Share

5. Menyikapi Jatuh Cinta

Tak!

Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.

Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja.

"Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisah. Karena Bunda selalu mengatakan kepadanya bahwa, beristighfar dan mengingat Allah adalah cara terampuh untuk menenangkan hati.

Menghela napas, Araya lantas berdiri. Perempuan itu melangkah menuju kamar Adnan di sebelah kamarnya. Lantunan ayat suci al-Quran terdengar di dalam sana. Adnan sedang mengaji, apakah ia menganggu jika datang tiba-tiba?

Araya menggeleng, Adnan tidak seperti itu. Kakaknya itu sangat baik meskipun terkadang suka menyebalkan. Kemudian Araya kembali ke kamar, mengambil kerudung instan di dalam lemari lalu memakainya. Lalu menuju kamar Adnan dan mengetuk pintu.

Tidak lama, pintu terbuka. Menampilkan sosok Adnan dengan tatapan teduh. Kakaknya itu memang memiliki wajah yang sangat rupawan, hidung mancung, bertubuh tinggi, kulitnya putih. Ah, pokoknya setahu Araya, Adnan merupakan salah satu santri yang begitu dikagumi oleh kaum hawa di pesantren. Selain karena memiliki wajah yang tampan serta merupakan cucu dari Kyai besar di sana. Suara Adnan juga sangat merdu saat melantunkan ayat-ayat suci al-Quran. 

"Kenapa, Dek?" tanya Adnan memerhatikan adiknya yang sedari tadi diam.

"Boleh masuk?" Araya balik bertanya. Perasaan Adnan tenang seketika, rupanya Araya sudah tidak lagi menyimpan marah kesumat padanya. Akhirnya Adnan mengangguk membiarkan adiknya masuk lalu duduk di pinggir kasur besar miliknya.

Dilepasnya peci yang dipakai dan menyimpannya di atas meja dekat al-Quran, kemudian duduk di sebelah sang adik kesayangan.

Sebelum memulai pembicaraan Araya menyapu pandang sudut kamar Adnan. Jika dikenang lagi, dulu Araya sering tidur dengan Adnan saat ia masih kecil sebelum Adnan belajar di pesantren. Adnan itu seperti sosok ayah baginya. Sangat penyayang dan begitu peduli padanya. Walaupun sangat bawel dan posesif, bahkan sering sekali membuatnya kesal. Namun tak bisa dipungkiri, Araya tetap menyayanginya. Karena bagi Araya, bentuk kasih sayang Adnan itu unik.

"Udah gak marah, Dek? Udah baik-baik aja hatinya? Gak dendam kesumat 'kan jadinya?" tanya Adnan menoleh, menampilkan gigi putihnya saat ia sedikit bercanda.

Araya menggeleng. "Nggak ah, marah-marah mulu capek. Lelah tahu, Bang." Araya menaiki kasur, kemudian duduk menyila di sana. Lalu Adnan melakukan hal yang sama. Kedua kakak beradik itu saling berhadapan.

"Bang, cerita bentar boleh, ya?" tanya Araya.

Meskipun hubungan keduanya tampak renggang akhir-akhir ini. Namun Adnan tahu, hanya ia yang selalu menjadi tempat curahan adiknya itu. Dulu, setiap kali Adnan pulang dari pesantren untuk berlibur sebentar. Pasti Araya selalu menyambutnya pulang dengan wajah bahagia. Dan bukan oleh-oleh yang Araya tanyakan. Melainkan permintaan sederhana yang selalu Adnan dapatkan. Bang, dengerin ceritaku, yuk!

"Boleh, dong, cerita apa lagi yang mau Abang dengar dari kamu? Selain teman-teman menyebalkan kamu di sekolah atau tentang Bu Roida?"

Senyum adiknya mengembang, kedua matanya seketika berbinar. "Eh, tapi, sekarang kita temenan dulu yuk, Bang?"

Kening Adnan berkerut mendengar ucapan Araya. "Maksudnya?"

"Mm, iya jadi sekarang status kita bukan kakak adik dulu. Aku temennya Abang, Abang temannya aku. Mau, ya?" pinta Araya, berharap Adnan bersedia tanpa bertanya.

Adnan tampak menimbang permintaan Araya. Walau sebenarnya Adnan kurang begitu paham apa maksud dari adiknya itu. Namun sudahlah, Adnan ikut saja permintaan Araya. Lantas ia pun mengangguk mantap. "Silakan!"

Araya bersorak, lalu merentangkan tangan, beranjak hendak memeluk Adnan. Namun sebelum itu terjadi Adnan lebih dulu menahan kedua tangannya.

"Kenapa?" tanya Araya heran.

"Mau ngapain?" Adnan balik bertanya.

"Meluk Abang, lah."

Adnan menggeleng. "Gak boleh! Kita 'kan statusnya sekarang temenan. Kalo temenan berarti bukan muhrim. Jadi gak ada adegan peluk-pelukan!"

Hati Araya tercubit ditolak seperti itu. Ish! Kakaknya ini selalu saja, menyenangkan dan menyebalkan di waktu bersamaan.

"Abang!" Araya merengek, "Aku malu ditolak! Lagian 'kan tetep saudara kandung, jangan pake drama, deh." Araya merajuk cemberut.

