Share

6. Si Pembeli Bunga Lily

Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.

Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar.

"Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan.

"Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."

Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya.

"Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep bersikap baik. Dan, ya, kuliah yang bener." Hanya kepada Araya saja Fahri mau berbicara banyak—meskipun jarang—itupun jika membicarakan hal-hal yang penting saja.

"Kenapa lo jadi kayak Bang Adnan, sih! Gue itu bukan anak kecil lagi, Ri. Gue juga tahu apa yang harus gue lakuin. Jadi lo gak usah khawatir karena gue bakal baik-baik aja." Araya berusaha meyakinkan, lantas perempuan itu menekuk kepala sembari meremas tangan.

Keputusannya untuk ikut Adnan ke Tasikmalaya tidak bisa lagi  Araya bantah. Sebab Fatimah—Bundanya—juga akan ikut. Masa, ia sendirian di Jakarta? 'Kan tidak mungkin. Masak sendiri saja Araya belum bisa.

Jeduk!

"Aduh!" Araya mengaduh seraya mengusap keningnya menabrak punggung Fahri, karena cowok itu tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Lo kenapa berhenti tiba-tiba, sih? Gue jadi kejeduk sama punggung tembok lo, 'kan!" protes Araya, lantas ia duduk di kursi panjang yang sudah disediakan di koridor.

Fahri tidak merespons, cowok berusia delapan belas tahun itu membalikkan badan. Kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Ada yang mau gue omongin sama lo, Ya. Sekarang aja ya, takut nanti lo keburu pergi," ujar Fahri, sungguh hatinya seakan tercubit saat mengatakan bahwa Araya akan pergi meninggalkannya. Walau masih di langit yang sama, hanha saja Fahri tidak mau berjauhan dengan Araya. Sudah tentu Fahri akan rindu, sedangkan tidak ada obat dari rindu selian bertemu.

"Apa, tuh?" Araya mengalihkan fokusnya kepada Fahri sedangkan cowok itu hanya menunduk menatap lantai.

"Terima kasih karena lo mau jaga diri lo, Ya, makasih karena mau memutuskan panasnya api neraka yang suatu hari akan membakar tubuh lo andai lo memilih gak pake jilbab. Gue seneng, lo nurut sama Bang Adnan. Gue lega dan ... pada hakikatnya perempuan akan jauh terlihat lebih cantik saat ia mau menutup auratnya. Sama, kayak lo, Ya." Fahri melanjutkan perkataannya di dalam hati.

Hening. Keduanya kini saling bersitatap cukup lama, sampai akhirnya Fahri memutuskan pandangan mereka.

Merasa canggung, apalagi Araya sama sekali tidak berujar apa-apa. Membuat Fahri menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Dah, ah, gue mau ke kelas dulu. Ambil buku yang gue pinjem di perpustakaan, bye." Setelahnya Fahri berlalu, meninggalkan Araya yang hanya bisa menatap sendu punggung Fahri yang semakin menjauh.

Perempuan itu menghela napas kemudian menopang dagu. "Fahri ... gak apa-apa kali, ya kalau gue pura-pura gak tahu. Karena gue gak mau persahabatan kita rusak hanya karena perasaan yang cuma sepihak. Huft!"

***

Gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu membawa kakinya melangkah menuju toko pernak-pernik yang berada tidak jauh dari lingkungan sekolah, dan toko tersebut  juga menjual pesanan buket bunga. Araya mendorong pintu hingga tidak lama setelahnya, seorang pegawai menghampiri lalu menyambut ramah kedatangannya.

Tersenyum, Araya lantas melusuri rak-rak yang menjual beberapa aksesoris untuk hijab. Araya meringis pelan saat melihat kotak peniti. Miris rasanya, bahkan Araya belum bisa memakai hijab syari segi empat yang benar-benar total menutup hingga dadanya. Karena yang selalu Araya pakai saat ini ya ... hijab instan biasa.

