Home / Romansa / Jodoh Yang Dinanti / 6. Si Pembeli Bunga Lily

Share

6. Si Pembeli Bunga Lily

Author: AnniF_
last update Last Updated: 2021-10-03 06:30:45

Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.

Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar.

"Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan.

"Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."

Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya.

"Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep bersikap baik. Dan, ya, kuliah yang bener." Hanya kepada Araya saja Fahri mau berbicara banyak—meskipun jarang—itupun jika membicarakan hal-hal yang penting saja.

"Kenapa lo jadi kayak Bang Adnan, sih! Gue itu bukan anak kecil lagi, Ri. Gue juga tahu apa yang harus gue lakuin. Jadi lo gak usah khawatir karena gue bakal baik-baik aja." Araya berusaha meyakinkan, lantas perempuan itu menekuk kepala sembari meremas tangan.

Keputusannya untuk ikut Adnan ke Tasikmalaya tidak bisa lagi  Araya bantah. Sebab Fatimah—Bundanya—juga akan ikut. Masa, ia sendirian di Jakarta? 'Kan tidak mungkin. Masak sendiri saja Araya belum bisa.

Jeduk!

"Aduh!" Araya mengaduh seraya mengusap keningnya menabrak punggung Fahri, karena cowok itu tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Lo kenapa berhenti tiba-tiba, sih? Gue jadi kejeduk sama punggung tembok lo, 'kan!" protes Araya, lantas ia duduk di kursi panjang yang sudah disediakan di koridor.

Fahri tidak merespons, cowok berusia delapan belas tahun itu membalikkan badan. Kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Ada yang mau gue omongin sama lo, Ya. Sekarang aja ya, takut nanti lo keburu pergi," ujar Fahri, sungguh hatinya seakan tercubit saat mengatakan bahwa Araya akan pergi meninggalkannya. Walau masih di langit yang sama, hanha saja Fahri tidak mau berjauhan dengan Araya. Sudah tentu Fahri akan rindu, sedangkan tidak ada obat dari rindu selian bertemu.

"Apa, tuh?" Araya mengalihkan fokusnya kepada Fahri sedangkan cowok itu hanya menunduk menatap lantai.

"Terima kasih karena lo mau jaga diri lo, Ya, makasih karena mau memutuskan panasnya api neraka yang suatu hari akan membakar tubuh lo andai lo memilih gak pake jilbab. Gue seneng, lo nurut sama Bang Adnan. Gue lega dan ... pada hakikatnya perempuan akan jauh terlihat lebih cantik saat ia mau menutup auratnya. Sama, kayak lo, Ya." Fahri melanjutkan perkataannya di dalam hati.

Hening. Keduanya kini saling bersitatap cukup lama, sampai akhirnya Fahri memutuskan pandangan mereka.

Merasa canggung, apalagi Araya sama sekali tidak berujar apa-apa. Membuat Fahri menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Dah, ah, gue mau ke kelas dulu. Ambil buku yang gue pinjem di perpustakaan, bye." Setelahnya Fahri berlalu, meninggalkan Araya yang hanya bisa menatap sendu punggung Fahri yang semakin menjauh.

Perempuan itu menghela napas kemudian menopang dagu. "Fahri ... gak apa-apa kali, ya kalau gue pura-pura gak tahu. Karena gue gak mau persahabatan kita rusak hanya karena perasaan yang cuma sepihak. Huft!"

***

Gadis yang masih mengenakan seragam SMA itu membawa kakinya melangkah menuju toko pernak-pernik yang berada tidak jauh dari lingkungan sekolah, dan toko tersebut  juga menjual pesanan buket bunga. Araya mendorong pintu hingga tidak lama setelahnya, seorang pegawai menghampiri lalu menyambut ramah kedatangannya.

Tersenyum, Araya lantas melusuri rak-rak yang menjual beberapa aksesoris untuk hijab. Araya meringis pelan saat melihat kotak peniti. Miris rasanya, bahkan Araya belum bisa memakai hijab syari segi empat yang benar-benar total menutup hingga dadanya. Karena yang selalu Araya pakai saat ini ya ... hijab instan biasa.

Tapi tidak apa-apa, seperti cinta yang katanya tidak instan untuk mendapatkannya. Maka begitu pula dengan proses hijrah memperbaiki diri. Semua harus memiliki proses, progres, hingga sukses. Sukses menggapai takwa dan sukses mendapatkan cinta dari-Nya. Sungguh, pelan-pelan hati Araya lembut setiap kali selalu mengingat-Nya. Apa ini, ya, yang disebut dengan sinyal hidayah dari-Nya?

"Nah, bagus, nih buat Bunda." Araya mengambil sebuah pin bunga mawar mekar berwarna perak. "Kalau dipake aku bagus, gak, ya? Kayak ibu-ibu, nggak, ya?" gumamnya lagi sendirian.

Gadis itu lantas berjalan ke dekat kasir untuk membayar. Namun sebelum sampai pada meja kasir, suara lonceng dari pintu toko yang dibuka lebih dulu terdengar. Angin berembus bersama dengan sepatu pentopel hitam mulai memasuki toko. Sinar mentari siang di balik jendela berhasil menutupi wajah itu, sehingga turut menghalangi pendangan Araya saat ingin tahu siapa yang baru saja datang.

"Mbak, saya pesan buket bunga lily, ya?" pesan laki-laki dengan stelan formal yang lantas disambut baik oleh Mbak Kasir.

"Baik, Mas."

Sementara itu Araya membeku, napasnya tercekat seketika. Suara berat serta tubuh jangkung itu, masih teringat jelas di kepalanya. Tentang bagaimana si pemilik fisik yang nyaris sempurna itu menolongnya tanpa pamrih, di antara orang-orang yang menghakimi.

Pelan, Araya melangkah mundur, bersembunyi di antara rak supaya tidak terlihat. Lagi pula bukan soal jantungnya yang saat ini sedang berdentum hebat di dalam sana, melainkan sebuah hutang sebanyak tiga juta yang harus Araya bayar padanya saat bertemu lagi. Walau pun laki-laki itu berujar ikhlas saat menolongnya. Namun tetap saja Araya merasa tidak enak hati. Rasanya malu, Araya tidak tahu harus bagaimana.

Samar-samar Araya mendengarkan percakapan antara laki-laki itu dengan Mbak Kasir. Sebuah bunga lily yang dikenang untuk ulang tahun mendiang sang ibu. Jemari lentik Araya meremas ujung rak, senyum tipis terpatri di bibir. Ya tuhan, kenapa manusia yang berhasil mencuri hatinya itu ada di saat Araya belum siap menghadapinya.

"Oi, lagi ngapain kamu?"

Sekali Araya memutar tubuhnya ke belakang, senyum yang semula terpatri luntur seketika. Berganti dengan ekspresi heran melihat seorang laki-laki dengan stelan santai melihat penuh ke arahnya.

"Ada apa, ya?" tanya Araya, ia sudah bersiap untuk pergi.

"Kamu lagi merhatiin dia?" Lelaki itu tersenyum miring sembari mengangkat dagu, menunjuk si pembeli yang sedang mengambil pesanan bunga lily.

Araya spontan menggeleng cepat. "Nggak!" Ia membantah.

Namun laki-laki yang entah siapa itu justru berdecih menyebalkan. Tubuh  yang semula menyender pada sisi rak itu lantas berdiri tegak. Ekor matanya melirik Araya sebentar sebelum akhirnya berucap lantang, "Nathan, ada yang merhatiin lo diem-diem, nih."

Mampus! Tubuh Araya menegang seketika, kedua bola matanya membulat sempurna. Tentu saja kepalanya langsung menoleh pada si yang dipanggil oleh cowok ngeselin ini.  Dan benar saja, Araya mau mati rasanya. Saat netranya beradu pandang dengan si lelaki pembeli bunga lily itu.

Ya salam, untuk hari ini saja, Araya ingin hilang dari muka bumi.

