lho, Sayang, kok nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?"
Gendis yang tak tahan pun berlari kecil dan menghambur ke pelukan Gala. Hingga tak berapa lama tangisnya pun pecah begitu saja dan tentunya membuat Gala menjadi bingung.
Sadar akan hal tersebut, Gala memberi isyarat pada Angga–asisten pribadinya untuk keluar dari ruangannya.
"Ssttt, kamu kenapa sih? Kok dateng-dateng langsung nangis?" tanya Gala dengan lembut. Lelaki itu mengusap punggung Gendis perlahan. Ia tak peduli jika kemejanya bisa basah akibat terkena air mata kekasihnya tersebut.
"Aku sayang banget sama kamu, Mas."
Gala tersenyum tipis, ia menunduk tuk kemudian mencium puncak kepala Gendis dalam. Aroma strawberry dari rambut Gendis pun tercium oleh indra penciuman Gala. Aroma yang selalu menjadi favorit Gala.
"Aku juga sayang banget sama kamu," ujar Gala tulus. Lelaki itu membiarkan Gendis menenangkan dirinya terlebih dulu. Meski sebenarnya, ia cukup penasaran dengan apa yang membuat pujaan hatinya menangis seperti ini.
Hanya pada Manggala Yudha–kerap dipanggil Gala itu Gendis menunjukkan perasaan sedihnya. Perempuan itu tak peduli bagaimana raut jeleknya saat menangis terlihat oleh Gala. Ya, hanya pada lelaki itu Gendis membagi semuanya.
Rasa sukanya, cemasnya, marahnya, pun dengan sedihnya.
"Sekarang bisa ceritain ke aku kenapa kamu nangis kayak gini?" tagih Gala sambil mengusap jejak air mata di wajah cantik Gendis.
Bukannya langsung menjawab, Gendis kembali memeluk tubuh tegap Gala. Bahkan kali ini lebih erat seakan-akan ia memang tak bisa kehilangan lelaki itu. Saat dirasa hatinya kuat untuk bercerita Gendis membuka suaranya. Memberi jawaban yang membuat Gala diserang rasa penasaran.
Jawaban yang membuat jantung Gala sempat berhenti untuk beberapa saat.
"Mama nggak setuju kalau kita nikah, Mas."
"Ayo kita kawin lari aja, Mas!" Gala menatap Gendis dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tak percaya akan kalimat yang keluar dari bibir tipis kekasihnya tersebut. Bagaimana mungkin seorang Gendis Ayu Paradista memiliki pemikiran yang ... konyol seperti itu? Perempuan itu baru saja menyelesaikan ceritanya mengenai apa yang membuat Fatma tak menyetujui jika ia menikahi anak perempuannya dan Gala juga tak menyangka jika Fatma masih menganut hal semacam itu. Namun, ia cukup menghargai Fatma dengan tak menganggap remeh petuah tersebut. Jika ditanya, Gala memang tak mau jika harus berpisah dengan Gendis. Perempuan itu sudah menjadi bagian dari separuh hidupnya. Akan seperti apa jika hari-harinya dilalui tanpa adanya ocehan Gendis, meski terkadang yah, ia cukup jengah sendiri. Tapi memikirkan menghabiskan waktu tanpa pujaan hatinya itu juga tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya. Merasa tak ada jawaban dari Gala, Gendis langsung meraih kedua tangan Gala dan menggenggamnya e
"Kamu apa kabar, Gal?"Gala mengangguk pelan sambil menjawab dengan santun, "Baik, Tante."Sikap Fatma masih ramah seperti biasa terhadap Gala karena bagaimanapun perempuan paruh baya itu hanya mempermasalahkan wetonnya bukan orangnya."Bagus kalau kayak gitu. Kerjaan baik juga, kan?" tanya Fatma lagi. Ia berusaha untuk mencairkan suasana meski tetap saja terasa mencekam bagi Gala dan Gendis.Sepasang sejoli itu sudah menebak maksud Fatma yang ingin bertemu dan berbicara dengan mereka. Namun, sebisa mungkin Gala juga mencoba untuk tetap tenang. Toh, ia juga tak melakukan kesalahan. Jadi untuk apa harus merasa takut."Alhamdulillah, lancar, Tan," balas Gala, "Sekarang lagi ngurus proyek di Surabaya."Gendis yang duduk di sebelah Gala semakin merapatkan tubuhnya pada lelaki itu. Hal itu membuat Gala melirik sekilas pada perempuan yang menggigit bibir bawahnya sendiri. Gala yang cukup peka terhadap Gendis segera meraih tangan perempuan it
"Gendis masih di kamarnya ya, Mbok?" Mbok Lasmi, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga Raharjo itu pun mengangguk pelan. Bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan dari majikannya tersebut. Namun, rasanya ia juga tak mungkin terus berdiam diri. "Anu, Bu. Non Gendis nggak mau makan sejak kemarin," beritahu Mbok Lasmi pelan. Fatma yang tengah mengambil nasi menghentikan gerakannya. Perempuan itu menoleh dan menatap perempuan tua itu dengan intens seolah mencari kebenaran dari ucapan Mbok Lasmi. Sayangnya, melihat tingkah Mbok Lasmi yang sedikit menundukkan kepalanya membuat Fatma menyimpulkan jika dia tidak berbohong. Lagipula apa gunanya Mbok Lasmi berbohong padanya? Oh, bisa saja Gendis sudah bekerjasama dengan Mbok Lasmi untuk menarik simpati darinya. Namun, semua yang sempat terlintas di benaknya pun harus Fatma pupus saat melihat raut khawatir di wajah renta Mbok Lasmi.&nb
"Gendis kok lama nggak main ke sini ya, Gal? Kalian lagi marahan ya?"Gala yang tengah memindah channel TV dengan asal mendongak dan seketika melihat Dea—mamanya berjalan ke arahnya. Perempuan itu membawa piring berisikan buah yang sudah ia potong kecil-kecil tuk kemudian bergabung dengan anak laki-lakinya.Usia Gala memang sudah dikatakan dewasa. Namun, jika sudah berdua dengan mamanya lelaki itu akan bersikap manja. Seperti saat ini, baru saja Dea mendudukkan tubuhnya Gala sudah merubah posisinya dan berbaring dengan paha sang mama yang ia jadikan bantal."Kami nggak lagi marahan kok, Ma." Gala memejamkan matanya saat Dea mengusap rambuh hitamnya dengan lembut. Kasih sayang seorang ibu yang begitu tulus sampai membuat Gala dulu memiliki cita-cita untuk mempunyai istri seperti mamanya.Selama mulai merasakan hubungan percintaan barulah dengan Gendis Gala bisa menemukan sosok yang ia cari. Perempuan mandiri, tidak banyak menuntut,
"Itu muka apa jemuran baru diangkat sih? Kusut amat," olok Angga yang baru saja masuk ke dalam ruangan Gala dan melihat raut sahabat sekaligus bosnya itu tampak muram.Jika sudah berbicara seperti ini, Angga sudah menanggalkan statusnya yang merupakan asisten Gala. Untuk kali ini lelaki berambut ikal itu menempatkan dirinya sebagai sabahat Gala.Dan sebagai sahabat yang baik tentu saja ia harus bisa menjadi tumpahan segala keluh kesah sahabat kita bukan?"Aku putus sama Gendis?"Uhuukk.. Uhuukk...Angga tersedak teh yang baru saja ia minum. Beruntung saja ia tak menyemburkan minuman itu ke wajah Gala. Bisa digantung di pohon tomat kalau hal itu sampai terjadi."Jorok banget sih, Ngga," omel Gala tak suka."Sorry, sorry, aku nggak sengaja."Angga menarik selembar tisu tuk kemudian ia usap di sekitar mulutnya. Namun, matanya tetap menelisik wajah Gala tuk mencari kebohongan yang mungkin saja di
"Kata Bang Janu kamu nggak mau makan. Emangnya kamu nggak sayang sama dirimu sendiri?" Dengan sabar, Gala menyuapi Gendis makanan kesukaannya—ayam fetucini. Lelaki itu membelinya di restoran langganan yang sering mereka kunjungi. Itupun tanpa Gendis yang meminta. Gala yang berinisiatif melakukan hal tersebut. Yah, Gala memang sepengertian itu orangnya. Gala selalu punya cara untuk menyenangkan hati Gendis. Meski perhatian sekecil membelikan makanan kesukaannya. "Aku sayang kok sama diriku sendiri," balas Gendis setelah menelan makanan di mulutnya. Seperti biasa, Gendis akan bersikap manja jika sudah bersama Gala. Terlebih lagi, keduanya sudah dia hari tanpa saling bertemu bahkan bertukar kabar secara intens. Sambil mengaduk nasi yang akan diberikan pada Gendis, Gala berkata, "Terus kenapa kamu nggak mau makan?" "Aku kepikiran kamu terus, Mas." Gendis menjawab tanpa ragu, perempuan itu seolah ingin
Gendis Ayu: Temenin aku minum yuk!Beberapa saat setelah pesannya terkirim, ponsel Gendis berdering dengan nyaring. Ia melirik ke arah layar yang menyala dan segera mengangkat panggilan telepon yang tak lain adalah dari Alea, sahabatnya."Kamu mau kan temenin aku minum? Aku yang traktir deh," cerocos Gendis tanpa mengucapkan salam terlebih dulu.Hal tersebut tentu saja membuat Alea diseberang sana kebingungan. Pasalnya, Gendis bukan tipe perempuan yang mau diajak ke tempat seperti itu. Kalaupun Gendis ke bar sekalipun itu pasti ada Gala yang akan menjaganya."Kamu lagi kenapa sih, Dis? Tumben banget ngajak minum?" tanya Alea menyuarakan rasa penasarannya."Udah, nanti aku ceritain deh. Aku yang bayar pokoknya, jadi kamu tenang aja—""Ini bukan soal kamu yang bayar atau nggak Dis." Alea menghela napas pelan, "kamu lagi ada masalah ya? Dan, emang harus banget sampai minum kayak gitu?"Gendis memutar bola ma
"Stop minumnya, Dis! Aku nggak mau jadi sasaran kemarahan mama sama kakak kamu kalau mabuk parah."Alea menahan tangan Gendis yang kembali mengangkat gelas minumannya. Entahlah, sudah berapa gelas minuman 'panas' itu masuk ke dalam tubuh Gendis. Alea sampai tak bisa menghitungnya.Namun, bukan berarti Alea hanya diam saja membiarkan sabahatnya menenggak minuman beralkohol itu. Ia sudah berusaha mencegah upaya Gendis yang selalu saja tak didengarkan oleh perempuan itu."Kamu tahu kan, Al, kalau aku itu cintaaaa banget sama Mas Gala," ujar Gendis melantur. Perempuan itu terkikik tuk kemudian menangis kecil, "Tapi hanya karena mama nggak kasih restu, Mas Gala langsung mundur begitu aja."Gendis merebahkan kepalanya pada meja di depannya. Kepalanya terasa pening akibat terlalu banyak minum. Meski ia termasuk orang yang memiliki toleransi besar terhadap minuman beralkohol. Tetapi malam ini Gendis akui jika ia sudah overload menyesap minuman 'panas'