Share

3. Peringatan Untuk Fahri

"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.

Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram.

"Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.

Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangannya lantas beralih pada jendela lalu berganti ke arah pintu. Namun yang dicari tetap saja belum memperlihatkan batang hidungnya.

"Araya Maharani?" Bu Roida memulai absensi, sementara pemilik nama yang dipanggil tidak menyahut. Pandangan seluruh murid pun sontak mencari keberadaan Araya. Namun ternyata gadis tersebut tidak ada di dalam kelas.

"Lah iya, kemana si Araya?" tanya Andra menoleh pada Fahri.

Fahri mengedikkan bahu. "Kalau gue tahu bakal gue jawab, Ndra," jawabnya to the point karena itu benar adanya.

"Fahri!"

Fahri mengalihkan atensi saat Bu Roida memanggilnya. "I—iya bu?" Setiap murid yang ditatap Bu Roida selalu merasa gugup. Pasalnya, Bu Roida merupakan guru yang sangat disiplin, galak, dan sekali saja membuat masalah di saat jam pelajaran beliau. Maka mau tidak mau sedikit kulit di bagian tubuh mereka akan dipelintir cantik oleh tangan Bu Roida.

"Besok minta teman kamu datang ke ruangan saya untuk mengerjakan tugas matematika di ruangan guru!"

Glek!

Perintah dari Bu Roida mampu mengeluarkan setetes keringat di pelipis Fahri. Cowok itu lantas mengangguk cepat, sampai akhirnya seluruh murid kembali fokus mendengarkan penjelasan dari Bu Roida. Tidak ada yang mau berkomentar atau sekedar mengeluarkan sedikit suara.

Tiba-tiba Fahri merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana pertanda adanya panggilan. Ia bernapas lega setelah mendapati nama 'Araya' tertera di layar ponselnya. Namun, tidak mungkin Fahri mengangkat panggilan di dalam kelas bukan? Maka dari itu, Fahri mulai berpikir bagaimana caranya ia bisa keluar dari kelas atas izin dari Bu Roida.

Fahri menyikut lengan Andra membuat Andra yang sedang sibuk menulis menoleh padanya. Mengangkat dagu seolah bertanya, ada apa?

Fahri mendekatkan wajahnya ke telinga Andra. "Gimana caranya supaya gue bisa keluar dari kelas tanpa berbohong?" tanyanya berbisik.

Sontak hal itu membuat kening Andra mengernyit. "Emangnya lo mau ngapain?"

Fahri menoleh ke arah Bu Roida terlebih dahulu sebelum ia memperlihatkan ponselnya kepada Andra di bawah meja. Andra yang akhirnya paham, lantas mengangguk.

Kemudian Andra merogoh sesuatu di dalam tas gendongnya, mengeluarkan sebotol bon cabe di sana. Fahri yang melihat sontak melotot padanya.

"Lo mau gue mati?" tanyanya tak habis pikir.

Andra tersenyum miring lalu meraih tangan Fahri dan menyimpan sebotol bon cabe tersebut di atas telapak tangan Fahri. "Satu-satunya cara biar gak ada kebohongan adalah dengan menyakiti diri sendiri. Soal lo mati atau enggak, itu urusan lo," ujar Andra tersenyum menantang.

"Kurang ajar lo! Nih gak usah, mending gue bohong sekalian!"

Andra menahan tawa. "Nah, gitu dong. Kali-kali buat cerita di masa SMA untuk dikenang di hari tua, meski tentang kebohongan sekalipun! Kalo soal baik mulu yang diceritain tar ngebosenin, tahu," katanya pelan sekali diiringi ekspresi menyebalkan.

Fahri merotasikan bola matanya, ia sudah tidak mau lagi menanggapi ucapan Andra. Bisa-bisa ia terbawa bandel oleh temannya itu. Ya, walau sebenarnya apa yang dikatakan Andra ada sedikit benarnya juga.

Dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, Fahri mengangkat satu tangan. "Permisi, Bu."

Bu Roida yang tengah menulis lantas memutar tubuhnya melihat si murid yang memanggil. "Iya, kenapa?"

"Sa-saya izin ke kamar mandi, Bu."

