“Apa-apaan dia. Kenapa dia cerita sebanyak itu padahal belum terlalu mengenalku,” gumam Bastian saat dirinya sudah ada di luar kamar hotel.
Bastian meninggalkan Yasmin sendirian lagi di ruangan hotel itu. Tapi kali ini, tak butuh waktu lama sampai Bastian kembali ke kamar sambil membawa sebuah paper bag di tangannya. Klek! Yasmin menoleh sekilas. Ia masih dalam posisi duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. “Pakai ini. Saya yakin gaun pengantin itu membuatmu tidak nyaman,” ucap Bastian, nada suaranya terdengar tegas seraya mengulurkan paper bag itu ke arah Yasmin. “Ini apa?” Yasmin bertanya polos. “Pakai saja, tapi saya tidak tahu seperti apa gaya pakaian yang kamu suka. Setidaknya pakai baju itu membuat kamu lebih nyaman daripada terus memakai gaun pengantin,” ucapnya panjang lebar. Ini pertama kalinya Bastian berucap panjang lebar selain membahas masalah pekerjaan. Yasmin menatap dirinya. Benar apa yang dikatakan Bastian. Gaun pengantin yang dikenakannya membuatnya tak leluasa bergerak. “Terima kasih.” Yasmin menerima paper bag itu. “Oh, apa kamu juga menyiapkan cairan untuk membersihkan makeup?” tanya Yasmin yang baru sadar jika dia harus membersihkan riasannya lebih dulu. “Cairan pembersih makeup?” Yasmin mengangguk. Bastian yang memang tidak mengerti ada cairan penghapus makeup di dunia ini lantas segera menghubungi ajudannya. “Kamu ganti pakaian saja dulu. Ajudan saya sedang membelikan cairan itu,” ucap Bastian tanpa menatap lawan bicaranya. Yasmin pun langsung masuk ke kamar mandi dan mengganti gaun pengantinnya. Meski bukanlah gayanya, akan tetapi setidaknya kaos oversize dan berwarna putih polos itu jauh lebih nyaman dipakai daripada gaun pengantinnya. “Aku harus gimana sekarang? Apa aku pulang aja? Papa pasti khawatir dan nyariin aku.” Yasmin menggumam sembari menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia memilih untuk berdiam diri lebih lama di kamar mandi seraya memikirkan hal yang harus dia lakukan setelah ini. Pintu terdengar diketuk dari luar dan berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. “Barang yang kamu minta sudah ada.” Suara Bastian menyusul usai ketukan pintu itu. “Baiklah!” Yasmin membuka pintu dan mengambil paper bag kecil yang disodorkan Bastian. “Makasih.” Yasmin segera menghapus riasannya sambil sesekali benaknya berpikir tentang apa yang harus dia lakukan setelah ini. Bagaimana menghadapi Bella nanti. Dan juga bagaimana tentang statusnya yang kini telah menjadi istri Bastian di hadapan keluarga Bastian dan koleganya. “Kenapa masalahku jadi runyam gini,” gumam Yasmin seraya menundukkan wajahnya lesu. Sepertinya dia harus membicarakan lagi perihal statusnya dengan Bastian setelah ini. * “Kalian masih belum menemukan jejak Yasmin?” Pram membentak orang suruhannya yang dikerahkan untuk mencari Yasmin sejak siang tadi saat Yasmin meninggalkan acara pernikahannya yang kacau. “Belum, Tuan. Kami sudah memeriksa seluruh area sekitar gedung dan tidak menemukan petunjuk apa pun,” jawab salah seorang pria. “Kalian tidak becus. Cari lagi, apa kalian bahkan sudah mengecek CCTV gedung?” Benar, saking fokusnya mereka sampai lupa hal sepenting itu. Kamera pengawas yang tersebar di area gedung itu pastinya bisa menjadi petunjuk. “Siap, Tuan. Sekarang juga kami akan kembali ke gedung dan memeriksa CCTV di sana.” Pram menyugar rambutnya dengan kasar. Bagaimana bisa orang suruhan yang dikerahkan untuk mencari Yasmin itu justru melupakan hal sepele seperti memeriksa kamera pengawas. “Hancur sudah. Karirku hancur!” teriak Bella seraya menjatuhkan benda-benda yang ada di atas meja ruang tamu. Prang! Vas bunga di atas meja itu pecah menghantam lantai akibat kemarahan Bella saat menyaksikan seluruh media berita sedang ramai membicarakan video panasnya. “Apa kamu lebih mengkhawatirkan