Ketiganya kompak melihat ke arah sumber suara.
“Kamu kenapa sih? Kelihatannya senang banget kalau lihat Rena menderita,” tuduh Tora.
Belum sempat mendengar jawaban dari sang adik, seorang perempuan menggamit lengan Tora. Siapa lagi kalau bukan Tita yang sudah resmi menjadi istrinya.
“Kalian membicarakan apa sih?” tanya Tita.
“Oh, si murahan ini rupanya. Kamu masih minat godain suami orang??” pekik Tita.
“Jaga bicaramu, Tita.”
Bukannya mengindahkan ucapan sang suami, Tita malah berniat hendak menjambak rambut Rena. Beruntung Tora berhasil menepisnya.
“Ak-aku harus pergi sekarang, Fin. Males juga buat keributan di p
Rena mengerjapkan matanya berkali-kali. Tugas menyebalkan yang tidak dihargai oleh sang GM membuatnya terpaksa menginap di ruang kerja mewah itu. Ada beberapa bagian lagi yang belum diselesaikan. Namun tubuhnya hampir remuk karena melewatkan waktu istirahat malam yang seharusnya dipergunakan dengan baik. Kini Rena kembali melanjutkan kegiatan yang rasanya tak berfaedah tadi.“Aku tahu. Pasti dia sengaja buat aku kayak gini. Menderita dan semakin aneh aja tuh orang. Ngasih aku kerjaan berat setiap hari. Huf, syukurlah satu bulan udah terlewati,” ucapnya bermonolog ria. Tubuh mungil perempuan berusia 28 tahun itu mulai bergerak kian kemari. Dia membenahi dekorasi seperti keadaan semula. Sembari mengingat-ingat tata letak segala perabotan yang ada di ruangan tadinya.&
“Iya. By the way kamu ngapain kemari?” tanya Tora yang memanggil Rena barusan.Gadis itu mendesah pelan, “Tugas dari pak GM. Nganterin buket bunga plus parsel buah.”“What??” Tora mengerutkan dahinya.“Udah ah. Lagian panjang ceritanya kalau dijelasin. Dua bulan lagi aku juga resign dari sana kok, Kak,” jelas Rena yang malah membuat ucapannya semakin ambigu. Sadar bahwa sang kakak tingkat masih berkutat dengan tanda tanya di otaknya, Rena berusaha mengalihkan pembicaraan.“Aku minta maaf ya, Kak. Waktu itu kebawa emosi. Kak Tita jelas enggak suka banget ya sama aku. Dia benar-benar percaya sama rumor jelek yang didengarnya,” keluh Rena.Kekehan kecil lolos dari Tora, “Ya jelaslah dia percaya. Kamu cantik, seksi, cerdas. Perfect deh. Wajar aja kalau disebut penggoda atasan. Tapi mereka se
Bara menyugar rambutnya ke arah belakang. Gadis itu sudah terbaring tak berdaya di atas lantai. Bahkan betapa bodoh dirinya saat tak menyadari wajah pucat sang mantan sedari tadi. Tak berapa lama David— sang asisten GM pun sudah berada di ruangan.“Panggil dokterku sekarang!!” titah Bara. David mengerjapkan matanya berkali-kali. Memastikan bahwa indera pendengarannya tak bermasalah sedikit pun.“Dokter Anda?”“Iya. Cepat!!” Bara sudah berkacak pinggang hampir frustrasi.‘Ternyata Rena benar-benar penting di hati pria seperti Bara. Apa dia lupa kalau di hotel ini ada bagian tim medis?’ gumam David saat menyadari memang sedari awal perlakuan sang atasan begitu berbeda pada seorang Rena.&
Sang dokter mengerutkan dahinya sejenak, “Kenapa harus tes DNA, Pak? Dengan pemeriksaan darah saja sudah bisa mendiagnosa kalau pasien memang terserang tifus.” Bara hampir tersedak salivanya sendiri. Hanya karena dokter menjelaskan kata ambigu berupa pernyataan positif, sang GM itu lantas menciptakan alibinya sendiri. Setidaknya dia bisa bernapas lega karena harapan Rena tidak terjadi.“Pasien akan dirawat inap setidaknya sampai hasil pemeriksaan kembali normal,” papar dokter berkaca mata itu.“Lakukan yang terbaik, Dok.” Usai mendengar penjelasan dari dokter, Bara segera menuju ke ruangan Rena. Memastikan kondisinya baik-baik saja melalui perawat khusus yang dibayarnya.“Kabari saya perkembangan kesehatan pasien itu. Jangan kat
