"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.
Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram.
"Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.
Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangannya lantas beralih pada jendela lalu berganti ke arah pintu. Namun yang dicari tetap saja belum memperlihatkan batang hidungnya.
"Araya Maharani?" Bu Roida memulai absensi, sementara pemilik nama yang dipanggil tidak menyahut. Pandangan seluruh murid pun sontak mencari keberadaan Araya. Namun ternyata gadis tersebut tidak ada di dalam kelas.
"Lah iya, kemana si Araya?" tanya Andra menoleh pada Fahri.
Fahri mengedikkan bahu. "Kalau gue tahu bakal gue jawab, Ndra," jawabnya to the point karena itu benar adanya.
"Fahri!"
Fahri mengalihkan atensi saat Bu Roida memanggilnya. "I—iya bu?" Setiap murid yang ditatap Bu Roida selalu merasa gugup. Pasalnya, Bu Roida merupakan guru yang sangat disiplin, galak, dan sekali saja membuat masalah di saat jam pelajaran beliau. Maka mau tidak mau sedikit kulit di bagian tubuh mereka akan dipelintir cantik oleh tangan Bu Roida.
"Besok minta teman kamu datang ke ruangan saya untuk mengerjakan tugas matematika di ruangan guru!"
Glek!
Perintah dari Bu Roida mampu mengeluarkan setetes keringat di pelipis Fahri. Cowok itu lantas mengangguk cepat, sampai akhirnya seluruh murid kembali fokus mendengarkan penjelasan dari Bu Roida. Tidak ada yang mau berkomentar atau sekedar mengeluarkan sedikit suara.
Tiba-tiba Fahri merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana pertanda adanya panggilan. Ia bernapas lega setelah mendapati nama 'Araya' tertera di layar ponselnya. Namun, tidak mungkin Fahri mengangkat panggilan di dalam kelas bukan? Maka dari itu, Fahri mulai berpikir bagaimana caranya ia bisa keluar dari kelas atas izin dari Bu Roida.
Fahri menyikut lengan Andra membuat Andra yang sedang sibuk menulis menoleh padanya. Mengangkat dagu seolah bertanya, ada apa?
Fahri mendekatkan wajahnya ke telinga Andra. "Gimana caranya supaya gue bisa keluar dari kelas tanpa berbohong?" tanyanya berbisik.
Sontak hal itu membuat kening Andra mengernyit. "Emangnya lo mau ngapain?"
Fahri menoleh ke arah Bu Roida terlebih dahulu sebelum ia memperlihatkan ponselnya kepada Andra di bawah meja. Andra yang akhirnya paham, lantas mengangguk.
Kemudian Andra merogoh sesuatu di dalam tas gendongnya, mengeluarkan sebotol bon cabe di sana. Fahri yang melihat sontak melotot padanya.
"Lo mau gue mati?" tanyanya tak habis pikir.
Andra tersenyum miring lalu meraih tangan Fahri dan menyimpan sebotol bon cabe tersebut di atas telapak tangan Fahri. "Satu-satunya cara biar gak ada kebohongan adalah dengan menyakiti diri sendiri. Soal lo mati atau enggak, itu urusan lo," ujar Andra tersenyum menantang.
"Kurang ajar lo! Nih gak usah, mending gue bohong sekalian!"
Andra menahan tawa. "Nah, gitu dong. Kali-kali buat cerita di masa SMA untuk dikenang di hari tua, meski tentang kebohongan sekalipun! Kalo soal baik mulu yang diceritain tar ngebosenin, tahu," katanya pelan sekali diiringi ekspresi menyebalkan.
Fahri merotasikan bola matanya, ia sudah tidak mau lagi menanggapi ucapan Andra. Bisa-bisa ia terbawa bandel oleh temannya itu. Ya, walau sebenarnya apa yang dikatakan Andra ada sedikit benarnya juga.
Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, Fahri mengangkat satu tangan. "Permisi, Bu."
Bu Roida yang tengah menulis lantas memutar tubuhnya melihat si murid yang memanggil. "Iya, kenapa?"
"Sa-saya izin ke kamar mandi, Bu."
"Lima menit, telat satu detik saja jangan masuk ke kelas lagi!" cetus Bu Roida tanpa berpikir panjang.
Membuat Fahri seketika mengangguk cepat. "Siap, Bu." Kemudian berlalu ke luar dengan napas lega.