karirmu daripada anak kandungmu sendiri?” tanya Pram sarkas pada mantan istrinya. Bella menatap Pram tajam. “Karirku jauh lebih penting, Pram! Aku sudah membangun citra baikku bertahun lamanya dan sekarang hancur dalam sekejap!” “Cih, bukannya itu hancur karena perbuatanmu sendiri, Bella. Lagipula kenapa kamu tidak berhati-hati sampai ada yang menyebarkan video kalian main gila!” sindir Pram. Alasannya menceraikan Bella memang karena saat itu Pram mengetahui perselingkuhan Bella dengan beberapa pria yang usianya jauh lebih muda. Namun, karena kasih sayangnya pada Yasmin, Pram rela dicap jelek karena Bella yang telah memutarbalikkan fakta kalau Pram lah yang berselingkuh. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya. “Diam kamu, Pram! Karirku sudah hancur dan aku nggak tau bagaimana menjelaskannya ke publik dan membersihkan namaku lagi!” Bella menyentak kesal karena baginya Pram pasti sedang menertawakan kehancuran dirinya. “Silakan pikirkan bagaimana caranya membersihkan nama baikmu itu. Aku akan fokus mencari keberadaan Yasmin dan menemukannya,” ucap Pram penuh tekad. “Terserah kamu saja. Toh, Yasmin bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa, dan bisa menjaga dirinya. Aku yakin, nggak lama lagi dia juga pulang. Memangnya apa yang bisa dia lakukan tanpa membawa ponsel dan uang,” sungut Bella seolah tak pernah mengkhawatirkan kondisi Yasmin setelah pernikahannya hancur dan penyebabnya adalah dirinya sendiri. “Capek memang bicara sama kamu, Bella.” Pram memutuskan untuk pulang ke kediamannya dan berusaha keras menemukan putrinya. Ia sedikit menyesal karena tidak membela diri saat Bella memutarbalikkan fakta tentang perselingkuhan yang tidak pernah Pram lakukan. * Yasmin keluar dari kamar mandi usai membersihkan riasannya dan mengganti pakaian yang nyaman dikenakan. Sementara, Bastian tampak duduk di sofa. Tatapan matanya fokus tertuju pada layar ponselnya. “Ehm!” Yasmin berdehem pelan agar Bastian menyadari kehadirannya. “Sudah selesai?” “Iya.” “Kalau begitu, apa kamu mau saya antar pulang ke rumahmu sekarang?” tanya Bastian to the point. Yasmin menggeleng cepat. “Nggak. Aku nggak mau pulang dan ketemu Mama dulu. Lagipula, rumah Mama pasti lagi dikerubuti wartawan,” ungkap Yasmin. “Oh. Ya sudah sekarang kamu istirahat saja. Saya akan memesan kamar lain malam ini,” ucap Bastian tanpa basa-basi dan bersiap untuk pergi. “T–tunggu!” Langkah kaki Bastian terhenti ketika mendengar interupsi Yasmin. “Kenapa? Ada hal yang kamu butuhkan lagi?” “Nggak ada, tapi … bukankah kita harus membicarakan status kita sekarang?” Yasmin bertanya dengan sangat hati-hati. Bastian mengernyit dan dia baru saja sadar jika siang tadi tiba-tiba menikahi Yasmin. “Ah, iya, saya hampir lupa.” Bastian kembali duduk di sofa. Kali ini keduanya saling berhadapan. “Kita buat kesepakatan baru saja.” Bastian akhirnya memberikan penawaran pada Yasmin. “Kesepakatan apa?” “Ya tentang status pernikahan kita. Anggap saja saya dan kamu sedang menikah kontrak selama setahun,” ujar Bastian tanpa beban. “Setahun?” “Iya, apa terlalu lama bagimu?” “Entahlah, saya juga bingung saat ini dan tidak bisa memikirkan apa pun,” ungkap Yasmin apa adanya. “Hmm, bagaimana kalau enam bulan saja. Setelah itu kita akan bercerai,” tawar Bastian. “Terserah saja,” sahut Yasmin pasrah. Raganya memang di sini, tapi pikirannya entah melayang ke mana. “Baiklah, saya akan segera membuat surat kontraknya, dan kamu nggak usah khawatir saya akan memberikan berapa pun untuk kompensasi karena kamu tiba-tiba menjadi pengantin dadakan saya.” Bastian memberikan penawaran yang menggiurkan. Akan tetapi, Yasmin tak terlalu butuh dengan materi yang ditawarkan Bastian sehingga dia hanya mengiyakan saja ucapan Bastian. “Baiklah, kamu atur saja gimana baiknya,” ucap Yasmin pelan dan