“Maksudnya ... Lupakan apa yang saya katakan tadi,” kata David yang segera membalikkan tubuhnya. Sungguh dia ingin menanyakan pendapat Rena tentang sang kekasih, namun dia lagi-lagi meragu.“Tak ada yang tak mungkin di dunia ini,” pekik Rena mengeraskan sedikit suaranya. Sang asisten GM itu berhenti sejenak. Bukan untuk menoleh, melainkan memikirkan ucapan Rena yang sudah terulang sebanyak dua kali. Kedua sudut bibirnya segera membentuk lengkungan. Sementara Rena yang baru saja kembali ke istana mungilnya segera melompat kegirangan di atas ranjang. Dia benar-benar merindukan aroma peppermint yang ada di kamar. Ya, aroma yang sama dengan parfum yang dimiliki oleh sang mantan yang selalu bersarang di hatinya sampai detik ini.***
Wanita yang masih berada di ruangan sang GM menampakkan senyum devil-nya. Bahkan sekarang tubuhnya tak berjarak satu sentimeter pun dari tubuh pria yang merupakan mantan Rena itu. Tangannya bergelayut manja pada sang GM.“Kekacauan apa yang kau lakukan??” bentak Bara pada sang mantan yang sudah berada di hadapannya.“Aku hanya melakukan tugas,” jawab gadis itu tanpa merasa bersalah.“Bohong, dia sengaja mendorongku,” rengek wanita yang masih tak melepas tangannya dari lengan sang GM.Rena hanya berdecih pelan menanggapi aduan yang tak benar tadi. Jelas sekali memang apa yang dikatakan hanya omong kosong belaka. Sementara sang wanita yang melihat belum adanya tindakan dari pria disampingnya, memilih untuk mengambil inisiatif. Lagi tangannya segera mendorong tubuh Rena. Beruntung gadis itu tak sempat terhuyung ke lantai karena mampu
Tubuh Rena seketika mematung saat melihat seorang pria tampan yang sudah dihiasi dengan bercak darah. Gadis itu menatap iba pada perempuan yang tak berdaya di sudut ruangan.“Ren, tolongin dia, hiks hiks,” isak Lidya—salah satu teman malam Rena. Kedua matanya melihat ke arah sosok yang ternyata dia kenali.“Okay, Lid. Dengerin aku ya, mending kamu pura-pura enggak peduli. Hapus air matamu, jangan sampek ketahuan madam Onci,” tukas Rena yang segera diiyakan oleh Lidya.BUGH!! BUGH!! Pukulan bertubi-tubi terus saja menyentuh pria tadi. Rena mendesis pelan membayangkan jika serangan itu mengenai wajah mulusnya. Beruntung dia mendapatkan kaca mata hitam d
[“Apa?? Percobaan pembunuhan katamu?”][“Iya, Pak.”][“Tunggu aku di ruangan beberapa saat lagi.”]Tuut ...Tuut ... Percakapan via udara itu berhenti seketika. Bella yang baru saja membersihkan tubuhnya langsung menatap nyalang ke arah Bara. Tentu saja dengan tatapan kebencian karena ucapan tak sengaja yang masih membekas di hati wanita itu.“Bel, aku ...”“Keep your tongue! Aku enggak butuh semua omong kosongmu. Aku terlalu bodoh karena mengharapkan hatimu. Berharaplah lukaku sembuh setelah ini. Karena kalau aku masih menyimpan dendam, jangan harap kau akan menemukan kebahagiaan.”“Where are you going?”“It’s none of your business, Adibara Erlangga.” Se