Share

Bab 8 Karena Ku Sayang

Ziya berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di depan UGD. "Gaeess, thankyou banget ya. Kalian hebat deh kek super hero yang pernah aku tonton waktu kecil," kelakar Ziya merangkul sahabat-sahabatnya yang bisa terjangkau.

Mereka mengerutkan dahinya bersamaan. "Apaan? Power rangers? Yeah, aku ranger merah. Merah kan berani!" sahut Sofyan memamerkan otot lengannya yang kecil.

"Ih bukan," tampik Ziya cepat.

"Apaan dong?" Kali ini Wahyu yang bertanya.

"Teletubbies, berpelukan!" seru Ziya memeluk teman-temannya. Membuat mereka menepuk jidatnya saling berpelukan.

"Ehm!" Suara deheman membuat keenam orang yang saling merangkul itu kalang kabut. Mereka segera saling melepas tautan lengan berpura-pura sibuk.

Ada yang sibuk mengoperasikan ponsel, padahal tidak ada notif apa pun. Ada yang menggaruk kepalanya, ada juga yang berpura-pura saling mengobrol.

Reza melipat kedua lengannya sembari menatap mereka tajam. Ziya pun hanya menundukkan kepala. Reza selalu melarang keras Ziya melakukan kontak fisik dengan laki-laki, siapa pun itu kecuali kedua kakaknya. Namun gerakan refleknya membuat gadis itu lupa jika ia ada di lingkup sang kakak yang judes dan galak itu.

"Apa-apaan kamu, Zii?" sentak Reza membuat Ziya semakin takut.

"Maaf, Kak," ucapnya pelan tidak berani menatap mata tajam kakaknya yang seolah hendak mengiris-ngiris tubuhnya.

"Apa kayak gini kelakuan kamu di luar rumah, hah?" Reza menarik napasnya. "Pulang sekarang!" imbuhnya berteriak. Tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikannya.

Mata Ziya sudah berkaca-kaca. Ia berlari meninggalkan teman-temannya sembari mengusap kasar air matanya. Segera ia melajukan motornya menuju ke rumah.

Tidak ada yang berani membantah atau menyanggah ucapan Reza. Mereka tahu, ucapan mereka tidak akan ada artinya di mata Reza.

Setelah menatap satu per satu para sahabat Ziya, Reza kembali ke ruangannya. Ia melepas jas kebesarannya, menyambar kunci mobil dan bergegas pulang.

Sampainya di rumah, Reza segera mencari adik perempuan satu-satunya itu. "Ziyaa!" panggil Reza berteriak di ruang tamu.

"Ada apasih, Bang?" Rio yang baru menuruni anak tangga turut terkejut mendengar teriakan kakaknya.

"Panggil Ziya ke sini. Kalau perlu seret dia!" serunya berkacak pinggang.

Rio mengernyitkan dahinya. Rasa penasaran bergelayut dalam sanubarinya. Tanpa bertanya lagi, ia segera menghampiri kamar adiknya. Mengetuk pintu.

"Dek, dipanggil Abang," ucap Rio.

Tak mendengar jawaban, Rio memutar handle pintu yang ternyata tidak terkunci. Nampak Ziya tidur tengkurap, menyembunyikan wajahnya di bantal.

"Dek," panggil Rio lagi menyentuh bahunya.

Ziya mendudukkan tubuhnya. Air matanya masih mengalir dengan derasnya. Dibentak-bentak di depan umum itu rasanya sesuatu.

"Ayo turun, nanti Bang Reza makin marah," ujar Rio lagi. Ziya mengangguk lalu mencuci wajahnya dan segera turun menemui kakaknya. diikuti oleh Rio.

Ziya menghela napas kasar. Ia sudah siap jika akan dimarahi kembali. Pandangannya terus menunduk.

"Tahun ajaran ini kamu harus kuliah!" tandas Reza dengan dingin.

"Tapi, Kak ...."

"Tidak ada tapi-tapian! 2 tahun kami membebaskanmu untuk bersenang-senang dengan pilihanmu. Sekarang saatnya kamu menuruti keinginan Kakak. Mau jadi apa kamu? Gaul sama temen-temen cowok, main rangkul-rangkulan segala!" tegas Reza membuat Ziya tidak berkutik.

Semua teman-teman Ziya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sehingga mereka tidak ada yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka bekerja pun untuk membantu orang tuanya.

"Ngerti nggak, Zi?" bentak Reza sekali lagi.

"Terserah!" sahut Ziya berlari kembali ke kamar.

