"Kau sudah basah, Laura ...." "Singkirkan tanganmu, Darren! Aku tidak sudi disentuh olehmu!" "Biar tubuhmu yang bicara," bisik Darren, sebelum jari-jarinya bermain di tubuh istrinya itu. **** Laura bukan janda biasa. Setelah ditinggal meninggal suaminya, ia mendapati kenyataan mengejutkan: ia diwariskan pada Darren, pria dingin yang ia anggap sebagai pembunuh suaminya. Bagi Darren, Laura adalah dosa terlarang, ia tidak pantas menginginkan istri sahabatnya. Namun, tiba-tiba sahabatnya meninggal dan mewariskan istrinya. Darren tidak pernah menyangkal hasratnya, ia menginginkan Laura sepenuhnya. Sementara Laura hanya ingin lari dari pria yang dibencinya itu. Berhasilkah Laura dalam pelariannya, saat setiap langkahnya malah menyeretnya mendekat hingga tenggelam terlalu jauh dalam hasrat liar suami wasiatnya itu?
view more"Lihat wanita miskin itu tidak merasa bersalah!" bisik seorang wanita paruh baya. "Baru dua tahun menikah, sudah membawa malapetaka!"
"Kudengar mereka sering bertengkar karena keluarga istrinya terus minta uang! Pantas saja suaminya stres sampai meninggal! Dasar tidak tahu diri!"
"Katanya ibu kandungnya juga meninggal karena dia!" Suara lain menyusul. "Benar-benar pembawa sial!"
Laura masih bersimpuh di tanah makam suaminya. Hujan turun dengan deras hari itu. Namun, derasnya hujan tidak cukup meredam suara-suara bergunjing di sekelilingnya.
Laura bisa mendengar semuanya. Setiap kata menancap dalam seperti duri yang tidak bisa dicabut. Tapi ia tetap diam menatap batu nisan suaminya, sampai suara yang paling menusuk datang dari Wanda, ibu mertuanya yang memang tidak pernah menyukainya.
"Sejak awal aku tidak pernah setuju Yusak menikah denganmu!" Wanda menunjuk Laura sambil melotot dengan wajahnya yang memerah penuh amarah.
"Harusnya kau yang mati, bukan Yusak! Sejak menikah denganmu, hidupnya menjadi kacau!" bentak Wanda yang terus memberontak saat beberapa orang menenangkannya.
Laura mengepalkan jemarinya. Pakaiannya basah oleh hujan dan tubuhnya menggigil, tapi ia bertahan tetap diam, walau hatinya berkecambuk mendengar semua tuduhan yang mengiris hati.
Benarkah ia pembawa sial? Ibunya meninggal, ayahnya tidak menginginkannya dan memilih selingkuhannya. Lalu sekarang suaminya juga meninggal. Apa itu salahnya?
Padahal mereka tidak pernah tahu bagaimana Laura bertahan dalam pernikahan ini. Ia melepaskan pekerjaannya demi merawat ayah Yusak sampai akhir hayatnya. Ia memasak, mencuci, melayani keluarga suaminya yang tidak pernah menganggapnya ada. Ia diam ketika dimaki. Ia bertahan dalam sunyi dan luka yang tidak pernah dimengerti siapa pun.
Tangan Laura gemetar saat melemparkan segenggam mawar putih ke makam suaminya. Bahkan tindakan sederhana itu saja membuat beberapa orang mencibir.
"Bisa-bisanya dia berpura-pura sedih,” gumam seseorang.
Laura memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang, sampai akhirnya ucapara itu selesai dan satu per satu orang mulai meninggalkan makam.
Wanda sempat melempar tatapan penuh kebencian, sebelum ia ikut pergi dari sana, menyisakan Laura sendirian di bawah hujan.
Sampai suara berat seseorang terdengar di belakangnya. "Ayo kita pergi dari sini! Kau harus pulang!"
Laura mendongak dan tatapannya bertemu dengan pria itu.
Darren Pratama.
Pria muda yang selalu terlihat dingin itu mengulurkan tangan padanya. Sahabat Yusak sekaligus bos di tempat Yusak dan kakaknya bekerja. Pria kaya raya yang dihormati dan disegani oleh seluruh anggota keluarga Yusak.
Tatapan Laura goyah menatap pria itu, seolah ada rasa bersalah yang terpendam, tapi akhirnya ia menyambutnya, satu-satunya tangan yang terulur padanya hari itu.
Perjalanan panjang kembali ke rumah tidak mengubah suasana hatinya. Darren tidak banyak bicara. Bahkan, saat mereka tiba di rumah dan Wanda mengusir Laura, pria itu tetap hanya berdiri diam.
"Anakku sudah meninggal! Tidak ada alasan lagi kau tinggal di sini!"
Wanda melempar koper kecil milik Laura.
"Pergi dari rumah ini dan jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi di depan keluarga kami!"
Laura menunduk, memeluk koper kecil berisi baju dan sisa martabatnya. Ia bahkan tidak diberi kesempatan bicara.