***
Sementara itu di tempat lain. Araya uring-uringan sendiri karena Fahri belum juga mengangkat panggilan darinya. Bahkan pesan yang ia kirim pun belum sempat dibaca oleh Fahri. Hari sudah siang, pelajaran di sekolah pasti sudah dimulai. Lagi pula jika dipikir lagi, kenapa Araya harus merepotkan Fahri, sih? Tentu saja Fahri tidak bisa mengangkat telepon darinya, jam pelajaran Bu Roida pasti sedang berlangsung saat ini.
Araya menatap nanar motor kesayangannya. Sudah lecet, dan harus segera diperbaiki. Bahkan motor Mio berwarna putih itu sampai mogok.
"Kenapa sih, harus mogok? Salah gue sama lo apa, Tor?" Araya menendang ban motornya pelan. Lalu mengusap wajahnya kasar.
"Bukan motornya yang salah, lo aja yang ceroboh!" Suara seseorang menerebos gendang telinga mengalihkan atensinya.
Kedua matanya membelalak saat menemukan sosok Fahri berjalan ke arahnya. "Fahri, lo baca pesan gue?" tanyanya tidak percaya. Dikarenakan Fahri tidak mengangkat panggilan darinya maka Araya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Fahri. Sekedar memberitahu keberadaannya.
"You think?"
Araya bernapas lega, "Syukurlah, tapi gimana lo bisa keluar sekolah? Sekarang 'kan pelajarannya Bu Roida?"
Fahri memilih tidak menjawab, pandangannya memindai ke sekitar. Araya dengan wajahnya yang suram serta motor Araya di bagian depannya rusak. Pantas saja, Araya terlambat datang ke sekolah.
"Kenapa bisa kayak gini?" tanyanya dengan tatapan tak bersahabat.
"Takdir."
"Tapi takdir bisa diubah kalo lu hati-hati, Ya."
"Ya udah iya, gue ceroboh, gue kebut-kebutan. Jadinya kecelakaan!" jawab Araya sedikit ketus.
Tanpa merespons gadis itu Fahri segera mendorong motor Araya. Namun saat Araya hendak membantu, Fahri seketika menepis tangannya. "Gak usah, cukup jalan di belakang gue dan jangan kemana-mana. Gue ngawasin!"
Araya mencibir. "Bawel."
***
"Gue balik dulu ya, Nan. Dah sore nih, capek perasaan, wisuda tadi bikin kepala gue puyeng." Seorang pemuda yang merupakan sahabat lama Adnan keluar dari rumah, setelah mampir ke rumah Adnan untuk melaksanakan salat ashar sebentar.
Kening Adnan berkerut. "Padahal jangan dulu pulang kenapa? Masih siang juga."
Yang ditanya menengadah melihat langit mendung. "Bentar lagi hujan," katanya.
"Gue punya mobil, Nath. Nyantai lo pulang gue anterin."
Namun, laki-laki yang biasa dipanggil Nathan itu menggeleng. "Nggak deh, gak enak lama-lama di sini. Nanti kita ketemu lagi aja di luar, jadi lo jangan dulu balik ke Tasik. Sekalian sebelum gue balik."
"Maksud lo balik?" Adnan menghampiri sahabat karibnya itu, mengalihkan fokusnya kepada Nathan. Kedua pemuda itu saling berhadapan.
"Pulang kampung, mau lanjut kuliah di sana."
"Dan kampung yang lo maksud itu Jerman?"
Nathan mengangguk seraya tertawa kecil. Setelah itu keduanya terlibat percakapan sebentar mengenai kepergian Nathan ke Jerman beberapa minggu lagi. Padahal Adnan baru saja kembali bertemu dengan sahabat lamanya yang pernah ia temui saat Adnan pulang dari pesantren. Dan tidak sengaja bertemu Nathan disebuah halte kala itu. Terjadi percakapan seru sampai akhirnya mereka berteman. Karena Adnan maupun Nathan masih memiliki nomor ponsel masing-masing. Akhirnya Nathan menghubungi Adnan supaya datang ke acara wisudanya.
Setelahnya Nathan pamit undur diri, menyalami tangan Bundanya Adnan sebelum memasuki taksi online yang sudah dipesan.
Seiring kepergian taksi tersebut, deru kendaraan roda dua yang tentu saja sudah sangat Bunda dan Adnan kenal milik siapa, lebih dulu terdengar. Sosok Araya ada di motor tersebut tetapi sebagai penumpang, sementara yang mengemudi adalah sosok sahabat Araya yang sebelumya pernah Araya ceritakan pada Adnan di waktu sarapan tadi.
Tentu saja hal tersebut membuat Adnan menatap keduanya tidak suka.
"Kemana aja baru pulang?" Adnan menatap Araya dingin lalu melempar pandang ke arah sosok laki-laki di atas motor itu.
Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum menanggapi, lantas turun dari motor dan berjalan mengikuti Araya dari belakang.
Araya menunduk tetapi hatinya merasa lega. Namun, sungguh, Araya tidak akan pernah menceritakan tragedi tadi pagi pada Adnan maupun sang bunda. Untung saja kerusakan pada motornya tidak terlalu parah, sehingga saat dibawa ke bengkel tadi, motornya tidak sampai harus diperbaiki hingga berhari-hari. Meskipun harus tetap menunggu setelah pulang sekolah.
"Nggak apa-apa tadi ada ker—"
"Motor Araya masuk bengkel, Bang. Jadi diperbaiki dulu di sana. Makanya kita pulang telat." Fahri memotong perkataan Araya, membuat Araya refleks menginjak kakinya sehingga Fahri mengaduh sakit.
"Kok bisa masuk bengkel?" Adnan menatap Araya dan Fahri bergantian menunggu jawaban. Fahri hendak membuka suara lagi tetapi Araya lebih dulu memelototinya.
"Gak apa-apa, Kok. Tadi bannya kempes aja kena paku!" Setelah menjelaskan hal yang sesungguhnya tidak benar, Araya menyalami tangan Adnan dan Bunda kemudian memasuki rumah.
"Araya, tunggu Bunda sebentar," seru Bunda, mengikuti putri bungsunya.
Meninggalkan Fahri serta Adnan yang kini sama-sama terdiam. "Laki-laki sejati tidak akan pernah berbohong. Ayo ceritakan! Saya mau tahu apa yang terjadi," titah Adnan dengan tatapan intimidasi.
Meskipun Fahri sedikit gugup karena ditatap seperti itu sampai meneguk ludah berkali-kali, tetapi Fahri memilih untuk tetap bersikap tenang. Sampai akhirnya Fahri menjelaskan apa yang terjadi dengan Araya tadi pagi.
Berulang kali Adnan mengangguk, meski sesungguhnya di dalam hati ia merasa kesal kepada adiknya itu, tetapi kekesalannya tetap terkalahkan oleh rasa khawatir yang mendalam.
Adnan menepuk pundak Fahri, gestur yang memperlihatkan sarat akan makna. "Ya sudah, terima kasih karena menolong Araya. Tetapi akan jauh lebih baik kalau ... tetap jaga jarak dan jangan terlalu dekat! Karena apa? Kedua insan yang diciptakan dengan takdir tidak memiliki ikatan apa-apa oleh Yang Maha Kuasa, seharusnya tidak duduk berdekatan seperti di atas motor tadi, mengerti?" Meskipun pengucapan Adnan terdengar tenang. Namun, Fahri paham bahwa itu bukan sekedar perkataan biasa tetapi juga sebuah perintah dan mungkin termasuk peringatan.
Fahri menanggapi dengan anggukan kecil, kemudian pamit untuk pulang.
"Serem juga, untung calon kakak ipar."
To be continued ....
Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Tak!Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja."Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisa
Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.
8 Tahun kemudian ....Tasikmalaya _______ Embun bermunculan di antara rerumputan karena pagi sudah menjelang. Kicauan burung juga terdengar bersamaan dengan gemerisik daun yang tertiup angin pagi. Memberikan sensasi dingin untuk para pegiat pencari ilmu yang berjajar rapi berjalan di koridor pesantren menuju madrasah. Kota Tasikmalaya dikenal merupakan sebagai pusat keagamaan terbesar di Jawa Barat, karena memiliki lebih dari delapan ratus pesantren di penjuru wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga banyak sekali diminati oleh masyatakat luas untuk belajar agama di kota tersebut. Begitupun dengan salah satu pondok pesantren yang berada disalah satu desa yang cukup jauh dari kota kabupaten. Pondok Pesantren Al-Huseniyyah, tertulis di sebuah gapura besar yang menjadi gerban