Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.
Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar.
"Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan.
"Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."
Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya.
"Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep bersikap baik. Dan, ya, kuliah yang bener." Hanya kepada Araya saja Fahri mau berbicara banyak—meskipun jarang—itupun jika membicarakan hal-hal yang penting saja.
"Kenapa lo jadi kayak Bang Adnan, sih! Gue itu bukan anak kecil lagi, Ri. Gue juga tahu apa yang harus gue lakuin. Jadi lo gak usah khawatir karena gue bakal baik-baik aja." Araya berusaha meyakinkan, lantas perempuan itu menekuk kepala sembari meremas tangan.
Keputusannya untuk ikut Adnan ke Tasikmalaya tidak bisa lagi Araya bantah. Sebab Fatimah—Bundanya—juga akan ikut. Masa, ia sendirian di Jakarta? 'Kan tidak mungkin. Masak sendiri saja Araya belum bisa.
Jeduk!
"Aduh!" Araya mengaduh seraya mengusap keningnya menabrak punggung Fahri, karena cowok itu tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Lo kenapa berhenti tiba-tiba, sih? Gue jadi kejeduk sama punggung tembok lo, 'kan!" protes Araya, lantas ia duduk di kursi panjang yang sudah disediakan di koridor.
Fahri tidak merespons, cowok berusia delapan belas tahun itu membalikkan badan. Kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Ada yang mau gue omongin sama lo, Ya. Sekarang aja ya, takut nanti lo keburu pergi," ujar Fahri, sungguh hatinya seakan tercubit saat mengatakan bahwa Araya akan pergi meninggalkannya. Walau masih di langit yang sama, hanha saja Fahri tidak mau berjauhan dengan Araya. Sudah tentu Fahri akan rindu, sedangkan tidak ada obat dari rindu selian bertemu.
"Apa, tuh?" Araya mengalihkan fokusnya kepada Fahri sedangkan cowok itu hanya menunduk menatap lantai.
"Terima kasih karena lo mau jaga diri lo, Ya, makasih karena mau memutuskan panasnya api neraka yang suatu hari akan membakar tubuh lo andai lo memilih gak pake jilbab. Gue seneng, lo nurut sama Bang Adnan. Gue lega dan ... pada hakikatnya perempuan akan jauh terlihat lebih cantik saat ia mau menutup auratnya. Sama, kayak lo, Ya." Fahri melanjutkan perkataannya di dalam hati.
Hening. Keduanya kini saling bersitatap cukup lama, sampai akhirnya Fahri memutuskan pandangan mereka.
Merasa canggung, apalagi Araya sama sekali tidak berujar apa-apa. Membuat Fahri menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Dah, ah, gue mau ke kelas dulu. Ambil buku yang gue pinjem di perpustakaan, bye." Setelahnya Fahri berlalu, meninggalkan Araya yang hanya bisa menatap sendu punggung Fahri yang semakin menjauh.
Perempuan itu menghela napas kemudian menopang dagu. "Fahri ... gak apa-apa kali, ya kalau gue pura-pura gak tahu. Karena gue gak mau persahabatan kita rusak hanya karena perasaan yang cuma sepihak. Huft!"
***
Tersenyum, Araya lantas melusuri rak-rak yang menjual beberapa aksesoris untuk hijab. Araya meringis pelan saat melihat kotak peniti. Miris rasanya, bahkan Araya belum bisa memakai hijab syari segi empat yang benar-benar total menutup hingga dadanya. Karena yang selalu Araya pakai saat ini ya ... hijab instan biasa.
Tapi tidak apa-apa, seperti cinta yang katanya tidak instan untuk mendapatkannya. Maka begitu pula dengan proses hijrah memperbaiki diri. Semua harus memiliki proses, progres, hingga sukses. Sukses menggapai takwa dan sukses mendapatkan cinta dari-Nya. Sungguh, pelan-pelan hati Araya lembut setiap kali selalu mengingat-Nya. Apa ini, ya, yang disebut dengan sinyal hidayah dari-Nya?
"Nah, bagus, nih buat Bunda." Araya mengambil sebuah pin bunga mawar mekar berwarna perak. "Kalau dipake aku bagus, gak, ya? Kayak ibu-ibu, nggak, ya?" gumamnya lagi sendirian.
Gadis itu lantas berjalan ke dekat kasir untuk membayar. Namun sebelum sampai pada meja kasir, suara lonceng dari pintu toko yang dibuka lebih dulu terdengar. Angin berembus bersama dengan sepatu pentopel hitam mulai memasuki toko. Sinar mentari siang di balik jendela berhasil menutupi wajah itu, sehingga turut menghalangi pendangan Araya saat ingin tahu siapa yang baru saja datang.
"Mbak, saya pesan buket bunga lily, ya?" pesan laki-laki dengan stelan formal yang lantas disambut baik oleh Mbak Kasir.
"Baik, Mas."
Sementara itu Araya membeku, napasnya tercekat seketika. Suara berat serta tubuh jangkung itu, masih teringat jelas di kepalanya. Tentang bagaimana si pemilik fisik yang nyaris sempurna itu menolongnya tanpa pamrih, di antara orang-orang yang menghakimi.