Belum sempat ia melangkah, mobil hitam lain berhenti di depan pagar. Seorang pria tua keluar, membawa map cokelat dan mengenalkan diri sebagai pengacara Yusak.
Suasana seketika tegang saat Laura akhirnya diijinkan masuk kembali ke dalam rumah. Semua orang menatap sang pengacara tua itu dengan penuh tanya.
Yusak masih muda dan bukan miliarder, mustahil ia membuat wasiat. Tapi semuanya terdengar nyata saat pengacara itu mulai berbicara.
Bahkan, mereka tidak mengijinkan Darren pulang karena ada nama Darren di surat wasiat Yusak.
"Pak Yusak datang kepadaku dalam keadaan yang kacau bulan lalu. Beliau menderita gangguan kecemasan yang tidak dijelaskan secara detail, tapi Beliau membuat wasiatnya."
"Ada dua hal yang disebutkan dalam wasiatnya. Pak Yusak punya sebidang tanah yang diwariskan pada ibunya, termasuk hutangnya karena tanah itu masih menyicil."
Wajah Wanda yang tadinya sumringah pun kembali cemberut saat harus melunasi hutang anaknya juga.
"Lalu ada wasiat penting juga untuk Bu Laura. Dan wasiat ini berhubungan dengan Pak Darren."
Jantung Laura mencelos. Ia melirik Darren. Tatapan mereka sempat bertemu sejenak, dan Laura buru-buru memalingkan wajah seolah takut akan sesuatu.
"Pak Yusak ingin agar Pak Darren mengambil tanggung jawab atas Bu Laura dan menikahinya."
Terdengar suara napas tertahan.
"Apa maksudnya? Ini tidak masuk akal! Wasiat macam apa ini?" pekik Wanda tidak terima.
Laura menggeleng cepat. Apa ini bisa disebut wasiat? Memberikannya pada orang lain layaknya barang?
"Ini bercanda kan? Aku tidak mungkin menikah dengan orang lain!" pekiknya.
Laura kembali menatap Darren, berharap Darren sama sepertinya, menolak wasiat gila ini. Tidak mungkin pria kaya dan terhormat seperti Darren bersedia mengambil janda sahabatnya sebagai istrinya sendiri.
"Anda juga tidak mungkin setuju dengan wasiat ini kan?"
**"Aku masih tidak bisa menghubungi Laura, Oscar. Aku akan pulang duluan, sedangkan kau serahkan video ini ke pengacara untuk segera diproses." "Aku tahu, Darren. Tapi apa yang akan kita lakukan pada Darwis sekarang? Aku sudah menelepon kantor, tapi Darwis tidak masuk kerja hari ini." "Sial! Akhir-akhir ini dia sering tidak masuk kerja. Dia sudah membuatku sangat emosi. Kalau dia masuk, langsung tangkap dia saja! Tahan dia dan biarkan dia menjelaskan semua di kantor polisi." "Aku tahu!" Darren dan Oscar baru saja melangkah saat ponsel Oscar berbunyi dan ia pun mengangkat telepon dari Marlin itu. "Marlin, ada apa meneleponku?" "Maaf menganggu, Pak Oscar. Tapi karena Anda tidak kunjung datang ke kantor, aku tidak bisa menunggu lagi. Aku sudah mengamankan Jay, aku mendengarnya menelepon dengan Pak Darwis tentang penggelapan uang perusahaan yang sedang Anda selidiki itu." Oscar membelalak lebar. "Jay? Jadi Jay juga bekerja sama dengan Darwis?" "Dan ada beberapa orang lagi, Pak." "A
"Kau di mana Darwis? Ada berita gawat. Sepertinya kecuranganmu di kantor sudah ketahuan."Jay, seorang teman kepercayaan menelepon Darwis pagi itu dan memberitahu apa yang ia dengar di kantor. Darwis pun mengepalkan tangannya geram. "Apa maksudmu, Jay?" "Laporan keuangan sedang dibedah langsung oleh Pak Darren. Perasaanku sangat buruk tentang ini. Mereka juga mencari info dari beberapa karyawan finance. Bahkan mereka membongkar laporan keuangan sampai tahun lalu." "Sial! Bagaimana itu bisa terjadi, hah?" "Aku tidak tahu, tapi kau harus antisipasi. Aku yakin mereka sedang mencari bukti untuk membawamu ke polisi, Darwis." Darwis kembali menggeram. "Kau bersamaku kan, Jay?" Jay mengembuskan napas panjangnya. "Aku tidak bisa membantu lebih, aku hanya bisa memberitahumu saja." "Aku tahu. Aku akan menransfer bagianmu nanti, tapi tetaplah tutup mulut!" "Aku akan melakukannya, tapi berjanjilah untuk tidak membawa namaku, Darwis." Darwis tersenyum sinis. Tentu saja ia bukan orang seba