Adnan tergelak. "Iya, iya, ya ampun marahnya, kayak baru kemalingan." Lagi, Adnan menggoda adiknya. 

"Bang, jatuh cinta itu rasanya gimana, sih?" tanya Araya memulai pembicaraan. Gadis itu lantas menunduk. Membuat pergerakan Adnan terhenti seketika.

Kini Adnan mengerti, kenapa Araya meminta hubungan keduanya sebentar menjadi teman. Karena Araya hanya ingin didengarkan bukan dipertanyakan.

Adnan tersenyum, sejenak ia mengingat seseorang. "Jatuh cinta, ya." Adnan menarik napas sebentar, kemudian melanjutkan, "Pertama, yang harus kamu tahu bahwa, cinta itu datangnya dari Allah. Cinta yang sebenarnya juga merupakan sebuah ujian, apakah dengan hadirnya cinta itu akan semakin mendekatkan kita kepada Allah. Atau justru cinta itu akan membuat kita berkubang dalam kemaksiatan. Tergantung dari bagaimana kita memperlakukan cinta itu sendiri."

"Begitu, ya." Araya bergumam, ternyata cinta bukanlah perihal rasa yang biasa tanpa aturan, yang sering ia dengar dari beberapa temannya ketika menikmati makan siang di kantin. Namun ternyata, cinta juga berperan besar dalam aturan agama. Tentang bagaimana cara mempelajari cinta dengan benar pun ada.

"Lalu jatuh cinta itu rasanya gimana? Araya gak paham," tanyanya lagi. Kali ini ia menatap Adnan. "Takut aja, kalau Raya suka sama seseorang tapi Raya sendiri nggak tahu gimana rasanya."

Entah kenapa, ada perasaan tidak rela saat adiknya membicarakan perihal cinta. Karena Adnan sadar, Adik kesayangannya ini tidak akan selamanya ia genggam, ia lindungi penuh ketulusan layaknya seorang ayah dan kakak untuknya. Karena suatu hari, Araya akan pergi bersama seseorang yang menjadi pelengkap hidupnya. Yaitu lelaki pilihan Araya, yang akan menggantikan kehadirannya.

Adnan menyuguhkan senyum, kemudian mengusap kepala adiknya. "Cinta itu rumit, Ya. Gak bisa ketebak rasanya seperti apa. Pokoknya ya, seneng aja." Bagaimana bisa Adnan menjawab, ia saja masih mempertanyakan tentang perasaannya untuk sosok perempuan yang berada di Tasikmalaya sana. Yang sudah beberapa kali datang mengisi pikirannya akhir-akhir ini. Astaghfirullah ... Adnan merasa sudah kelewat batas. Ini dosa!

Araya mengangguk-angguk, benar juga. Rumit rasanya, tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Namun yang pasti Araya tahu, bahwa ketika cinta itu ada, maka ia akan senang saat melihatnya. Seperti ketika Araya bertemu dengan sosok laki-laki yang sama di antara orang-orang yang menghakimi, justru laki-laki itu menolongnya tanpa pamrih. Dan di antara kendaraan yang berlalu-lalang, Araya tahu ia bahagia saat melihat laki-laki itu berada di seberang jalan. 

"Oke, oke, terus gimana caranya, supaya ketika cinta itu hadir, kita gak sampai menjadikannya alasan berdosa?" tanya Araya lagi. Cinta adalah anugerah dari Allah. Maka itu artinya, cinta tidak boleh ternoda oleh setitik dosa.

Adnan tampak berpikir sejenak. "Ada satu cara sebenarnya. Yang tentu saja cara itu di ridai oleh Allah. Obat cinta namanya," jawab Adnan yang seperti pakar cinta jadinya.

"Apa itu?"

"Mencintai seseorang hanya karena Allah, sehingga cinta itu terikat dalam pernikahan untuk mengikuti sunnah Rasulullah serta menyempurnakan  keimanan."

"Wow, pernikahan?" Araya membeo. Pernikahan masih, lah, jauh dalam list rencana perjalanan hidupnya ke depan. Karena tentu saja, Araya masih perlu banyak belajar lagi. Menuntut ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal di masa depan.

"Mm, sebentar! Oke tentang pernikahan lanjut nanti, deh, Araya masih mau belajar," katanya.

Adnan memegang kedua bahu Araya. "Pinter, tapi tetap mempersiapkan diri dari sekarang untuk pernikahan juga penting. Salah satunya  adalah, pemahaman tentang islam yang harus kamu pelajari lebih dalam. Jadi belajar di pesantren adalah tempat paling tepat untuk memperdalam ilmu agama."

Araya berdecak pelan, tidak pernah mengira pembicaraan ini akan berakhir pada pembahasan tentang pesantren. Walau sebenarnya yang dikatakan Adnan ada benarnya. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah, Araya belum siap mengikuti aturan ketat di pesantren.

"Lalu, kalau cinta itu benar-benar ada. Apa yang harus kita lakuin? Diam? Atau mengungkapkan?" Araya kembali bertanya untuk mengalihkan pembicaraan seputar pesantren.

Adnan beralih menggenggam tangan Araya. "Sebagai seorang perempuan yang sedang merasakan jatuh cinta. Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"

Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."

To be continued....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status