Pelan, Araya melangkah mundur, bersembunyi di antara rak supaya tidak terlihat. Lagi pula bukan soal jantungnya yang saat ini sedang berdentum hebat di dalam sana, melainkan sebuah hutang sebanyak tiga juta yang harus Araya bayar padanya saat bertemu lagi. Walau pun laki-laki itu berujar ikhlas saat menolongnya. Namun tetap saja Araya merasa tidak enak hati. Rasanya malu, Araya tidak tahu harus bagaimana.
Samar-samar Araya mendengarkan percakapan antara laki-laki itu dengan Mbak Kasir. Sebuah bunga lily yang dikenang untuk ulang tahun mendiang sang ibu. Jemari lentik Araya meremas ujung rak, senyum tipis terpatri di bibir. Ya tuhan, kenapa manusia yang berhasil mencuri hatinya itu ada di saat Araya belum siap menghadapinya.
"Oi, lagi ngapain kamu?"
Sekali Araya memutar tubuhnya ke belakang, senyum yang semula terpatri luntur seketika. Berganti dengan ekspresi heran melihat seorang laki-laki dengan stelan santai melihat penuh ke arahnya.
"Ada apa, ya?" tanya Araya, ia sudah bersiap untuk pergi.
"Kamu lagi merhatiin dia?" Lelaki itu tersenyum miring sembari mengangkat dagu, menunjuk si pembeli yang sedang mengambil pesanan bunga lily.
Araya spontan menggeleng cepat. "Nggak!" Ia membantah.
Namun laki-laki yang entah siapa itu justru berdecih menyebalkan. Tubuh yang semula menyender pada sisi rak itu lantas berdiri tegak. Ekor matanya melirik Araya sebentar sebelum akhirnya berucap lantang, "Nathan, ada yang merhatiin lo diem-diem, nih."
Mampus! Tubuh Araya menegang seketika, kedua bola matanya membulat sempurna. Tentu saja kepalanya langsung menoleh pada si yang dipanggil oleh cowok ngeselin ini. Dan benar saja, Araya mau mati rasanya. Saat netranya beradu pandang dengan si lelaki pembeli bunga lily itu.
Ya salam, untuk hari ini saja, Araya ingin hilang dari muka bumi.
To be continued ....
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.
8 Tahun kemudian ....Tasikmalaya _______ Embun bermunculan di antara rerumputan karena pagi sudah menjelang. Kicauan burung juga terdengar bersamaan dengan gemerisik daun yang tertiup angin pagi. Memberikan sensasi dingin untuk para pegiat pencari ilmu yang berjajar rapi berjalan di koridor pesantren menuju madrasah. Kota Tasikmalaya dikenal merupakan sebagai pusat keagamaan terbesar di Jawa Barat, karena memiliki lebih dari delapan ratus pesantren di penjuru wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Sehingga banyak sekali diminati oleh masyatakat luas untuk belajar agama di kota tersebut. Begitupun dengan salah satu pondok pesantren yang berada disalah satu desa yang cukup jauh dari kota kabupaten. Pondok Pesantren Al-Huseniyyah, tertulis di sebuah gapura besar yang menjadi gerban
Tringg!! Tring !! Alarm berbunyi nyaring saat jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 03.00. Membangunkan perempuan muslimah berusia dua puluh tiga tahun itu, agar segera melaksanakan salat tahajjud di sepertiga malam. Tangannya segera menyingkap selimut kemudian turun dari tempat tidur, bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, ia memakai mukena dan melaksanakan salat dengan khusyuk. Selesai melaksanakan salat, perempuan itu menengadahkan tangan dan berdoa memohon ampunan kepada Yang Maha Pengampun. Tidak lama kemudian, ia mengambil Al-Qur'an di atas meja. Lalu melantunkan surah Al-Waqiah dengan syahdu. Membaca Al-Quran selepas salat wajib maupun sunnah memang merupakan kebiasaannya. Bahkan ia memiliki cita-cita andai suatu hari ia mampu menghafalkan tiga puluh juz Al-Quran. Karena sebagai seorang anak yang belum
"Masyaaallah, baru pulang ke Indonesia antum langsung ingin melamar seorang gadis?" Pria yang sudah berusia setengah abad itu mengangkat kedua alis, tersenyum semringah mendengar keputusan dari niat baik salah satu muridnya.Yang ditanya mengangguk sambil menahan senyum. Perasaan malu turut hadir meski usianya sudah hampir menginjak kepala tiga. Lagi pula, perihal cinta yang terbuka untuk diceritakan, memang tidak mudah disembunyikan ketika pembicaraan itu membuat hatinya senang. "Betul Kyai, insyaallah perihal pernikahan itu sendiri, saya sudah mempersiapkannya dengan matang. Selain apa-apa saja tujuan saya menikah, tugas saya sebagai seorang suami nantinya, saya juga ingin membenahi hati saya yang mungkin sudah seringkali membuat Allah cemburu, karena kadang-kadang hati saya condong dalam memikirkan gadis tersebut.""Jadi, antum sudah mengenalnya?""Nggeh, Yai, beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Dia juga mengenal sa
Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca al-Quran sembari menunggu ustaz datang untuk mengisi kajian.Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil Mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan."Masih mau ditol