"Apa ini, Oscar? Pesan dari siapa? Pelayan hotel? Apa yang mau dia katakan tentang Yusak?"Darren langsung mengernyit membaca pesan aneh itu. "Aku tidak tahu, Darren! Tapi jantungku mendadak berdebar kencang. Aku akan meneleponnya." Oscar pun buru-buru menelepon nomor Didik dan Ody langsung heboh melihat nama Oscar di sana. "Dia menelepon, Dik! Dia menelepon!" "Siapa?" "Pak Oscar!" "Cepat angkat! Biarkan aku bicara dengannya!" Ody mengangkat teleponnya dan Didik pun langsung bicara dengan Oscar. Pengeras suara sengaja diaktifkan oleh Oscar dan Darren juga merekam pembicaraan itu untuk antisipasi apa pun. "Halo, dengan siapa ini?" tanya Oscar begitu suara seorang pria terdengar di seberang sana. "Pak Oscar, akhirnya Anda meneleponku, aku sudah berkali-kali menelepon Anda." "Ya, cepat katakan ada apa karena aku tidak punya banyak waktu." "Aku tahu Anda adalah orang sibuk, Pak. Tapi aku benar-benar harus bicara dengan Anda. Aku ... aku Didik, aku adalah pelayan di hotel tempat
"Kau tidak apa, Pak?" "Kau tidak apa? Lihat mereka! Lihat mereka!" Didik dan Ody masih kesakitan di aspal setelah tubuh keduanya menghantam keras ke sana. Jalanan tidak ramai sampai Didik bisa mencuri lihat mobil apa yang menabraknya. Didik menahan napasnya sejenak di antara rusuknya yang mungkin patah. Tapi ia bersumpah melihat wajah Darwis di sana sedang menyetir sambil menoleh ke arahnya. "Akhh!" rintih Didik. "Kau tidak apa, Pak? Bawa mereka ke rumah sakit!" Suara orang-orang di sekitar terdengar lagi. Ia tidak mendengar suara lagi karena tidak lama kemudian, ia kehilangan kesadaran. Ia baru sadar saat ia sudah berada di rumah sakit dengan Ody yang duduk di sampingnya dengan kepala diperban. "Dik, kau sudah sadar? Bagaimana rasanya? Mana yang sakit? Kau masih mengenaliku kan?" tanya Ody cemas. Didik menelan saliva. Ia masih linglung sejenak, tapi wajah Darwis terukir nyata di otaknya. "Orang itu ... orang itu yang menabrak kita. Orang itu ... kakaknya Pak Yusak itu," lir
"Kau serius, Dik? Pria itu? Dia bilang dia kan kakaknya Pak Yusak! Jangan becanda!" Ody sudah naik sepeda motor bersama Didik pergi dari Luxterra, tapi mereka tetap mengobrol di sepeda motor. "Aku yakin, sudah kubilang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kan? Aku sudah mengamati dia sejak dia memasukkan sesuatu ke dalam gelas minuman yang entah milik siapa. Kacamatanya itu membuat dia mudah sekali dikenali." "Aku terus mencuri pandang padanya karena dia terlihat mencurigakan. Dia tidak melihatku, tapi aku melihatnya. Dia bertengkar hebat dengan Pak Yusak, lalu mereka masuk ke kamar dan Pak Yusak ditemukan meninggal. Aku terus merasa tidak tenang sejak itu," imbuh Didik yang merupakan pelayan di hotel tempat pesta Luxterra diadakan waktu itu. Didik sudah menahan dirinya cukup lama, ia bahkan begitu niat meminta rekaman CCTV di koridor dan tempat pesta. Cukup lama ia baru berhasil mendapatkannya, sebelum akhirnya ia berani datang ke Luxterra. Tujuannya adalah mencari Darren, pi
Darren tidak memberitahu Laura tentang kecurigaan penggelapan dana yang dilakukan oleh Darwis. Ia takut Laura akan cemas dan malah memberitahu Darwis, padahal Darren ingin bergerak diam-diam sampai Darwis tidak bisa mengelak lagi. Sementara Laura melakukan yang sama, ia juga tidak memberitahu Darren tentang kedatangan Darwis karena ia tidak mau merusak suasana yang sudah tenang ini, walaupun tidak dapat dipungkiri, ucapan Darwis lagi-lagi mempengaruhinya. Sudah tiga kali Darwis mengajaknya pergi. Padahal pergi adalah hal yang ia inginkan sejak awal, tapi sekarang ia terus menentang Darwis. "Kau tidak apa, Sayang?" Suara Darren membuat Laura tersentak kaget dan akhirnya tersenyum. "Ya, aku tidak apa." "Kau melamun sejak tadi." "Benarkah? Maafkan aku!" "Tidak masalah. Tapi Cia bercerita bagaimana kalian belajar dan bermain bersama sepanjang hari. Itu menyenangkan sekali." "Ya, dia anak yang pintar." "Aku berharap, aku bisa menemani kalian juga, tapi pekerjaan di kantor benar-b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments