LOGINPernikahan Safira nyaris batal karena pengkhianatan sang tunangan. Demi menjaga nama baiknya, ia terpaksa menerima saat harus dinikahkan dengan sopir pribadi pilihan ayahnya. Tak ada yang tahu, jika pria itu adalah putra tunggal sang pewaris besar yang memilih kabur dari perjodohan. Dikelilingi luka, penolakan, dan cinta masa lalu yang belum usai, serta intrik perebutan harta, mampukah Safira menjadikan rumah tangganya tempat yang penuh cinta, bukan hanya pelarian semata?
View More"Ah! Damar, ternyata kamu nakal juga ya! Safira pasti nggak tahu kalau kelakuan kamu ternyata begini!"
Deg. Tubuhku meremang seketika. Aku mendengar suara rintihan perempuan juga laki-laki bersahutan. Bukankah kamar ini harusnya kosong? Aku mengendap lebih dekat. "Safira gak bisa buat aku seneng kayak kamu. Dia kuno dan bosenin. Beda sama kamu, Sayang!" Suara Damar! Di kamar! Kenapa dia ada di rumah ini? Dengan siapa? Jangan-jangan... Tanganku mengepal. Aku baru saja pulang pagi ini karena rapat sekolah yang harusnya selesai siang ternyata lebih cepat dari biasanya. Sekaligus berpamitan karena cuti sudah mulai turun jelang satu minggu pernikahan. Rumah biasanya memang sepi di jam-jam kerja seperti ini. Bapak masih di kelurahan. Sementara ibu ada urusan ke desa sebelah untuk menghadiri hajatan. Akhir-akhir ini memang banyak warga yang menggelar hajat. Namun saat aku akan masuk ke kamar, aku malah mendengar suara desahan yang tak biasa di kamar sebelah. Jadi ini sebabnya, Damar sering menghindar dan sering menjauh dengan alasan sibuk. Bahkan fitting baju untuk pernikahan saja, terpaksa harus tertunda hingga hari ini. Tanpa pikir panjang, kakiku menendang pintu yang tak terlalu rapat. Seketika mataku membelalak saat Damar ada di atas tubuh seseorang. Keduanya tanpa pakaian. Dasar hidung belang. Seminggu lagi akan menikah denganku, tapi dia malah tidur sama perempuan lain? Di rumahku lagi! "Safira?" "Meta?" Tubuhku seketika lemas. Dengan sadar, aku menekan tombol darurat ponsel yang masih ada di saku seragam. Tombol darurat yang menghubungkanku dengan Bapak. Selama ini aku berpikir, fitur itu tak ada manfaatnya. Ternyata, sekarang aku bisa menggunakannya. Meta yang kini ada di bawah tubuh Damar justru menatapku tanpa bersalah, sedangkan Damar tersentak, segera beranjak bangkit dan menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. "Safira, ini gak seperti yang kamu pikir. Aku dan Meta cuma...!" Damar mendekatiku dan berusaha meraih tanganku. "Cuma apa? Cuma latihan? Praktek? Atau apa?" Aku menatapnya dengan tatapan sinis dan mundur untuk menghindarinya. Sementara Meta hanya tersenyum miring dan bergulung dengan spreinya. Tangannya menahan kepala dengan tubuh miring. "Sudahlah Safira. Cukup. Jangan cari pekara. Anggap saja kau tak melihat semua ini. Aku akan tetap menikahimu, tak ada yang berubah. Kamu mau pernikahan kita batal?!" bentak Damar dengan gelagat paniknya. Damar mendorongku saat aku mencoba untuk mendekati Meta, ingin rasanya menjambak rambut dan mencakar wajahnya. Mendapat pembelaan Damar, senyum miring Meta semakin lebar. "Apa? Aku cari perkara? Kamu pikir aku buta?" Aku menatap Damar tak percaya. Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, Damar justru mengancamku. "Ya! Pernikahan kita batal kalau kau tak mau diam dan tetap mempermasalahkan ini! Tapi jika kau diam dan menerima, aku akan tetap menikahimu, dan Meta..." Aku melihat ujung mata Damar yang melirik Meta. "Aku akan putuskan Meta!" Aku mendengus mendengar jawaban Damar. Berani sekali dia mengancamku dan berpikir aku masih mau melanjutkan pernikahan ini, setelah apa yang mereka perbuat? Mimpi! "Apa maksudnya kamu akan putuskan Meta? Jadi selama ini kalian pacaran? Kalian memang sudah biasa melakukannya?" Aku sinis menatap mereka bergantian. Meskipun sebenarnya, hatiku sakit melihat pengkhianatan dari orang yang kupercayai. Apakah selama ini Damar memang cuma mempermainkanku? "Ayolah, Safira. Jangan keras kepala! Terima saja semuanya dan kita akan jalani seperti biasa!" Damar mengacak rambutnya. Aku menatapnya dengan tatapan terluka. “Aku sudah panggil Bapak.” Kulihat mata Damar yang membulat dengan panik. Meta di kasur juga mulai blingsatan mencari pakaiannya. Terdengar suara mobil berhenti di depan. Tepat dengan apa yang kuduga. Bapak segera meluncur pulang dengan sopirnya setelah mendapat telepon daruratku. Langkah-langkah kaki mulai mendekat. Damar dan Meta semakin pucat. "Ada apa, Safira...?" Bapak menghentikan kalimatnya saat melihat Meta dan Damar yang tergesa-gesa merapikan pakaiannya. "Damar, Meta? Apa yang kalian lakukan?" Bapak nanar melihat kami bergantian. Fatih, sopir Bapak, segera ikut masuk menyusul Bapak yang telah masuk lebih dulu. "Bapak lihat? Apa yang sudah mereka lakukan? Aku gak mau melanjutkan pernikahanku dengan Damar. Aku gak mau laki-laki bekas orang!" seruku, emosiku seketika pecah di hadapan Bapak. Bapak mengurut dada. "Kau bisa jelaskan, Damar?" Suara bariton Bapak menggelegar. Kemarahan yang tertahan justru membuat Bapak semakin menakutkan. Meta kini hanya bisa menunduk. Wajah jumawanya tak lagi terlihat seperti tadi. "Maaf, Pak. Saya khilaf. Saya cuma main-main dengan Meta. Saya gak ada maksud untuk menyakiti Safira. Saya...!" Damar menghentikan kata-katanya untuk melihat respon bapak. "Ini... Ini karena Safira selalu menolak saya, Pak. Lalu... Lalu meta mencoba menggoda saya!" "Lalu, kamu melakukannya? Di rumah ini? Dengan Meta?" Bapak mendekati Damar perlahan. Tangan Bapak terlihat mengepal. Sebagai kepala desa, bapak memang bukan orang yang mudah terpancing untuk marah. Tapi tentu saja, Bapak tidak akan tinggal diam saat anak perempuan satu-satunya disakiti. PLAK! Semua tersentak dan menatap Bapak dengan takut. "Bagaimana jika aku katakan hal ini pada orang tuamu?" "Jangan, Pak. Jangan! Saya... !" Damar tak lagi bisa berkata-kata. "Batalkan pernikahanmu dengan Safira!" tegas bapak. Akhirnya. "Tapi, Pak. Bagaimana dengan Safira? Apa Bapak tidak kasihan dengan Safira?" Suara panik Damar membuat Bapak memicingkan mata. “Safira pasti akan jadi bahan pergunjingan di desa karena batal menikah! Apa Bapak gak kasihan? Tolong, Pak! Biarkan kami menikah... Saya...!" Aku menggamit lengan bapak dengan mata berkaca-kaca. "Pak, tadi dia ancam aku. Katanya aku gak usah masalahin yang dia lakukan sama Meta. Kalau gak, dia gak mau nikahin aku, biar Bapak malu, katanya!" Mereka pikir cuma mereka yang bisa sandiwara? Aku juga bisa kan? Damar dan Meta melirik ke arahku dengan tatapan berang. Suara tegas Bapak terdengar lagi. "Selamanya aku tak akan mengijinkan kamu menikahi Safira! Aku akan menikahkannya dengan laki-laki lain, Damar!" Aku melongo, tidak menyangka ucapan bapak. "Bapak mau nikahin aku sama siapa?" Ulangku. Bapak menoleh ke belakang, ke arah sopirnya yang berdiri di belakang kami. "Dengan Fatih!" "Apa, Pak!" Seketika tubuhku luruh.Beberapa bulan penuh dengan hati-haro yang lelah, kini terbayarkan. Aku berdiri menikmati pemandangan Jakarta siang ini melalui jendela kaca sambil sesekali menghirup kopi hitamku yang masih hangat. Sejak Kakek menginformasikan keinginan Paman untuk rehat, aku mulai menyusun cara agar aku tak perlu bolak balik Jakarta dan Surabaya. Dan untung saja, Fatih memang mendukung keinginanku. Dan kini, di sinilah aku berada. Di ruanganku sendiri. Bukan lagi sebagai sekretaris Fatih tapi sebagai pemimpin Wiratmaja Group. Memang bukan hal yang mudah karena harus ada beberapa perubahan yang harus aku urus tapi selama ada Pramudya sebagai pengacara keluarga, semua bisa aku lalui dengan mudah. Semua perijinan diselesaikan Pramudya dengan cepat. Dari perubahan domisili perusahaan, pembaruan akta juga pemindahan dokumen, aset dan perijinan operasional. Sedikit rumit dan melelahkan, tapi sangat menyenangkan dan memuaskan. Apalagi, Fatih menginginkan Wiratmaja Group berada satu gedung dengan Al Fa
Setelah ashar, kami kembali memenuhi ruang tengah. Beberapa waktu tak bertemu Kakek, membuat kami rindu. Lebih-lebih ingin sekali mendengar cerita Tante Arini yang kini telah bermukim di Surabaya. "Kamu harus siap-siap Safira. Kemungkinan Pamanmu akan mundur dari Wiratmaja. Itu artinya iamu harus maju untuk memimpin perusahaanmu sendiri!" Aku yang duduk di sebelah Kakek hanya bisa menatap Kakek dengan bingung. Maju untuk pegang Wiratmaja? Apakah itu artinya, aku harus di sana? Sementara Fatih di sini? Aku melirik Fatih yang juga sedang melirikku. Hanya saja dia mengangguk samar. Tak ingin membahasnya sekarang. "Dari mana Kakek tahu?" Tanyaku ingin kejelasan. Kakek menyesap teh hangatnya perlahan lalu kembali menatapku lembut. "Mereka sudah membicarakannya. Pamanmu juga Tantemu. Ya, mungkin saja mereka ingin menjalani rumah tangga dengan cara mereka. Jauh dari hingar bingar kota!" Aku mengangguk. Sepertinya aku harus mulai membicarakannya dengan Fatih, secepatnya. Baru saja ak
Beberapa minggu ini, kami sibuk dengan urusan masing,masing. Seperti Bayu, yang sesekali harus ijin karena urusan perceraiannya. Kupikir kedatangan Diana malam itu, akan mengubah keputusan Bayu tapi ternyata, sidang tetap berjalan. Dan Diana tak pernah lagi datang ke rumah sejak hari itu. Sedang Fatih. mulai fokus dengan pekerjaannya, menangani proyek-proyek Al Fath yang mulai berjalan bersamaan. Kadang, aku harus menemaninya dalam momen-momen tertentu. Meski kadang, aku juga harus sibuk dengan urusan Wiratmaja Group. Untungnya, Isna dan Bram kembali bergabung setelah satu minggu libur dengan pernikahannya di kampung Majalengka. "Anak-anak gimana, Ma?" Fatih bertanya setelah sekian kali. Maklum, kami meninggalkan mereka sejak pagi karena meeting mendadak tentang tindak lanjut proyek rusunawa di luar Jawa. "Aman. Barusan Isna kasih kabar. Dipta juga udah pulang sekolah. Katanya sih, lagi main sama Buyutnya!" jawabku menjelaskan sambil menyiapkan berkas selanjutnya. "Syukurlah. Ka
Beberapa hari berlalu. kupikir semua akan bak-bsik saja seperti biasa. Bayu mungkin terluka tapi bisa saja dia mengambil langkah lain yang aku dan Fatih tak tahu. Toh, itu memang area kekuasaan Bayu. Aku dan Fatih tak bisa ikut terlalu jauh, meskipun apa yang Diana lakukan melibatkan aku dan Fatih. Aku sedang di ruang tengah bersama Fatih dan anak-anak yang ditemani oleh Isna. Dipta seperti biasa, selalu fokus dengan menggambarnya sementara Raina, kini suka sekali mengamati kakaknya sambil sesekali menggumam. Sesekali, aku dan Fatih terlibat pembicaraan dengan Isna. Menanyakan tentang kesiapannya menikah dengan Bram dalam waktu dekat ini. Hingga Ketukan pintu terdengar. Fatih berdiri lebih dulu saat aku menatapnya dengan heran. Beberapa saat kemudian, Fatih kembali masuk dengan Pramudya. Laki-laki itu masih rapi dengan kemeja kerja dan jas yang digantung di lengan. "Hai, anak-anak” Sapa Pramudya saat melihat anak-anak. "Ada apa nih, tumben datang dengan tas kerja?" Fatih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore