Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.
Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.
Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Lah, orang pinter mah udah pasti cepet ngerjainnya. Araya membatin.
Beberapa kali Araya menggigit bibir, menoleh kepada Fahri yang begitu serius mengerjakan soal. Ia merasa tidak enak hati, jika saja Fahri tidak membantunya kemarin pasti Fahri tidak akan berakhir di sini sekarang.
"Fahri." Araya memanggilnya berbisik. Menoleh sebentar sebelum akhirnya kembali menatap lembar soal.
"Hm." Fahri hanya bergumam bahkan tetapannya tetap pada jawaban yang sedang ia tulis.
"Maafin gue ya, lo jadi kena hukum juga," ujar Araya. "Sumpah, ya, gue nggak tahu kalau ternyata Bu Roida bakal kasih lo hukuman juga." Diam-diam Araya memerhatikan Bu Roida, untung saja guru tersebut sedang berbicara dengan Pak Septian.
"Udah biasa," balas Fahri jutek, mengutarakan kebenaran. Membuat bibir Araya merengut lucu.
"Kenapa jawabnya gitu amat, sih, gak enak banget." Mendelik, Araya bahkan sudah malas untuk menyelesaikan setiap soal.
"Raya, kerjain tugasnya jangan ajak gue ngobrol terus. Cepetan!" Fahri berbisik gemas. Cowok itu kadang kesal sendiri dengan sikap Araya yang terlalu meremehkan sesuatu. Seperti saat ini, Araya bahkan belum mengerjakan satu soal pun.
"Ih, iya!"
***
Mengentakkan satu kaki Araya menggerutu di dalam hati. Padahal baru satu hari Adnan menjadi supir dadakannya tetapi sudah tidak bisa menjemputnya lagi. Araya lamtas memutuskan pulang menaiki bus, lalu berjalan menuju halte yang tidak jauh dari sekolah. Menunggu sebentar di sana sampai akhirnya bus kota datang. Di antara beberapa orang yang hendak masuk, Araya sedikit terdorong ke depan. Lalu dengan agak susah ia lantas duduk di kursi kosong dekat jendela.
"Apa yang lagi lo lamunin?"
Araya tersentak, mendengar suara tidak asing di sampingnya. Wajahnya berseri saat melihat Fahri sudah duduk di sebelahnya.
"Fahri, sejak kapan mau naik bus?" tanya Araya terheran-heran, pasalnya Fahri paling anti menaiki kendaraan umum, dikarenakan Fahri sering mual jika lama-lama berada di dalam kendaraan tersebut.
"Sejak hari ini lo naik bus, lah, karena apa lagi?"
Mendengar perkataan lugas itu Araya terpaku, senyum kecil ia suguhkan kemudian kembali melihat jalanan di balik jendela.
***
"Abang! kenapa gak jemput aku di sekolah coba? Kalau di sini ternyata cuma duduk-duduk aja, uang jajan aku 'kan jadi kepake buat bayar naik bus. Gak mau tahu harus diganti!" Araya bersidekap dada setelah dirinya duduk di sofa.
Adnan tidak menanggapi begitu pula dengan sang bunda. Suasana di ruangan sederhana itu jadi sedikit mencurigakan. Membuat perasaan Araya jadi tidak enak, seperti ada kabar buruk yang harus mereka sampaikan.
"Kalian kenapa, sih? Ngomong dong, aku 'kan jadi parno ditatap kayak begitu. Astaghfirullah, salah hamba apa, ya Allah?" Araya menengadah sembari mengangkat kedua tangan. Mendramatisir keadaan.
Adnan geleng-geleng dengan tingkah saudari kandungnya itu. "Ada yang ingin Abang sama Bunda bicarain sama kamu," ujar Adnan kemudian.
Araya melepas tas gendong lalu menyimpannya di samping. "Apa, tuh?" Kemudian menuangkan air es ke dalam gelas yang sudah tersedia di atas meja lalu meminumnya, menyegarkan tenggorokan yang terasa kering, sebelum akhirnya Araya kembali mengalihkan fokusnya kepada Adnan.
"Setelah kelulusan kamu, kita akan langsung pindah ke Tasikmalaya dan kamu akan melanjutkan kuliah sambil belajar di pesantren."
Perkataan Adnan bagaikan petir yang menyambar dadanya di siang bolong. Apa kata Adnan barusan? Kuliah sambil tinggal di pesantren? Araya berdecih kemudian berdiri dengan tatapan tidak habis pikir. "Apa? Kenapa tiba-tiba?"
"Araya, Abang kamu belum selesai bicara." Bunda menimpali.
Araya menggeleng kuat. "Enggak! Araya gak mau tinggal di Tasik! Araya maunya tinggal dan kuliah di sini!" Tidak segan Araya berbicara dengan nada tinggi.
"Araya." Adnan menggenggam lembut tangan Araya. "Abang nggak mau tinggalin kamu sama Bunda di sini. Abang mau bawa kalian juga ke Tasik dan tinggal di pesanren. Dengan begitu Abang bisa leluasa jagain kalian lebih deket. Lagi pula Abah udah kangen sama kamu dan beliau juga yang meminta agar kamu belajar di pesantren, Mau, ya?" Dengan lembut diringi nada tegas Adnan membujuk, supaya adiknya lantas menurut.
Namun, Araya justru menepis tangan Adnan kasar. "Enggak! Aku gak mau! Kalian tahukan cita-cita aku apa? Aku mau kuliah di Jakarta sama Fahri, bukan di Tasik apalagi sambil belajar di pesantren! Araya nggak mau!" Seiring perkataan itu selesai, Araya berlalu memasuki kamar lalu menutup pintunya keras-keras.
Adnan mengusap wajahnya kasar, lalu Bunda mencoba menenangkan. "Sudah, adik kamu itu keras kepala, lagi pula Bunda udah nebak adik kamu pasti gak bakal langsung terima. Tapi gak apa-apa, perlahan kita buat Araya mengerti. InsyaAllah Araya nanti mau."
Adnan meniup napas berat kemudian mengangguk. Mungkin memang benar, Adnan terlalu terburu-buru. Ia perlu memberi Araya waktu.
***
"Kalau cemberut terus entar cepet tua, loh," Tiba-tiba Fahri sudah berjalan di sisi. Membuat Araya menoleh kemudian menghentikan langkah nya setelah mereka baru keluar melewati gerbang sekolah.
Fahri ikut menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badan melihat Araya dengan kening berkerut. "Kenapa, sih?" tanyanya, sedikit khawatir saat gadis di depannya malah menunduk.
"Jalan duluan aja, gue ngikut lo dari belakang," katanya pelan, nada suaranya sedikit bergetar.
Fahri terdiam sebentar kemudian mengangguk. Melangkah di depan Araya, membiarkan gadis itu mengikutinya.
"Lo tahu nggak, Ri?" tanya Araya memulai pembicaraan.
"Gak tahu." Fahri menjawab seraya mengedikkan bahu.
"Bang Adnan mau bawa gue sama Bunda ke Tasik. Dia mau gue kuliah di sana sambil pesantren. Gila, 'kan? Pake alasan biar leluasa jagain gue."
Secara tiba-tiba Fahri menghentikan langkah kemudian memutar tubuhnya ke belakang. "Apa?" Fahri terkejut mendengar ucapan Araya. "Kenapa tiba-tiba?"
Araya mengangguk, air matanya ikut terjatuh. "Gue harus apa, Ri? Gue maunya kuliah di sini sama lo. Bukan ke Tasik, gue gak mau cari temen lagi. Lo tahu, 'kan gue gimana."
Fahri tidak menjawab, karena di dalam lubuk hati yang terdalam sungguh Fahri tidak mau Araya pergi jauh darinya. Namun, Fahri lebih dulu paham, apa maksud dari niatnya Adnan.
Cowok itu memilih kembali berjalan, tanpa pertanyaan Araya tetap mengikuti dari belakang.
