Keheningan sejenak menggantung di udara.
Bahu mungil itu terasa begitu kecil dalam pelukannya. Tubuhnya gemetar, dadanya bergetar karena isakan yang belum juga mereda. Aroma lembut yang samar menguar dari rambutnya, bercampur dengan wangi parfum yang memudar. Bastian membeku. Kesadaran menghantamnya telak. ‘Sial. Apa yang baru saja aku lakukan?’ rutuknya dalam hati. Tak ada yang berani menyentuhnya selama ini. Orang-orang di sekitarnya selalu menjaga jarak, seolah ada tembok tak kasatmata yang mengelilinginya. Bahkan wanita-wanita yang berusaha mendekatinya pun tahu, bahwa menyentuhnya tanpa izin adalah kesalahan besar. Tapi dengan Yasmin? Ia baru saja menarik perempuan ini ke dalam pelukannya. Dan anehnya, ia tak ingin langsung melepaskannya. Namun, egonya ternyata jauh lebih kuat. Dengan cepat, ia mendorong tubuh Yasmin pelan, menciptakan jarak di antara mereka. Tatapannya kembali dingin, suaranya terjaga dari emosi apa pun. "Sudah cukup menangisnya." Yasmin masih terisak. Tapi kali ini, ada sesuatu di matanya. Kejutan? Bingung? Ia tidak menatap Bastian dengan curiga, melainkan dengan tatapan seseorang yang baru saja merasakan sedikit kehangatan di tengah badai. Namun, kehangatan itu segera hilang. Bastian melangkah mundur. Sikapnya kembali seperti semula. Tenang, kaku, dan tak tersentuh. "Kalau sudah selesai, berhentilah menangis. Jangan bikin suasana makin buruk." Yasmin menunduk. Isakannya perlahan mereda, tapi hatinya masih terasa begitu berat. Sorotan mata Bastian beralih ke layar televisi. Sebuah berita ditayangkan. Suara pembawa berita yang bersemangat melaporkan skandal yang kini menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. "Aktris senior Bella Miranda, yang dikenal sebagai ikon kecantikan dan kesuksesan di industri hiburan, hari ini menjadi topik hangat setelah sebuah video skandalnya dengan seorang pria yang diduga adalah calon menantunya sendiri, Aditya, tersebar luas di hari pernikahan putrinya. Netizen bereaksi keras terhadap skandal ini, mengungkapkan rasa kecewa dan jijik mereka terhadap perselingkuhan yang melibatkan ibu dan calon menantu. Bella Miranda sendiri hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi terkait kejadian ini." Tatapan Yasmin menegang. Jari-jarinya mengepal di atas gaun pengantinnya yang sudah lusuh. Bibirnya bergetar, tetapi ia menahan semua emosi yang bergejolak di dadanya. "Aku pikir ... hari ini akan menjadi hari terbaik dalam hidupku." Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku pikir, aku akan menikah dengan pria yang aku cintai. Aku pikir, aku akan memulai hidup baru yang bahagia." Matanya masih terpaku pada layar televisi. "Tapi ternyata, hari ini justru menjadi hari paling buruk dalam hidupku." Bastian tetap diam, membiarkannya terus berbicara. "Perempuan itu …." Yasmin menelan ludah. "Perempuan yang sekarang jadi bahan pembicaraan itu ... adalah ibuku." Kening Bastian berkerut sedikit. "Sosok yang selalu aku banggakan." Yasmin tertawa kecil, tetapi ada nada getir dalam suara itu. "Dia aktris yang dipuja banyak orang, perempuan yang selalu tampil sempurna di depan kamera. Orang-orang bilang dia panutan. Semua orang iri padaku karena aku punya ibu yang begitu terkenal, begitu memesona. Aku pikir ... aku juga bangga memiliki ibu sepertinya." Bastian mendengar tanpa menyela. "Tapi nyatanya?" Yasmin melanjutkan, suaranya semakin dingin. "Aku bahkan tidak tahu dia seperti apa. Aku tidak mengenal ibuku sendiri." Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku selalu berpikir kalau keluargaku normal. Aku selalu berpikir kalau kehidupanku baik-baik saja. Aku tidak pernah menyangka ... orang yang paling seharusnya aku percaya, justru adalah orang yang menusukku dari belakang." Suaranya bergetar, tetapi kali ini bukan karena ingin menangis. "Aku bahkan tidak tahu siapa yang lebih brengsek, Aditya atau ibuku. Mereka berdua sama saja bagiku. Sama-sama munafik, sama-sama haus perhatian. Sama-sama menghancurkan hidupku." Bastian mengamati Yasmin dalam diam. Ada sesuatu dalam cara perempuan itu berbicara, seperti seseorang yang telah kehilangan kepercayaannya terhadap dunia. "Tapi kamu tahu apa yang paling menyakitkan?" Yasmin berbalik menatapnya. Matanya masih merah, tetapi ada api kemarahan di dalamnya. "Aku bisa dengan mudah menghapus Aditya dari hidupku. Aku bisa membuangnya seperti sampah. Tapi, dia?" Tawa pahit lolos begitu saja dari bibirnya. "Dia ibuku. Sampai kapan pun, dia tetap ibuku." Bastian tetap tidak memberikan reaksi berlebihan. Hanya tatapan matanya yang sedikit berubah lebih tajam, lebih dalam. "Jadi itu alasan kenapa kamu menangis seperti orang bodoh