Rendi termenung di ruangan kliniknya. Kenangan bersama Dira terlintas. Dirinya baru empat bulan di tempatkan di Rumah sakit Bakti Husada ini. Selama tujuh tahun mengejar karir di kedokteran, jatuh bangun dalam kehidupannya. Tujuannya hanya ingin membuktikan bahwa dirinya mampu hadir dalam kehidupan Dira sebagai manusia yang mempunyai derajat dan martabat. Randi menyadari. Status keluarganya jauh di bawah Dira apalagi Sean. Tapi kini di hadapannya, Sean dan Dira telah bersatu dalam sebuah pernikahan. Rendi merasa dalam dilematis. Cintanya pada Dira tak pernah pupus."Pak , ada pasien selanjutnya." Suster penjaga mengagetkan Rendi."Iya, Sus, silakan selanjutnya ..." jawab Rendi.Masuklah Sonia. Dalam balutan busana hitam, berkaca mata hitam pula."Siang Dok."'Siang juga, silakan duduk." Rendi tak tertarik dengan penampilan Sonia yang serba glamor dan berbelahan dada rendah. Mini dres warna hitamnya tak membuat Rendi silap saat melihat paha yang mulus milik Sonia terpampang depan mat
Bab 18. Rencana Sonia"Brak! " Suara pintu mobil di banting keras-keras. Dira berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya. Nampak, Sean terburu-buru mengejar Dira. "Tunggu Dira! dengarkan penjelasanku ini," "Aku tak mau mendengarmu Mas, hatiku sudah cape, lagi-lagi dia , dia lagi, aku muak Mas!!" Dira langsung masuk ke dalam kamarnya. Tak menyadari dua orang wanita dalam keadaan berantakan, berdiri saling menatap tajam.Sean memperhatikan mereka. "Kalian kenapa? Berantem?""Dia yang mulai Pak!" teriak Mbak Murni sambil menuding Dewi."Kau, dulu yang mulai!" Dewi teriak pula tak mau kalah."Murni! Dewi! Sudah cukup. Selesaikan urusan kalian . Aku tidak mau tahu!" Sean meninggalkan mereka dan masuk kamar menyusul Dira.Sepeninggal tuan rumahnya. "Dengar, aku akan bilang sama Pak Sean, siapa kamu sebenarnya. Dasar pembohong. Kau bukan mahasiswa, kau ingin menghancurkan keluarga ini kan?!" tuduh Mbak Murni pada Dewi."Terserah kau, Pak Sean tidak akan percaya padamu. Paham!" Dengkus Dewi da
Dira menatap lagi bintang-bintang malam ini, Sean pulang terlambat, tak ada pemberitahuan dari suaminya itu."Bu, ayo. Masuk, udara malam ini sangat dingin." saran dari Mbak Murni yang khawatir melihat majikannya menunggu suaminya pulang."Suamiku belum pulang Mbak, dan tidak telepon dari siang tadi. Apakah dia marah bila saya cemburu Mbak?" tanya Dira pelan."Wajarlah, Ibu marah pada Bapak, karena terdapat foto bersama perempuan lain.""Tapi, Mas Sean bilang tak begitu kenyataanya. Yang aku heran kan Mba, mengapa wanita itu lagi, Apa ada sesuatu di balik hubungan mereka Mbak?"Mbak Murni tak menjawabnya. Baginya untuk urusan intern keluarga majikannya dirinya tak berhak terlalu dalam berurusan."Sudahlah, Bu. Ayo masu dulu. Kasihan Dede yang di dalam perut ibu, Ayo Bu." Mbak Murni, menggandeng tangan Dira pelan. Dira, mengikuti saja apa yang Mba murni katakan. "Aku tunggu Mas Sean di ruang tamu saja Mbak, kalau Mbak Murni cape, istirahat sajalah, saya tidak apa-apa sendirian di sin
"Sudahlah, jangan kau ingat lagi luka hatimu yang dulu." saran Dokter Rudi."Aku ingin melupakan, tapi hati dan fikiranku tak bisa berpaling darinya.""Buka hatimu lah, buat seorang wanita yang kau sukai. Apa Resti tuh, belum punya gandengan, dan juga orangnya manis dan cantik." Rudi mulai meledek, menyebutkan nama Resti salah satu dokter anak, di Rumah sakit di mana Rendi bekerja."Iz, itu sih beda lah, aku tak bisa menjangkau dokter primadona di sini, Rud." "Ha .. ha ... Lalu mau kamu sama siapa? Tuh ada Bu shanty, janda kembang kantin ini, ya nggak Bu ..." gurauan Rudi, nimbal ke Bu shanty pemilik kantin rumah sakit. Janda beranak empat."Ah, apa lagi nih? Pasti obrolan Dokter jomblo cari pasangan. Nyari yang janda Dok?" timpal Bu shanty sambil bercanda dengan Dokter-Dokter muda tersebut.Rudi dan Rendi tertawa renyah.*** Dira, hari ini hanya berdiam saja di kamarnya. Pertemuan ke berapa kali dengan wanita bernama Sonia itu membuatnya sebal dan tidak mood hari ini. Dari mana wa
"Tidak! tidak!" Dira menangis histeris. dalam kamar rumah sakit, kecewa dan rasa sakit mendera batinnya.Saat itu juga Sean pulang, meninggalkan dua rekan kerjanya.Dengan tergopoh Sean masuk ke dalam kamar rumah sakit. memeluk Dira, istrinya. Tangis Dira semakin pilu. semua keluarga besar berduka atas hal ini.Mbak Murni, tak bisa menaruh curiga pada Dewi. karena alibinya, sedang banyak keluarga di sana. bisa juga anak-anak yang sedang bermain. menumpahkan minyak.Sonia tertawa terbahak, rasanya nikmat sekali melihat rivalnya dalam kesakitan.Dewi diam, antara takut dan senang. takut bila perbuatannya ada yang melihat, dan senang karena tambahan uang imbalan dari Sonia. "Bagus, Dewi. Kau bisa di andalkan. sekarang pergilah, ini upah mu." Sonia melempar beberapa jumlah uang di hadapan Dewi. Dengan berat hati, Dewi memungut uang-uang tersebut. Bila ada pekerjaan lain, pasti aku akan memilihnya, tidak seperti ini ... batinnya nelangsa. Keluarganya membutuhkan uang-uang ini, adiknya but
Dira duduk bercermin, wajahnya semakin kuyu. Tak ada cerah sedikitpun pada wajahnya. Sean masuk kamar dan memeluk Dira dari belakang. Terasa kurus tubuh istrinya dalam pelukannya. "Apa yang kau pikirkan? Janganlah berlarut dalam kesedihan. Aku ikut melihatmu." bisik suaminya di telinganya.Dira tersenyum, hambar, "Maafkan aku, Mas. Bukan bermaksud membuatmu pilu. Aku tahu apa dalam hati dan pikiranmu. Aku paham." Dira membawa tangan suaminya dalam dekapannya."Mas Sean, menyesal menerima perjodohan ini?" tanya Dira serius."Tidak, mengapa tiba-tiba, kau tanyakan itu? Apa perhatianku, membuatmu bimbang?"Dira tersenyum dan membalikkan badannya hingga kini mereka saling berhadapan."Di luar sana banyak, bunga cantik dan mekar mempesona. Wanginya semerbak dan berwarna cantik," Dira tersenyum."Tapi, kau bunga yang paling cantik.""Benarkah? Cantik mana aku dengan Sonia?"Sean tertegun, "Mengapa kau bandingkan dengan dia? Dia tak ada apa-apanya di bandingkan dengan Nadira Saptarini. Istri
Sesampainya di rumah, ternyata terjadi sebuah insiden di dalam rumah, Mbak Murni sedang memegang erat seorang laki-laki, rambut keriting. Melihat kedatangan Dira dan Dewi, lelaki asing yang hendak masuk diam-diam ternyata ketahuan oleh Mbak Murni. Mbak Murni yang pemberani, terus memukuli penyusup tersebut, bahkan sebuah panci bergagang ada di sebelah tangannya, sebagai senjatanya.Dewi segera membantu Mbak Murni, tapi lelaki penyusup tersebut sudah pergi menjauh melewati pagar sebelah. Kabur lewat atap rumah tetangga, sehingga tak terkejar.Dira hanya mengelus dadanya yang sesak. Tubuh Dira lunglai jatuh di dekat pintu mobil.Untung Pak Sopir segera menolong Dira."Bu Dira!" teriak Dewi dan Mbak Murni bebarengan.Dira terbaring di ranjang dalam kamarnya. Mengerjakan matanya, mencoba mengingat apa yang telah terjadi."Aduh , kepalaku pusing." keluh Dira sambil memegang pelipisnya."Bu Dira, syukur sudah siuman." kata Mbak Murni pelan."Saya kenapa , Mbak?""Bu Dira, pingsan waktu tur
Sean mengebrak mejanya kuat-kuat."Aku sudah muak dengan bualanmu, jadi pergi dari sini!" Sean mengusir David."Beneran nggak tertarik dengan foto ini, lihat istrimu berkencan kembali dengan masa lalunya." David menyerahkan foto tersebut, "Untuk kenang-kenangan ..." ujarnya menghina Sean dan meninggalkan Sean sendirian dalam ruangan kerja yang sempit.Sean nampak merah wajahnya , menahan amarah yang terkadang ingin memukul jwah David. Namun selalu diurungkannya. Lelaki macam David, bila di ladeni makin besar kepala.Sean melirik foto tersebut. Terlihat istrinya tampak sedang bercanda dengan dokter Rendi. Walau hatinya, terasa panas. Namun akal warasnya, masih bisa di kuasainya.Waktu berlalu. Kegiatan Dira cukup menyita waktu, kedekatan Dira dan Dewi lebih dekat. Perubahan sikap dan sifat Dewi terbentuk. Dewi tampak sudah terlihat lebih sopan dan beradab.Mbak Murni pun sudah terlihat tak terlalu banyak curiga pada Dewi. Malam ini, Sean pulang lebih awal. Dirinya ingin mengajak Dira