To be continued ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh Yang Dinanti   20. Ridha Seorang Ibu

    "Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya."Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung."Gimana perasaan kamu setelah kembali dati Yogya. Kamu pernah kepikiran gak sih gimana perasaan wanita itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ibunya malah kembali bertanya.Mengerti yang dimaksud sosok cinta pertamanya ini. Raut bahagia di wajah Fahri redup seketika. Sudut matanya yang melengkung karena tersenyum telah turun. Ia lepas tangan sang mama di kerah baju pengantinnya. "Fahri udah dikasih kesempatan lebih baik sejauh ini, Ma. Fahri tahu salah karena udah bersikap gak bijak. Tapi apa harus membahasnya sekarang?" Fahri menggeleng, ia melangkah mundur menatap mamanya kecewa."Tapi dia korban, Fahri. Korban dari orang yang gak bertanggung jawab! Gimana perasaan dia waktu kamu batalin pernikahan gitu aja. Terus sekarang ada kabar kamu

  • Jodoh Yang Dinanti   19. Cinta dalam Pernikahan

    "Nggak ada kata terima kasih dalam persahabatan, kan? Jangan gitu, aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Fahri tersenyun. Sangat jelas wajah tampannya dipenuhi kebahagiaan. Karena bagaimana tidak? Perempuan yang dulu seringkali berjalan di belakang ketika bersamanya, sebentar lagi akan menjadi teman sejati yang berjalan sejajar dengannya."Kenapa?" Sebenarnya Araya masih agak canggung. Menjadi calon istri untuk sahabat sendiri, tentu tidak pernah disangka sebelumnya."Karena mau memberiku kesempatan." Fahri menyimpan kitab yang sedari tadi ia pelajari ke atas meja. "Aku janji, akan selalu menjaga dan bahagiain kamu, Ra," lanjutnya dengan mata teduh.Hati Araya mencelos, ada perasaan dari dasar yang belum rela untuk ia lepaskan. Berusaha melupakan sesuatu yang sesungguhnya sudah melekat di hati, tentu adalah hal paling sulit.Jika saja Araya tergugu oleh nafsu dan ego, mungkin

  • Jodoh Yang Dinanti   18. Pilihan

    "Kayaknya lamunan kamu lebih penting ya dari pada ketemu sama aku?" ujar seseorang di depan pintu membuat Nathan menoleh cepat padanya.Lelaki yang memakai kaus polos berwarna hijau tua itu lantas berdiri. Menyimpan tasbih berwana kemerahan di atas meja."Ada apa ke sini?" Nathan memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku training yang dipakai.Wanita berbulu mata lentik itu tersenyum manis lalu masuk ke kamarnya. Spontan saja membuat Nathan terkejut."Keluar, kamu gak boleh masuk!" katanya tiba-tiba, menghentikan langkah wanita berkaki jenjang itu."Emang kamu mau ngapain aku, sih?" Ia memilih tidak menghiraukan, kakinya kembali melangkah seraya mematut dirinya di cermin.Bahkan parfum mahal yang ia pakai menyeruak memasuki indra penciuman Nathan. Pria itu memalingkan wajah, ketidaksukaannya begitu jelas, terlihat dari garis wajahnya mengeras. Nathan ti

  • Jodoh Yang Dinanti   17. Jawaban Penantian

    "Ini, asrama santri putra." Adnan mematri langkahnya di sepanjang koridor asrama putra. Memandu seseorang untuk melihat-lihat setiap fasilitas pesantren.Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas. di pinggir atap pun sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka.Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar."Bakal betah ana kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam dalam saku celana chinos yang dipakai."Kapan pun antum mau, antum bisa tinggal di sini. Anggap aja rumah sendiri, toh, bantuan keluarga antum menga

  • Jodoh Yang Dinanti   16. Kedatangan Fahri

    "Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu, kamu malah marah-marah," ujar Bunda, tidak habis pikir melihat kelakuan putrinya. Sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja."Nggak apa-apa kok, Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti."Memang benar ya, kayaknya benar deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Bunda menyen

  • Jodoh Yang Dinanti   15. Alasan

    "Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status