Rio menelan salivanya. Sebenarnya tidak tega melihat adik kesayangannya dimarahi seperti itu. Rio segera menghampiri Ziya yang ternyata kembali meringkuk di ranjang.

"Zii," panggil Rio menyentuh bahu adiknya yang bergetar.

"Apa? Kakak mau bentak-bentak aku juga? Bentak aja, Kak bentak!" teriak Ziya menangis tersedu.

Mendengar penuturan itu, Reza masuk perlahan tanpa menimbulkan suara. Ia memberi kode pada Rio agar meninggalkan mereka berdua. Rio mengangguk dan menuruti sang kakak.

"Kak Reza nggak pernah sayang sama aku. Kak Reza jahat! Aku benci Kakak!" teriaknya tanpa membalikkan tubuhnya.

Terbesit rasa bersalah dalam hatinya. Ia memang keterlaluan. Tidak seharusnya bersikap seperti tadi.

"Dek," ujar Reza mendaratkan tubuhnya di tepi ranjang Ziya.

"Pergi!" pekik Ziya yang begitu mengenal suara itu.

Namun bukannya beranjak, Reza membangunkan paksa Ziya. Meski gadis itu terus meronta minta dilepaskan.

Grep!

Reza memeluk adiknya dengan erat. Ziya terus memukul-mukul dada Reza dengan kedua tangan mungilnya. "Aku benci Kakak!" ujarnya saat merasa lelah.

"Maaf." Reza mengecup kening Ziya.

"Kakak sangat menyayangimu. Kakak hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu. Dan lagi, Kakak hanya ingin menjagamu, Dek. Kakak nggak mau terjadi apa-apa sama kamu." Reza mengusap-usap punggung Ziya.

"Mereka temen-temen Ziya, Kak. Kami sudah lama berteman. Kakak juga tahu 'kan? Mereka tidak pernah jahatin Ziya. Mereka juga sama deperti kakak, selalu menjaga Ziya. Tapi Kakak selalu berlebihan!" gerutu Ziya dengan suara parau.

Reza mengembuskan napasnya kasar. Menurutnya nggak ada pertemanan yang tulus antara perempuan dan laki-laki. Ia sangat takut adiknya disakiti.

"Iya maafin Kakak. Kuliah ya, Dek. Kamu mau jadi apa? Dokter? Atau mau jadi pebisnis? Atau akuntan? Sudah saatnya kamu serius dengan kehidupanmu. Kakak nggak akan membiarkan kamu terus seperti ini. Semua demi kehidupanmu," ujar Reza dengan memohon.

Akhirnya Ziya melepas pelukannya, lalu mengangguk, "Tapi syaratnya Ziya masih boleh ketemu temen-temen Ziya. Dan Ziya masih boleh narik kalau senggang."

"Tidak, nanti kamu kecapean! Kalau sekedar main boleh saja.Tapi ingat, tetep ada batasannya." Mulai dengan nada yang tidak mau dibantah.

Ziya menyebikkan bibirnya. Mau tidak mau ia harus menuruti sang kakak. "Aku mau jadi dokter, Kak. Biar bisa pake jas keren kayak Kakak," ucap Ziya nyengir.

"Ck! Jadi dokter cuma ngejar jas doang?" sindir Reza mengacak rambut adiknya.

"Ya nggak juga sih. Hehe. Nanti kalau Kakak udah nikah biar bisa selalu ngobatin Ibu kalau lagi sakit," ucapnya.

"Baiklah persiapkan dirimu. Kakak yang urus semua pendaftarannya," ujar Reza.

Tak berapa lama ponsel Reza berdering. Rekannya yang bertugas di rumah sakit tempatnya mengabdi sedang ada urusan mendadak. Sehingga memintanya untuk menggantikan jam kerjanya.

"Kakak pergi dulu," pamit Reza terburu-buru.

"Baru sampe rumah udah pergi lagi," gerutu Ziya.

****************

Di rumah sakit, derap langkah perawat berlarian mendorong brankar dengan seorang pasien tak sadarkan diri, dari lubang hidungnya terus mengalir darah. Keluarganya turut mengikuti menyamakan langkah mereka diiringi isak tangis.

Mereka segera masuk ruang IGD untuk diperiksa, namun tidak membiarkan pihak keluarga mengikuti.

Beberapa saat kemudian, Dokter yang berjaga di IGD menghubungi Reza yang mana seorang dokter spesialis onkolog atau yang disebut spesialis kanker.

Reza bergegas ke IGD untuk menentukan tindakan pada pasien. Saat melihat wajahnya, ia merasa tidak asing.

"Dia?" gumam Reza.

Bersambung~

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status