di kamarku?" Kata-kata itu jatuh begitu saja dari bibirnya. Yasmin menegang. Mata perempuan itu langsung menyipit. "Apa?" Bastian bersandar di meja, tangannya terlipat di depan dada. Ekspresinya tetap dingin, seolah cerita panjang yang baru saja ia dengar hanyalah obrolan biasa. "Aku hanya bilang, kamu menangis seperti orang bodoh," ulangnya. Yasmin mendengus, berusaha menahan amarahnya. "Kamu serius mengatakan itu?" Bastian mengangkat bahu. "Bukannya menangis tidak akan mengubah apa pun?" Jemari Yasmin mengepal kuat. "Aku baru saja kehilangan segalanya. Wajar kalau aku menangis." "Bukannya kamu juga baru saja mendapatkan sesuatu?" Keningnya berkerut. "Apa maksudmu?" Bastian menatapnya langsung, lalu dengan santai berkata, "Status baru. Sekarang kamu adalah istriku, meskipun hanya di atas kertas." Yasmin tercekat. "Lagipula, kalau kamu tidak punya tempat untuk pergi, tetaplah di sini." Bastian mendorong tubuhnya dari meja, lalu melangkah menuju pintu. "Setidaknya, status istri bayaranmu masih berlaku." Tatapan Yasmin berubah dingin. "Kamu benar-benar bajingan," gumamnya. Bastian berhenti di ambang pintu, lalu menoleh sekilas. "Aku tahu," jawabnya ringan, sebelum akhirnya menutup pintu, meninggalkan Yasmin dalam keheningan yang membekukan. Gadis itu mengepalkan tangan, menatap pintu yang baru saja tertutup. Dada masih sesak, pikirannya masih berantakan. Tapi satu hal yang ia sadari—ia tidak bisa terus tenggelam dalam kesedihan. Jika Bastian menganggapnya lemah, ia akan membuktikan bahwa ia tidak selemah itu. Yasmin bangkit dari tempat tidur, matanya bersinar penuh tekad. "Aku akan membalas mereka." ***21)Ponsel itu kini tergeletak di atas ranjang, terhubung dengan kabel charger yang sudah dilepaskan. Lampu layar menyala penuh.Yasmin menatapnya, jantungnya sedikit berdebar. Ada rasa takut. Ada rasa penasaran. Tapi ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi semua ini. Ia tak bisa terus-terusan lari dari semua masalah yang sedang terjadi. Ia menghela napas panjang. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu.Satu per satu notifikasi mulai berdatangan begitu ia membuka layar. Puluhan pesan. Dari berbagai orang. Dari berbagai aplikasi.Yasmin mengabaikan semuanya untuk sekarang. Fokusnya hanya satu yaitumencari tahu kabar tentang butiknya.Ia membuka aplikasi pesan, mencari nama yang selama ini selalu jadi sandarannya."Mey …," bisiknya lirih, merasa sedikit lega saat menemukan nama itu.Tanpa banyak berpikir, Yasmin menekan ikon telepon.Nada sambung berdentang di telinganya, membuatnya semakin tegang.Satu detik. Dua detik. Tiga detik.“Halo?” Suara di seberang langsung
20)“Jadi, kamu nggak ada niat honeymoon sama sekali?”Randy meletakkan sendok garpu di sisi piringnya. Restoran tempat mereka makan siang kala itu cukup mewah, dengan lampu gantung kristal yang mengayun pelan di atas meja bundar berlapis linen putih. Bastian menyesap kopinya, tenang.“Honeymoon itu buang waktu, Pa.”“Buang waktu?” Randy menaikkan alisnya. “Kamu nikah buat kerja atau buat hidup?”“Dua-duanya,” jawab Bastian datar.“Banyak proyek besar yang sedang antre untuk aku tangani. Jadi, aku nggak bisa ninggalin semuanya ke tim. Beberapa kesepakatan butuh aku sendiri yang handle.”Suara Randy mengembus napas panjang. “Tapi kamu baru saja menikah, Bastian. Gimana dengan Gita? Apa dia baik-baik saja saat kamu bilang akan masuk kerja lagi?”Bastian hanya mengangkat bahu.“Entahlah. Dia nggak berkomentar apa pun. Lagipula, Gita bisa tinggal dan istirahat di rumah dengan nyaman, Pa. Aku pastikan semua kebutuhannya terpenuhi.”“Dan kamu?” tanya Randy lebih pelan.Alis Bastian sedikit
19)Tangan Yasmin masih memegang kardus besar itu ketika matanya terpaku pada lemari putih di hadapannya. Permukaannya mengilap, dengan ukiran lembut di tepinya. Ia membuka salah satu pintu lemari itu perlahan, aroma kayu dan sabun pelembut kain menyeruak keluar, menyambutnya dengan hangat."Pelan-pelan, Yasmin," gumamnya sendiri, menahan napas panjang.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai memindahkan satu per satu bajunya dari dalam kardus. Lipatan rapi, aroma lavender dari pengharum lemari yang dia sering pakai di rumah semuanya mengoyak memori. Ada sehelai sweater biru tua, pemberian sang Mama. Sebuah gaun putih yang ia beli sendiri saat berulang tahun ke-23. Ia menggantungkan setiap helai dengan hati-hati, seolah sedang merakit kembali identitas yang sempat tercerabut.Di dasar kardus, terselip sebuah pouch kecil berisi skincare dan makeup, maskara favoritnya, concealer yang hampir habis, lip balm yang sering ia pakai sebelum tidur. Ia tersenyum tipis, matanya sempat berkaca.
18)“Paketnya sudah sampai, Tuan,” ujar Mbak Rina sembari memegang kunci gerbang di tangannya. Napasnya masih tersengal, tanda ia baru saja menyambut truk yang datang.Yasmin berdiri terpaku di depan jendela, tangannya masih menggenggam mug cokelat panas yang belum sempat disentuh. Tatapannya tertuju pada petugas pengantar barang yang menurunkan beberapa koper dan kardus besar ke halaman rumah.“Kiriman dari Pak Pram, sepertinya,” gumam Bastian di sampingnya. Ia baru saja turun dari tangga, sudah mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan jam tangan perak di pergelangan kirinya.Yasmin mengangguk pelan. “Kamu kasih alamat ini ke Papa?” tanyanya tanpa menoleh.“Saya tulis semalam. Saya pikir kamu akan butuh barang-barangmu, cepat atau lambat.”Suasana jadi hening sesaat. Hanya suara burung dan derik roda koper yang terdengar di luar.“Saya minta kamu santai aja beresinnya,” kata Bastian lagi, nadanya lembut. “Kalau kamu butuh bantuan buat beresin ini semua, suruh aja Mbak
17)Suara pecahan kaca masih terngiang di telinga Bastian ketika ia mendorong pintu kamar tanpa pikir panjang. Jantungnya menghentak keras seakan akan meledak.Bastian mendobrak pintu begitu mendengar suara pecahan kaca. Napasnya memburu, matanya liar menyapu seluruh ruangan. Ia menemukan Yasmin sedang berjongkok di dekat meja rias, memunguti pecahan vas kaca yang berserakan di lantai.“Yasmin!”Langkahnya terhenti begitu melihat Yasmin berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca vas yang berserakan. Jemarinya gemetar, ada goresan merah di telunjuk kirinya, dan satu pecahan kecil masih menempel di kulitnya.“Astaga, Yasmin—jangan!”Bastian langsung menghampiri, meraih pergelangan tangan Yasmin sebelum ia sempat mengambil pecahan berikutnya. Sentuhannya membuat Yasmin tersentak, tubuhnya menegang, napasnya tercekat.“Aku… maaf,” gumamnya. “Tadi aku nggak sengaja—vasnya jatuh.”Bastian menatap mata Yasmin yang tampak lelah, sembap, tapi tak ada jejak histeria di sana. Hanya kesedihan y
16)Yasmin berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi. Kepalanya tegak, tapi ada air mata yang masih menetes pelan di sepanjang pipinya. Langkah kakinya terasa berat. Ia bahkan tidak sempat melirik ke arah barang-barangnya yang masih terserak di kamar.Bella masih duduk di sofa, tatapannya membakar punggung Yasmin dengan amarah yang belum juga reda. Tapi kini tak ada yang mendengarkannya lagi.Bastian menyusul Yasmin dengan langkah panjang, menyamai kecepatan wanita itu tanpa bersuara. Tak ada yang dikatakannya, tak ada nasihat atau teguran. Dia hanya berjalan di belakang, seperti bayangan yang setia mengikuti cahaya.Di dalam rumah, Pram masih berdiri. Pandangannya tidak beranjak dari wajah Bella yang tampak kalut, kusut, dan kehilangan kendali.“Kamu bahkan tidak berniat sedikit pun meminta maaf pada Yasmin” ucap Pram dingin. “Padahal kamu yang paling bersalah di sini, bukankah setidaknya kamu minta maaf padanya?”Bella mendongak, napasnya memburu. “Haruskah aku melakukan itu, Pram, sem