terdengar pasrah. “Oh ya, dan satu lagi, kamu hanya perlu bersikap layaknya seorang istri di hadapan kolega dan orang tuaku, kamu juga harus menemani saya jika ada acara yang mengharuskan membawa pasangan. Selebihnya, terserah bagaimana kamu menjalani kehidupanmu, saya juga tidak akan menyentuhmu, jadi pernikahan ini akan saling menguntungkan buat kita,” ucap Bastian panjang lebar. Yasmin mengangguk pelan. Ia tampak sudah tak punya energi lagi untuk mendebat Bastian. “Kalau begitu … saya keluar dulu. Silakan kamu beristirahat dengan nyaman di sini.” Bastian kembali bersiap pergi namun ada sesuatu yang sejak tadi dia lupakan. “Oh ya, saya belum tau siapa nama kamu,” ucapnya kemudian sebelum benar-benar pergi. “Yasmin. Yasmin Kireina.” “Oke, akan saya ingat nama itu. Beristirahatlah.” ***21)Ponsel itu kini tergeletak di atas ranjang, terhubung dengan kabel charger yang sudah dilepaskan. Lampu layar menyala penuh.Yasmin menatapnya, jantungnya sedikit berdebar. Ada rasa takut. Ada rasa penasaran. Tapi ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi semua ini. Ia tak bisa terus-terusan lari dari semua masalah yang sedang terjadi. Ia menghela napas panjang. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu.Satu per satu notifikasi mulai berdatangan begitu ia membuka layar. Puluhan pesan. Dari berbagai orang. Dari berbagai aplikasi.Yasmin mengabaikan semuanya untuk sekarang. Fokusnya hanya satu yaitumencari tahu kabar tentang butiknya.Ia membuka aplikasi pesan, mencari nama yang selama ini selalu jadi sandarannya."Mey …," bisiknya lirih, merasa sedikit lega saat menemukan nama itu.Tanpa banyak berpikir, Yasmin menekan ikon telepon.Nada sambung berdentang di telinganya, membuatnya semakin tegang.Satu detik. Dua detik. Tiga detik.“Halo?” Suara di seberang langsung
20)“Jadi, kamu nggak ada niat honeymoon sama sekali?”Randy meletakkan sendok garpu di sisi piringnya. Restoran tempat mereka makan siang kala itu cukup mewah, dengan lampu gantung kristal yang mengayun pelan di atas meja bundar berlapis linen putih. Bastian menyesap kopinya, tenang.“Honeymoon itu buang waktu, Pa.”“Buang waktu?” Randy menaikkan alisnya. “Kamu nikah buat kerja atau buat hidup?”“Dua-duanya,” jawab Bastian datar.“Banyak proyek besar yang sedang antre untuk aku tangani. Jadi, aku nggak bisa ninggalin semuanya ke tim. Beberapa kesepakatan butuh aku sendiri yang handle.”Suara Randy mengembus napas panjang. “Tapi kamu baru saja menikah, Bastian. Gimana dengan Gita? Apa dia baik-baik saja saat kamu bilang akan masuk kerja lagi?”Bastian hanya mengangkat bahu.“Entahlah. Dia nggak berkomentar apa pun. Lagipula, Gita bisa tinggal dan istirahat di rumah dengan nyaman, Pa. Aku pastikan semua kebutuhannya terpenuhi.”“Dan kamu?” tanya Randy lebih pelan.Alis Bastian sedikit
19)Tangan Yasmin masih memegang kardus besar itu ketika matanya terpaku pada lemari putih di hadapannya. Permukaannya mengilap, dengan ukiran lembut di tepinya. Ia membuka salah satu pintu lemari itu perlahan, aroma kayu dan sabun pelembut kain menyeruak keluar, menyambutnya dengan hangat."Pelan-pelan, Yasmin," gumamnya sendiri, menahan napas panjang.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai memindahkan satu per satu bajunya dari dalam kardus. Lipatan rapi, aroma lavender dari pengharum lemari yang dia sering pakai di rumah semuanya mengoyak memori. Ada sehelai sweater biru tua, pemberian sang Mama. Sebuah gaun putih yang ia beli sendiri saat berulang tahun ke-23. Ia menggantungkan setiap helai dengan hati-hati, seolah sedang merakit kembali identitas yang sempat tercerabut.Di dasar kardus, terselip sebuah pouch kecil berisi skincare dan makeup, maskara favoritnya, concealer yang hampir habis, lip balm yang sering ia pakai sebelum tidur. Ia tersenyum tipis, matanya sempat berkaca.
18)“Paketnya sudah sampai, Tuan,” ujar Mbak Rina sembari memegang kunci gerbang di tangannya. Napasnya masih tersengal, tanda ia baru saja menyambut truk yang datang.Yasmin berdiri terpaku di depan jendela, tangannya masih menggenggam mug cokelat panas yang belum sempat disentuh. Tatapannya tertuju pada petugas pengantar barang yang menurunkan beberapa koper dan kardus besar ke halaman rumah.“Kiriman dari Pak Pram, sepertinya,” gumam Bastian di sampingnya. Ia baru saja turun dari tangga, sudah mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan jam tangan perak di pergelangan kirinya.Yasmin mengangguk pelan. “Kamu kasih alamat ini ke Papa?” tanyanya tanpa menoleh.“Saya tulis semalam. Saya pikir kamu akan butuh barang-barangmu, cepat atau lambat.”Suasana jadi hening sesaat. Hanya suara burung dan derik roda koper yang terdengar di luar.“Saya minta kamu santai aja beresinnya,” kata Bastian lagi, nadanya lembut. “Kalau kamu butuh bantuan buat beresin ini semua, suruh aja Mbak
17)Suara pecahan kaca masih terngiang di telinga Bastian ketika ia mendorong pintu kamar tanpa pikir panjang. Jantungnya menghentak keras seakan akan meledak.Bastian mendobrak pintu begitu mendengar suara pecahan kaca. Napasnya memburu, matanya liar menyapu seluruh ruangan. Ia menemukan Yasmin sedang berjongkok di dekat meja rias, memunguti pecahan vas kaca yang berserakan di lantai.“Yasmin!”Langkahnya terhenti begitu melihat Yasmin berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca vas yang berserakan. Jemarinya gemetar, ada goresan merah di telunjuk kirinya, dan satu pecahan kecil masih menempel di kulitnya.“Astaga, Yasmin—jangan!”Bastian langsung menghampiri, meraih pergelangan tangan Yasmin sebelum ia sempat mengambil pecahan berikutnya. Sentuhannya membuat Yasmin tersentak, tubuhnya menegang, napasnya tercekat.“Aku… maaf,” gumamnya. “Tadi aku nggak sengaja—vasnya jatuh.”Bastian menatap mata Yasmin yang tampak lelah, sembap, tapi tak ada jejak histeria di sana. Hanya kesedihan y
16)Yasmin berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi. Kepalanya tegak, tapi ada air mata yang masih menetes pelan di sepanjang pipinya. Langkah kakinya terasa berat. Ia bahkan tidak sempat melirik ke arah barang-barangnya yang masih terserak di kamar.Bella masih duduk di sofa, tatapannya membakar punggung Yasmin dengan amarah yang belum juga reda. Tapi kini tak ada yang mendengarkannya lagi.Bastian menyusul Yasmin dengan langkah panjang, menyamai kecepatan wanita itu tanpa bersuara. Tak ada yang dikatakannya, tak ada nasihat atau teguran. Dia hanya berjalan di belakang, seperti bayangan yang setia mengikuti cahaya.Di dalam rumah, Pram masih berdiri. Pandangannya tidak beranjak dari wajah Bella yang tampak kalut, kusut, dan kehilangan kendali.“Kamu bahkan tidak berniat sedikit pun meminta maaf pada Yasmin” ucap Pram dingin. “Padahal kamu yang paling bersalah di sini, bukankah setidaknya kamu minta maaf padanya?”Bella mendongak, napasnya memburu. “Haruskah aku melakukan itu, Pram, sem