Tapi tidak apa-apa, seperti cinta yang katanya tidak instan untuk mendapatkannya. Maka begitu pula dengan proses hijrah memperbaiki diri. Semua harus memiliki proses, progres, hingga sukses. Sukses menggapai takwa dan sukses mendapatkan cinta dari-Nya. Sungguh, pelan-pelan hati Araya lembut setiap kali selalu mengingat-Nya. Apa ini, ya, yang disebut dengan sinyal hidayah dari-Nya?

"Nah, bagus, nih buat Bunda." Araya mengambil sebuah pin bunga mawar mekar berwarna perak. "Kalau dipake aku bagus, gak, ya? Kayak ibu-ibu, nggak, ya?" gumamnya lagi sendirian.

Gadis itu lantas berjalan ke dekat kasir untuk membayar. Namun sebelum sampai pada meja kasir, suara lonceng dari pintu toko yang dibuka lebih dulu terdengar. Angin berembus bersama dengan sepatu pentopel hitam mulai memasuki toko. Sinar mentari siang di balik jendela berhasil menutupi wajah itu, sehingga turut menghalangi pendangan Araya saat ingin tahu siapa yang baru saja datang.

"Mbak, saya pesan buket bunga lily, ya?" pesan laki-laki dengan stelan formal yang lantas disambut baik oleh Mbak Kasir.

"Baik, Mas."

Sementara itu Araya membeku, napasnya tercekat seketika. Suara berat serta tubuh jangkung itu, masih teringat jelas di kepalanya. Tentang bagaimana si pemilik fisik yang nyaris sempurna itu menolongnya tanpa pamrih, di antara orang-orang yang menghakimi.

Pelan, Araya melangkah mundur, bersembunyi di antara rak supaya tidak terlihat. Lagi pula bukan soal jantungnya yang saat ini sedang berdentum hebat di dalam sana, melainkan sebuah hutang sebanyak tiga juta yang harus Araya bayar padanya saat bertemu lagi. Walau pun laki-laki itu berujar ikhlas saat menolongnya. Namun tetap saja Araya merasa tidak enak hati. Rasanya malu, Araya tidak tahu harus bagaimana.

Samar-samar Araya mendengarkan percakapan antara laki-laki itu dengan Mbak Kasir. Sebuah bunga lily yang dikenang untuk ulang tahun mendiang sang ibu. Jemari lentik Araya meremas ujung rak, senyum tipis terpatri di bibir. Ya tuhan, kenapa manusia yang berhasil mencuri hatinya itu ada di saat Araya belum siap menghadapinya.

"Oi, lagi ngapain kamu?"

Sekali Araya memutar tubuhnya ke belakang, senyum yang semula terpatri luntur seketika. Berganti dengan ekspresi heran melihat seorang laki-laki dengan stelan santai melihat penuh ke arahnya.

"Ada apa, ya?" tanya Araya, ia sudah bersiap untuk pergi.

"Kamu lagi merhatiin dia?" Lelaki itu tersenyum miring sembari mengangkat dagu, menunjuk si pembeli yang sedang mengambil pesanan bunga lily.

Araya spontan menggeleng cepat. "Nggak!" Ia membantah.

Namun laki-laki yang entah siapa itu justru berdecih menyebalkan. Tubuh  yang semula menyender pada sisi rak itu lantas berdiri tegak. Ekor matanya melirik Araya sebentar sebelum akhirnya berucap lantang, "Nathan, ada yang merhatiin lo diem-diem, nih."

Mampus! Tubuh Araya menegang seketika, kedua bola matanya membulat sempurna. Tentu saja kepalanya langsung menoleh pada si yang dipanggil oleh cowok ngeselin ini.  Dan benar saja, Araya mau mati rasanya. Saat netranya beradu pandang dengan si lelaki pembeli bunga lily itu.

Ya salam, untuk hari ini saja, Araya ingin hilang dari muka bumi.

To be continued ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status