Share

2. Kebaikan Tanpa Pamrih

Entah sudah bermimpi apa Araya semalam, sampai-sampai ia sudah mengalami hal-hal tidak mengenakan sepanjang pagi ini.  Pertama karena ceramah Adnan serta peringatannya yang terus terngiang di telinga. Lalu sekarang? Araya harus terus menunduk sedari tadi sambil mendengarkan cercaan demi cercaan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang sedang tidak mau berbaik hati. Wanita itu hanya mengenakan kaos pendek serta celana pendek selutut, bahkan rambutnya pun turut acak-acakan.

Tidak perlu disanggah, bahwa sudah jelas wanita itu juga bersalah karena menghentikan mobilnya tiba-tiba di tengah jalan. Siapa yang tidak akan kaget coba, tetapi sekarang kesannya seperti Araya yang paling salah di sini. Padahal Araya juga mendapatkan luka-luka di kaki serta pergelangan tangannya. 

Sehingga kejadian ini pun tentu saja menjadi perhatian para pengguna jalan. Mengelilingi Araya serta wanita tadi, dan beberapa kali pula Araya mendapat teguran tak berdasar dari orang-orang yang baru saja datang.

"Makanya, Dek, jangan kebut-kebutan di jalan. Itu gak baik, 'kan jadinya kecelakaan. Yang rugi diri kamu sendiri."

"Iya, dan untungnya kamu gak apa-apa."

"Kamu itu perempuan masih sekolah pula, harusnya jangan bandel!"

Begitulah kira-kira teguran yang harus Araya dengarkan hingga membuat kupingnya kepanasan. Jangan lupa, Araya itu tidak suka banyak berbicara dan ia paling tidak mau menjelaskan sesuatu kepada mereka yang tidak akan pernah mau mendengarkan.

"Lihat! Mobil saya jadi rusak! Kalau mau ke sekolah ya, sekolah aja. Jangan kebut-kebutan di jalan, sok berani kamu, ya. Memangnya kamu sanggup ganti rugi kerusakan mobil saya? Masih baru ini mobil saya!" Wanita itu tidak henti menunjuk-nunjuk mobil merah miliknya. Tatapannya sudah memerah bahkan ekspresinya seperti ingin memakan Araya hidup-hidup.

Namun, Araya memilih setia untuk menunduk, sesekali melirik motornya yang juga rusak. Bibirnya spontan merengut memikirkan hal itu. Lampu depannya bahkan sampai pecah. Duh, apa yang harus Araya jelaskan kepada Bundanya nanti. Dan Adnan? Apa yang akan kakaknya lakukan jika tahu Araya mengalami kecelakaan? Habis sudah, Araya ingin tenggelam saja.

"Permisi, ini ada apa, ya?"

Pertanyaan seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiri kerumunan mengalihkan atensi mereka pada laki-laki jangkung tersebut, termasuk Araya. Sontak saja ke dua netra Araya ikut beradu pandang dengan si pemilik netra abu-abu itu. Mengamati sosok jangkung itu tanpa permisi, memakai jubah toga wisuda, wajahnya begitu tampan seperti pangeran di dunia dongeng. Masyaallah, sejak kapan jantung Araya bisa bertalu-talu sekencang ini di dalam sana? 

Sedangkan wanita paruh baya itu kembali menunjuk-nunjuk wajah Araya, membuat Araya terlonjak tentu saja. "Ini nih, dia kebut-kebutan di jalan sampai menabrak mobil saya! Dasar anak muda jaman sekarang! Bisanya cuma ngerusuh tapi gak mau tanggung jawab!" Seperti sudah kehilangan kesabaran, wanita itu terus saja mencerca Araya.

"Berapa ganti rugi yang harus di bayar memangnya?"

Deg! Araya mendongak seketika, menatap laki-laki itu yang kini sudah berdiri di hadapannya. Wajah manis gadis itu memerah, tetapi sarat penuh keterkejutan. 

Perempuan paruh baya yang entah bernama siapa itu tersenyum miring. Kemudian mengangkat tangan merentangkan ketiga jarinya. "Tiga juta!" ujarnya menekan setiap kata. 

"Dih, kok, mahal banget?" Protes Araya tiba-tiba, gadis itu sampai melongo tak percaya.

Sedang laki-laki dengan toga wisuda itu mengangguk-angguk saja. Seolah nominal uang yang disebutkan tadi bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan. Tentu saja membuat Araya tidak bisa hanya diam dan membiarkan bertanggung jawab atas kesalahannya. Namun, saat ia hendak berbicara, lelaki toga wisuda itu lebih dulu berucap, "Ya sudah, kalau begitu tunggu sebentar." Seiring perkataan itu selesai laki-laki itu pun berlalu.

Orang-orang mulai saling berbisik. Sedangkan Araya meneguk ludah berkali-kali, ia resah, tentu saja. Bagaimana bisa tiba-tiba ada seseorang ingin menolong sedangkan Araya tidak mengenal siapa orang tersebut. Membuat Araya lantas berpikir, apakah di kota metropolitan serta di dunia yang sudah semakin tua ini,  masih ada orang-orang pemilik hati luas? 

Lalu, bagaimana Araya harus menilai situasi saat ini? Apakah sesuatu yang baik dan perlu ia syukuri lalu dilupakan? Atau justru ini adalah benang merah dari kisah hidupnya di masa depan? 

Kening Araya berkerut, saat tanpa sengaja pandangannya berpapasan dengan sosok wanita pemarah tadi yang sedang menatap tajam ke arahnya. Araya tidak mau kalah, sehingga ia membalas melototi perempuan itu juga. Seolah berkata, apa lo?

Beberapa menit setelahnya, laki-laki bertubuh tinggi itu kembali seraya mengulurkan satu lembar check pada si wanita pemarah. 

"Ini ambil uangnya, dan jangan buat masalah lagi sampai bikin macet," tukasnya setelah satu lembar check tersebut beralih tangan. Dengan senyum merekah wanita itu, pun kembali memasuki mobilnya.

Kemudian satu per satu orang-orang yang menyaksikan mulai berlalu meninggalkan Araya serta laki-laki itu. Lalu tanpa diminta, pemuda yang entah bernama siapa itu membawa motor Araya ke pinggir jalan. Araya lantas mengikutinya dari belakang.

"Terima kasih sudah membantu saya bahkan sampai membayar ganti rugi. Tapi saya gak punya uang sebanyak itu untuk menggantinya sekarang," ujar Araya saat dirinya sudah berhadapan dengan lelaki tersebut. Terlalu malu, sampai akhirnya Araya hanya menunduk.

Tanpa Araya tahu justru lelaki itu malah tersenyum. "Nggak apa-apa, saya juga gak meminta kamu untuk membayarnya, niat saya membantu bukan mau kasih kamu beban."

Araya terdiam sejenak, ia mengangkat kepala menatap laki-laki teduh itu. Bagaimana bisa ada orang sebaik ini,  apakah ini yang disebut dengan kebaikan tanpa pamrih? Tentu saja tidak mungkin Araya melupakan kebaikannya begitu saja bukan?

Araya menggeleng. "Tapi saya tetap akan membayarnya setelah nanti saya punya uang. Saya janji."

Lelaki itu menarik satu sudut bibirnya tampak berpikir, kemudian berucap, "Baiklah, ganti saja uang saya dengan tidak kebut-kebutan saat mengendarai motor. Gak ... gak cuma motor bahkan mobil sekalipun."

Araya menghela napas kasar, pada akhirnya wanita pemarah itu sudah membuat orang lain percaya bahwa dirinya yang paling salah. Membuat Araya kembali dihunjam kesal.

"Saya memang salah karena kebut-kebutan, tapi wanita aneh itu juga salah karena tiba-tiba menghentikan mobilnya ditengah jalan, gimana saya gak nabrak coba!" Araya berujar dengan menggebu, ekspresinya bahkan sudah tidak setenang tadi.

Tanpa dikira hal tersebut membuat respons si lelaki berubah. Ia berdecak seraya berkacak pinggang. "Terus kenapa kamu tadi diam saja?"

"Gimana saya mau ngomong, semua orang juga udah terlanjur percaya sama wanita itu. Siapa juga yang mau dengerin penjelasan bocah bandel kayak saya? Lagian saya juga tahu kenapa wanita itu terus nuduh-nuduh saya, ya biar dia gak harus ganti rugi. Padahal tuh liat, motor saya juga rusak!" Araya menunjuk motornya yang rusak di bagian depan.

Lelaki itu menghela napas, kemudian menggeleng pelan. "Itu artinya saya yang rugi!"

Araya terkejut dengan respons itu, hingga membuatnya kembali menunduk. "iya ya, harusnya gak perlu sampai ganti rugi ... maaf," katanya pelan.

"Saya gak mau tahu, kamu harus ganti rugi! Karena saya memberikan uang kepada orang yang juga salah!" sesal lelaki itu, ekspresinya berubah dingin.

Membuat Araya menelan ludah karena gugup, hingga sesekali menggigit bibir bahkan tangannya sudah berkeringat dingin. "Tapi saya gak punya uang." Araya memang tidak punya uang sebanyak itu, tetapi ia juga tidak mau meminta kepada Bundanya atau pun Adnan. Karena ini kesalahannya, Araya harus bertanggung jawab. Tapi bagaimana caranya?

Namun, dalam beberapa detuk ekspresi laki-laki itu berubah. Diiringi senyuman lantas ia pun berucap, "Ya sudah, nggak apa-apa. Ganti uang saya dengan tidak lagi diam saat memang kamu bukan satu-satu nya orang yang paling salah! Biarkan mereka gak percaya, setidaknya bicara dan bela diri kamu sendiri apa adanya. Bukan diam, dan membiarkan diri kamu diperlakukan se-enaknya. Mengerti, Araya?"

Araya menutup bibirnya rapat-rapat, menatap lekat iris abu-abu milik lelaki itu. Perkataannya membuat Araya diam seribu bahasa. Desiran aneh mengetuk hatinya tiba-tiba, jantungnya kembali berdebar seperti tadi. Sampai-sampai ia seperti merasakan ada kupu-kupu ikut menari di dalam perutnya. Membuatnya jadi merasa mual.

Perasaan apa ini?

Beberapa menit setelahnya, lelaki dengan toga wisuda itu tersenyum kecil, kemudian melipir meninggalkannya.

Tin Tin!!

Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Araya. Atensinya tertahan saat beradu pandang dengan lelaki itu di sana. Tersenyum seraya melambaikan tangan padanya di balik kemudi. 

Sampai akhirnya Araya tersadar akan kalimat terakhir yang lelaki itu ucapkan.

"Eh, bagaimana dia tahu namaku?" gumamnya heran. Sampai pikirannya menerka yang aneh-aneh. Menuduhnya, apa mungkin lelaki itu bisa membaca pikiran?

Hah, Araya menggeleng. Tentu saja itu tidak mungkin. Kemudian tanpa sengaja, Araya menemukan name tage yang terapit di kerudungnya. Membuatnya paham, dari mana lelaki itu bisa tahu namanya.

"Araya Maharani." Araya tersenyum menyebut namanya sendiri seolah lupa akan hal apa yang baru saja menimpanya.

Tidak lama kemudian Araya merogoh ponselnya di dalam saku. Mencari nomor seseorang, lalu menekan tombol panggilan saat nama 'Fahri' sudah ia temukan.

To be continued ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status