"Apa yang diminta Bang Adnan itu yang tebaik buat lo, Ya. Percaya, deh, sama gue. Niatnya juga nggak buruk, kok, dia cuma mau jaga lo sama Tante Fatimah. Coba lo bayangin kalau abang lo pergi ninggalin kalian lagi, sementara lo semakin beranjak dewasa di sini, udah tentu Bang Adnan harus ada di sisi lo. Lo cewek, Bang Adnan perlu bantu jaga pergaulan lo."
"Tapi gue udah bisa jaga diri, Fahri."
"Oh, ya? Gue nggak percaya, tuh," cibir Fahri menyebalkan membuat Araya mendelik tajam. "Belajar agama itu penting, ya, pesantren nggak seburuk yang lo pikir." Fahri mencoba membuat Araya mengerti. Meskipun sebenarnya Fahri juga masih awam perihal ilmu agama islam. Namun meskipun begitu, Fahri sedang berada dalam proses belajar.
Oh iya, jika kalian bertanya kenapa Fahri dan Araya tidak pernah berjalan beriringan? Itu karena mereka sama-sama mulai paham tentang batas pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Dan keduanya sedang berusaha menerapkan agar mereka tidak terjerumus dalam menyalahi aturan.
Araya membuka bibirnya sedikit hendak berbicara, tetapi atensinya lebih dulu menangkap seseorang yang berdiri di seberang jalan sana. Seorang laki-laki memakai kemeja warna hitam, celana jeans dan sepatu sneaker. Berdiri sembari menunduk memainkan ponsel di tangannya.
Araya menyipitkan kelopak matanya memfokuskan pandang. Wajah itu tidak asing, sampai se-kelebat ingatannya kembali pada beberapa hari lalu. Sosok laki-laki yang bersedia menolongnya tanpa pamrih, seseorang yang kembali menghidupkan letupan-letupan aneh di dalam dadanya saat ini.
Tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki itu, Araya melangkah ke arah sana. Menyebrang jalan tanpa melihat kiri dan kanan.
"Araya!"
Teriakan seseorang yang memanggil namanya membuyarkan lamunan. Suara klakson kendaraan saling bersahutan. Araya membulatkan kelopak mata, saat menyadari bahwa ternyata ia sudah berada di tengah jalan.
"Allahu Akbar, Ya, lo mau mati?" Fahri menghampiri kemudian menarik pergelangan tangannya menuju pinggir jalan.
"Sumpah, Ya, gue bener-bener setuju kalau lo beneran belajar di pesantren. Kalau masalah jalan aja lo nggak bisa bener, gimana nasib lo kalau ditinggalin sama Bang Adnan, Raya?" Fahri mengguncang bahu Araya.
Sementara yang dimarahi justru menghiraukannya. Araya mengelilingkan pandang mencari sosok yang tadi. Namun kini hilang, laki-laki itu sudah tidak ada di sana membuat hati Araya merasa sedih. Aneh, Araya bahkan tidak paham dengan perasaannya sendiri.
To be continued ....
"Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya."Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung."Gimana perasaan kamu setelah kembali dati Yogya. Kamu pernah kepikiran gak sih gimana perasaan wanita itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ibunya malah kembali bertanya.Mengerti yang dimaksud sosok cinta pertamanya ini. Raut bahagia di wajah Fahri redup seketika. Sudut matanya yang melengkung karena tersenyum telah turun. Ia lepas tangan sang mama di kerah baju pengantinnya. "Fahri udah dikasih kesempatan lebih baik sejauh ini, Ma. Fahri tahu salah karena udah bersikap gak bijak. Tapi apa harus membahasnya sekarang?" Fahri menggeleng, ia melangkah mundur menatap mamanya kecewa."Tapi dia korban, Fahri. Korban dari orang yang gak bertanggung jawab! Gimana perasaan dia waktu kamu batalin pernikahan gitu aja. Terus sekarang ada kabar kamu
"Nggak ada kata terima kasih dalam persahabatan, kan? Jangan gitu, aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Fahri tersenyun. Sangat jelas wajah tampannya dipenuhi kebahagiaan. Karena bagaimana tidak? Perempuan yang dulu seringkali berjalan di belakang ketika bersamanya, sebentar lagi akan menjadi teman sejati yang berjalan sejajar dengannya."Kenapa?" Sebenarnya Araya masih agak canggung. Menjadi calon istri untuk sahabat sendiri, tentu tidak pernah disangka sebelumnya."Karena mau memberiku kesempatan." Fahri menyimpan kitab yang sedari tadi ia pelajari ke atas meja. "Aku janji, akan selalu menjaga dan bahagiain kamu, Ra," lanjutnya dengan mata teduh.Hati Araya mencelos, ada perasaan dari dasar yang belum rela untuk ia lepaskan. Berusaha melupakan sesuatu yang sesungguhnya sudah melekat di hati, tentu adalah hal paling sulit.Jika saja Araya tergugu oleh nafsu dan ego, mungkin
"Kayaknya lamunan kamu lebih penting ya dari pada ketemu sama aku?" ujar seseorang di depan pintu membuat Nathan menoleh cepat padanya.Lelaki yang memakai kaus polos berwarna hijau tua itu lantas berdiri. Menyimpan tasbih berwana kemerahan di atas meja."Ada apa ke sini?" Nathan memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku training yang dipakai.Wanita berbulu mata lentik itu tersenyum manis lalu masuk ke kamarnya. Spontan saja membuat Nathan terkejut."Keluar, kamu gak boleh masuk!" katanya tiba-tiba, menghentikan langkah wanita berkaki jenjang itu."Emang kamu mau ngapain aku, sih?" Ia memilih tidak menghiraukan, kakinya kembali melangkah seraya mematut dirinya di cermin.Bahkan parfum mahal yang ia pakai menyeruak memasuki indra penciuman Nathan. Pria itu memalingkan wajah, ketidaksukaannya begitu jelas, terlihat dari garis wajahnya mengeras. Nathan ti
"Ini, asrama santri putra." Adnan mematri langkahnya di sepanjang koridor asrama putra. Memandu seseorang untuk melihat-lihat setiap fasilitas pesantren.Asrama tersebut memang sudah berdiri cukup lama, tepat saat pertama pesantren didirikan. Maka dari itu, warna catnya yang berwarna putih tulang itu sudah kusam. Bahkan, beberapa ada yang sudah terkelupas. di pinggir atap pun sudah timbul lumut berderet panjang warna hijau, tetapi kebersihan masih tetap terjaga. Para santri selalu bersenang hati dalam bekerja sama untuk mengurus kebersihan asrama mereka.Apalagi pepohonan mangga ikut meneduhkan halaman. Sehingga udara terasa segar."Bakal betah ana kalau tinggal di sini," ujar seseorang sembari memindai pandangannya ke sekitar. Sedang kedua tangannya tenggelam dalam saku celana chinos yang dipakai."Kapan pun antum mau, antum bisa tinggal di sini. Anggap aja rumah sendiri, toh, bantuan keluarga antum menga
"Udah dong, jangan liat Fahri kayak gitu. Bukannya nyambut dengan baik kedatangan sahabat kamu, kamu malah marah-marah," ujar Bunda, tidak habis pikir melihat kelakuan putrinya. Sesekali mendelik pada Fahri meskipun lelaki itu tersenyum pada Araya.Bukan tanpa alasan Araya bersikap seperti itu. Araya kesal karena Fahri datang tanpa memberinya kabar. Sedangkan kabar terakhir yang ia tahu tentang Fahri adalah tiga tahun lalu. Menyebalkan, Araya kesal. Ia sempat berpikir bahwa Fahri sudah melupakannya. Maka dari itu, saat Fahri datang ketika ia sedang belajar memanah. Yang Araya lakukan justru pergi begitu saja."Nggak apa-apa kok, Tante. Araya emang gitu kalau marah. Fahri ngerti." Fahri menyaut diiringi senyuman kecil. Namun sorot tatapannya penuh arti."Memang benar ya, kayaknya benar deh, kamu jodoh yang tepat buat Araya. Karena cuma kamu yang bisa ngertiin dia, kadang Tante kewalahan sama sikap Araya." Bunda menyen
"Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut.Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?""'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish, Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.Tidak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh sejuknya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini."Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.