"Lima menit, telat satu detik saja jangan masuk ke kelas lagi!" cetus Bu Roida tanpa berpikir panjang. 

Membuat Fahri seketika mengangguk cepat. "Siap, Bu." Kemudian berlalu ke luar dengan napas lega.

***

Sementara itu di tempat lain. Araya uring-uringan sendiri karena Fahri belum juga mengangkat panggilan darinya. Bahkan pesan yang ia kirim pun belum sempat dibaca oleh Fahri. Hari sudah siang, pelajaran di sekolah pasti sudah dimulai. Lagi pula jika dipikir lagi, kenapa Araya harus merepotkan Fahri, sih? Tentu saja Fahri tidak bisa mengangkat telepon darinya, jam pelajaran Bu Roida pasti sedang berlangsung saat ini.

Araya menatap nanar motor kesayangannya. Sudah lecet, dan harus segera diperbaiki. Bahkan motor Mio berwarna putih itu sampai mogok. 

"Kenapa sih, harus mogok? Salah gue sama lo apa, Tor?" Araya menendang ban motornya pelan. Lalu mengusap wajahnya kasar.

"Bukan motornya yang salah, lo aja yang ceroboh!" Suara seseorang menerebos gendang telinga mengalihkan atensinya.

Kedua matanya membelalak saat menemukan sosok Fahri berjalan ke arahnya. "Fahri, lo baca pesan gue?" tanyanya tidak percaya. Dikarenakan Fahri tidak mengangkat panggilan darinya maka Araya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Fahri. Sekedar memberitahu keberadaannya.

"You think?"

Araya bernapas lega, "Syukurlah, tapi  gimana lo bisa keluar sekolah? Sekarang 'kan pelajarannya Bu Roida?"

Fahri memilih tidak menjawab, pandangannya memindai ke sekitar. Araya dengan wajahnya yang suram serta motor Araya di bagian depannya rusak. Pantas saja, Araya terlambat datang ke sekolah.

"Kenapa bisa kayak gini?" tanyanya dengan tatapan tak bersahabat.

"Takdir."

"Tapi takdir bisa diubah kalo lu hati-hati, Ya."

"Ya udah iya, gue ceroboh, gue kebut-kebutan. Jadinya kecelakaan!" jawab Araya sedikit ketus.

Tanpa merespons gadis itu Fahri segera  mendorong motor Araya. Namun saat Araya hendak membantu, Fahri seketika menepis tangannya. "Gak usah, cukup jalan di belakang gue dan jangan kemana-mana. Gue ngawasin!"

Araya mencibir. "Bawel."

***

Langit sudah mulai mendung sementara Adnan belum juga mendapati Araya  pulang ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Bahkan sudah beberapa kali pula Adnan berusaha menelpon Araya tetapi adiknya itu sama sekali tidak mengangkat panggilan darinya. Membuat Adnan semakin gelisah dibuatnya.

"Gue balik dulu ya, Nan. Dah sore nih, capek perasaan, wisuda tadi bikin kepala gue puyeng." Seorang pemuda yang merupakan sahabat lama Adnan keluar dari rumah, setelah mampir ke rumah Adnan untuk melaksanakan salat ashar sebentar.

Kening Adnan berkerut. "Padahal jangan dulu pulang kenapa? Masih siang juga."

Yang ditanya menengadah melihat langit mendung. "Bentar lagi hujan," katanya.

"Gue punya mobil, Nath. Nyantai lo pulang gue anterin."

Namun, laki-laki yang biasa dipanggil Nathan itu menggeleng. "Nggak deh, gak enak lama-lama di sini. Nanti kita ketemu lagi aja di luar, jadi lo jangan dulu balik ke Tasik. Sekalian sebelum gue balik."

"Maksud lo balik?" Adnan menghampiri sahabat karibnya itu, mengalihkan fokusnya kepada Nathan. Kedua pemuda itu saling berhadapan.

"Pulang kampung, mau lanjut kuliah di sana."

"Dan kampung yang lo maksud itu Jerman?"

Nathan mengangguk seraya tertawa kecil. Setelah itu keduanya terlibat percakapan sebentar mengenai kepergian Nathan ke Jerman beberapa minggu lagi. Padahal Adnan baru saja kembali bertemu dengan sahabat lamanya yang pernah ia temui saat Adnan pulang dari pesantren. Dan tidak sengaja bertemu Nathan disebuah halte kala itu. Terjadi percakapan seru sampai akhirnya mereka berteman. Karena Adnan maupun Nathan masih memiliki nomor ponsel masing-masing. Akhirnya Nathan menghubungi Adnan supaya datang ke acara wisudanya.

Setelahnya Nathan pamit undur diri, menyalami tangan Bundanya Adnan sebelum memasuki taksi online yang sudah dipesan.

Seiring kepergian taksi tersebut, deru kendaraan roda dua yang tentu saja sudah sangat Bunda dan Adnan kenal milik siapa, lebih dulu terdengar. Sosok Araya ada di motor tersebut tetapi sebagai penumpang, sementara yang mengemudi adalah sosok sahabat Araya yang sebelumya pernah Araya ceritakan pada Adnan di waktu sarapan tadi.

Tentu saja hal tersebut membuat Adnan menatap keduanya tidak suka.

"Kemana aja baru pulang?" Adnan menatap Araya dingin lalu melempar pandang ke arah sosok laki-laki di atas motor itu.

Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum menanggapi, lantas turun dari motor dan berjalan mengikuti Araya dari belakang.

Araya menunduk tetapi hatinya merasa lega. Namun, sungguh, Araya tidak akan pernah menceritakan tragedi tadi pagi pada Adnan maupun sang bunda. Untung saja kerusakan pada motornya tidak terlalu parah, sehingga saat dibawa ke bengkel tadi, motornya tidak sampai harus diperbaiki hingga berhari-hari. Meskipun harus tetap menunggu setelah pulang sekolah.

"Nggak apa-apa tadi ada ker—"

"Motor Araya masuk bengkel, Bang. Jadi diperbaiki dulu di sana. Makanya kita pulang telat." Fahri memotong perkataan Araya, membuat Araya refleks menginjak kakinya sehingga Fahri mengaduh sakit.

"Kok bisa masuk bengkel?" Adnan menatap Araya dan Fahri bergantian menunggu jawaban. Fahri hendak membuka suara lagi tetapi Araya lebih dulu memelototinya.

"Gak apa-apa, Kok. Tadi bannya kempes aja kena paku!" Setelah menjelaskan hal yang sesungguhnya tidak benar, Araya menyalami tangan Adnan dan Bunda kemudian memasuki rumah. 

"Araya, tunggu Bunda sebentar," seru Bunda, mengikuti putri bungsunya.

Meninggalkan Fahri serta Adnan yang kini sama-sama terdiam. "Laki-laki sejati tidak akan pernah berbohong. Ayo ceritakan! Saya mau tahu apa yang terjadi," titah Adnan dengan tatapan intimidasi.

Meskipun Fahri sedikit gugup karena ditatap seperti itu sampai meneguk ludah berkali-kali, tetapi Fahri memilih untuk tetap bersikap tenang. Sampai akhirnya Fahri menjelaskan apa yang terjadi dengan Araya tadi pagi.

Berulang kali Adnan mengangguk, meski sesungguhnya di dalam hati ia merasa kesal kepada adiknya itu, tetapi kekesalannya tetap terkalahkan oleh rasa khawatir yang mendalam.

Adnan menepuk pundak Fahri, gestur yang memperlihatkan sarat akan makna. "Ya sudah, terima kasih karena menolong Araya. Tetapi akan jauh lebih baik kalau ... tetap jaga jarak dan jangan terlalu dekat! Karena apa? Kedua insan yang diciptakan dengan takdir tidak memiliki ikatan apa-apa oleh Yang Maha Kuasa, seharusnya tidak duduk berdekatan seperti di atas motor tadi, mengerti?" Meskipun pengucapan Adnan terdengar tenang. Namun, Fahri paham bahwa itu bukan sekedar perkataan biasa tetapi juga sebuah perintah dan mungkin termasuk peringatan.

Fahri menanggapi dengan anggukan kecil, kemudian pamit untuk pulang.

"Serem juga, untung calon kakak ipar."

To be continued ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status